Senin, 05 Agustus 2013

Komunisme: Perspektif Alain Badiou

Apa yang pertama kali dibayangkan ketika mendengar kata komunisme? Kebanyakan dari kita akan langsung merujuk pada peristiwa kelam sejarah Indonesia pada tahun 1965. Akan terbayang bagaimana orang-orang yang anti Tuhan tersebut menculik jendral-jendral yang akan mengkudeta Sukarno, membawa mereka ke Lubang Buaya, dan mulailah ritual penyembelihan itu: tubuh tak bernyawa para jendral dikuliti, bola mata dicongkel hingga keluar, hingga pemotongan kelamin si mayat. Dan semua ini dibarengi dengan tari dan tawa setan para Gerwani sambil menyanyikan lagu Gendjer-Gendjer. Itu Indonesia, bagaimana dengan lingkup yang lebih luas? Tak jauh berbeda. Komunisme selalu diidentikkan dengan rezim Stalin, Polpot, pelanggaran HAM, hingga pembantaian manusia. Pertanyaannya: apakah memang komunisme ada di dalam dirinya sendiri suatu ajaran yang melegalkan praktek-praktek sebagaimana contoh di atas?


Komunisme merupakan tahap terakhir dalam perkembangan masyarakat yang ditandai dengan hilangnya kepemilikan pribadi. Sebelum mencapai tahap akhir dari komunisme, negara, sebagai representasi kepentingan borjuasi dikuasai oleh kelas pekerja yang ditujukan untuk menghilangkan sama sekali kepemilikan-kepemilikian pribadi dan mengubah secara revolusioner relasi sosial yang ada. Sejarah perkembangan masyarakat ini merupakan hasil pemikiran seorang filsuf sekaligus ekonom, Karl Marx (dan untuk itu pula pemikiran dia dilabeli Marxisme) yang melihat sejarah selalu berhubungan dengan pertentangan kelas diantara kelas-kelas yang ada. Perubahan terjadi ketika corak ekonomi sudah tidak lagi sesuai dengan organisasi sosial yang ada, maka konsekuensinya adalah organisasi sosial yang ada itu mengubah dirinya sendiri agar sesuai dengan corak ekonomi yang berkembang itu. Dalam pengertian ini, maka harus dibedakan antara Komunisme itu sendiri serta segala eksperimen yang dilakukan untuk sampai pada tahap tersebut. Maka, konsekuensinya adalah segala eksperimen untuk mewujudkan komunisme yang gagal tidak berarti menggugurkan Ide tentang Komunisme itu sendiri.

Adalah Badiou, seorang filsuf marxis Perancis yang memberikan sumbangsih pemikiran pembacaan yang baru terhadap komunisme. Jika mentornya, Althusser, memberikan suplemen terhadap marxisme dalam pengertiannya memahami bangun basis-supersturktur dalam term overdeterminasi (bahwa terdapat ‘otonomi relatif’ dari superstruktur namun ‘determinasi pada pokok terakhir’ oleh basis), maka sumbangsih Badiou adalah memasukkan logika matematika (teori himpunan) dalam kritiknya terhadap demokrasi perwakilan dan melihat bahwa akan selalu ada keterbatasan yang tidak mungkin dipecahkan dalam demokrasi perwakilan sekaligus akan selalu ada peluang emansipasi dalam sistem tersebut. Tulisan ini dibatasi dalam tema demikian, dan melihat bagaimana Ide Komunisme diejawantahkan dalam praksis politik yang ada. Adapun logika matematikanya sendiri tidak penulis masukkan, semata karena keterbatasan penulis.

Emansipasi dari Kekosongan
Pernahkan kita berpikir bahwa wakil rakyat yang duduk di parlemen tidak pernah benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat? Pun dengan segala produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh mereka nyatanya tidak digunakan untuk kemaslahatan umum, malah jika kita merujuk pada beberapa produk Undang-Undang seperti UU Pendidikan Tinggi dan UU Organisasi Masyarakat justru mendapat penolakan dari berbagai elemen rakyat? Belum lagi kebijakan lain seperti penaikan harga BBM beberapa bulan lalu yang nyatanya tidak berorientasi rakyat. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa seperti ada sesuatu yang hilang antara ‘rakyat’ dan ‘wakil rakyat’ sehingga terlihat sama sekali tidak ada hubungan diantara mereka? Siapakah ‘rakyat’ yang sebenarnya diwakili oleh wakil-wakil tersebut? Problem inilah yang kemudian dilihat Badiou sebagai kontradiksi di dalam sistem demokrasi parlementer namun juga prakondisi bagi situasi yang emansipatoris.

Martin Suryajaya dalam bukunya Alan Badiou dan Masa Depan Marxisme (2011) memberikan perspektif dalam memahami keterkaitan antara konsepsi politik dan berbagai elemen yang membentuknya. Martin memberikan contoh tentang ‘massa’, ‘rakyat’ dan ‘negara’. Rakyat adalah suatu presentasi dari massa dimana disana muncul kategori-kategori baru yang bagi Marx ditandai dengan munculnya kepemilikan pribadi (private property) dimana rakyat berarti kumpulan pemilik yang dapat dihitung satu-persatu berdasarkan hak-hak kepemilikannya. Rakyat yang dikategorikan ini terklasifikasi menjadi para borjuasi dengan berbagai macam tingkatannya dan kaum pemilik tanah. Mereka yang tidak memiliki apapun, yang menjual tenaga kerja adalah ‘kekosongan’ (Pattiradhawane, 2011). Contoh kekosongan ini, dalam masyarakat Romawi terejawantahkan dalam sosok budak, dalam masyarakat feodal kekosongan menampak dalam borjuasi kecil yang tidak memiliki hak politik, serta dalam masyarakat kapitalisme yang menjadi kekosongan adalah kelas proletar yang hanya mampu menjual tenaga kerjanya. Adapun negara ada untuk menjaga keutuhan situasi yang seperti ini. Sampai saat ini, kita menemukan jawaban mengapa ada keterpisahan antara representasi (wakil rakyat) dan presentasi (rakyat). Bahwa, bagi Badiou, tak ada model representasi apapun yang dapat mencantumkan seluruhnya massa-rakyat dan model seperti ini hanya akan menghadirkan suatu massa yang tidak terpilah yang disebut kekosongan. Kekosongan inilah justru asal mula emansipasi.

Dalam buku Ada dan Peristiwa, Badiou menjelaskan bagaimana emansipasi lahir dari kekosongan. Bahwa kekosongan adalah situs peristiwa atau tempat dimana peristiwa muncul namun diangggap ilegal oleh situasi yang disebut ensiklopedia. Peristiwa yang datang dari kekosongan ini tidak dikenal dalam ensiklopedia dan sesuatu yang tidak dapat diputuskan (undecidable). Menurut Suryajaya (2011) hal  ini terjadi dalam dua kemungkinan, peristiwa dapat menjadi bagian dari situasi (terpresentasi dalam situasi) atau ia tidak menjadi bagian dari situasi (tidak terpresentasikan dalam situasi). Jika peristiwa dapat menjadi bagian dari situasi, maka ia dilepaskan dari elemen kekosongannya, bagaimana hal ini bisa terjadi? Masuknya peristiwa dan menjadi bagian dari situasi dilakukan melalui sebuah intervensi politik, terutama proses penamaan. Namun intervensi politik inipun melibatkan dimensi waktu, yaitu diperlukannya suatu kesetiaan (fidelity) untuk mengikuti peristiwa sampai kepada implikasinya yang paling ekstrim. Lantas, siapakah yang melakukan keseluruhan proses ini: intervensi politik beserta kesetiannya? Badiou menyebutnya sebagai subjek. Selain melakukan prosedur tersebut, subjek pula melakukan pemaksaan kebenaran (yaitu peristiwa yang tidak termasuk dalam ensiklopedi) agar cocok dengan situasi. Maka melalui prosedur inilah kebenaran yang dipaksakan tersebut menjadi pengetahuan baru dari ensiklopedia.

Dalam pada itu kita bisa mengambil contoh dari salah satu peristiwa dunia, yaitu Revolusi Bolsevik yang di pimpin V. I. Lenin yang menggulingkan pemerintahan Tsar dan membangun negara proletar pertama di dunia. Bagi Tsar, tentu tidak ada dalam ensiklopedianya kaum proletar yang merupakan kekosongan dalam struktur ekonomi politik Rusia mampu untuk berlawan apalagi melakukan revolusi. Namun kenyataannya, si subjek, yaitu partai Bolsevik, mampu untuk melakukan intervensi politik dan penamaan terhadap peristiwa tersebut yaitu ‘Revolusi Oktober’. Yang juga patut dicatat dari peristiwa ini adalah tawaran alternatif terhadap kontradiksi dari demokrasi perwakilan/representasi yang tidak akan pernah mampu untuk mewakili presentasi. Tawaran Lenin adalah mengembalikan lagi semuanya kepada massa melalui dewan-dewan rakyat (sovyet) yang merupakan presentasi-murni. Selain itu, dua peristiwa dunia lain yang menjadi bahan referensi bagaimana alternatif-alternatif di luar demokrasi parlementer adalah Komune Paris (1871) dan Revolusi Kebudayaan Cina (1966).

Ide tentang Komunisme dan Implikasinya
Logika dari demokrasi parlementer adalah massa-rakyat memiliki keterbatasan-keterbatasan dan mengakui bahwa struktur masyarakat adalah struktur yang tidak merata, untuk itulah massa-rakyat diwakilkan oleh wakil-wakil mereka di parlemen. Logika inilah yang sebenarnya ditentang oleh Badiou melalui Hipotesis Komunisnya. Baginya, komunisme adalah satu satunya hipotesis yang benar. Yang dimengerti Badiou tentang komunisme adalah, sebagaimana teks Manifesto Komunis, adalah pelampauan atas penindasan kelas. Karena hipotesis ini menolak ide ketidaksetaraan sebagai sesuatu yang alamiah, maka Ide Komunisme juga dimengerti sebagai “ide murni tentang kesetaraan”. Ide inilah yang dianggap oleh Badiou sebagai sesuatu yang konstan sepanjang sejarah.

Berbeda dengan Marxisme klasik yang melihat komunisme sebagai tahap terakhir perkembangan masyarakat, Badiou melihat Komunisme lebih kepada Ide tentang kesetaraan sebagaimana dimaksus di atas. Ide tentang komunisme untuk itu ada sepanjang zaman selama masih ada yang memperjuangkan kesetaraan radikal. Maka, konsekuensi dari ini adalah hilangnya basis material, yaitu aspek ekonomi dari pemikiran Badiou. Hilangnya basis material ini pula yang membuat Badiou tidak lagi membicarakan ‘kelas’ yang notabene merupakan faktor kunci dalam marxisme. Ketika Badiou memperlihatkan logika demokrasi perwakilan dan melihat adanya kesempatan emansipasi dari massa-rakyat yang tidak terhitung –dan ada dalam sisi kekosongan- disatu sisi dia memperlihatkan bahwa subjek emansipasi bisa lebih cair (contohnya siapapun yang menentang kapitalisme dan sepakat dengan paham sosialisme) namun di sisi lain memperlihatkan ketidakmungkinan emansipasi dari subjek-subjek yang cair ini dibanding dengan menggunakan filsafat Materialisme Historis yang menggunakan analisa kelas untuk melihat siapakah subjek emansipatoris yang dimaksud.

Implikasi lain dari pemikiran Badiou, terutama dilihat dari kritiknya tentang demokrasi parlementer, adalah hubungan politik (juga gerakan komunis) dengan negara. Dilihat dari kritiknya terhadap demokrasi parlemen, maka Badiou adalah orang yang anti parlemen. Sebagaimana yang dia praktikkan dalam I’Organisation Politique, visi politik Badiou adalah mengambil jarak terhadap negara seperti menolak terlibat dalam pemerintahan, menolak pemilu dan sebagainya. Gerakan-gerakan komunis yang mencoba menggunakan negara dalam menegakkan komunisme akan terjebak dalam kebuntuan presentasi-representasi ini.

Meskipun Badiou menyerukan penggunaan kembali frasa “komunisme” sebagai perlawanan atas kecenderungan revisionis gerakan kiri saat ini, namun baginya pula frasa “komunisme” ini sendiri harus diberikan makna baru karena di dalamnya ada hipotesis yang senantiasa benar-hipotesis tentang presentasi murni. Pada akhirnya, dalam Perspektif Badiou, tidak ada lagi perjuangan revolusioner, penghancuran negara borjuasi, kediktatoran proletar atau sekadar partai yang memperjuangkan komunisme melalui jalur elektoral. Yang ada hanyalah upaya menambal-sulam negara: gerakan rakyat yang muncul dari kekosongan dan memaksakan peristiwa yang mereka perjuangkan agar diterima dalam ensiklopedi yang telah ter-update dengan terminologi baru tentang kesetaraan yang telah dipaksaan tersebut tanpa mengubah isi ensiklopedia yang lama sama sekali.

1 komentar:

  1. terimakasih tulisan ini sangat membantu dalam memahami pemikiran Alain Badiou :)

    BalasHapus