Senin, 29 Juli 2013

Buruh dan Tugasnya dalam Sejarah



Sejarah seluruh umat manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Kalimat singkat dan padat yang terdapat di pembukaan Manifesto Komunis ini bisa dibilang merupakan intisari dari tesis Marx tentang masyarakat. Tesis ini menegaskan bahwa masyarakat sebenarnya adalah kelas-kelas yang saling bertentangan dan tidak terdamaikan. Masyarakat terdiri dari kelas yang berkuasa-yang dikuasai; menindas-tertindas; dst. Melihat dari fakta sejarah, terutama sejarah perkembangan masyarakat Eropa, maka tesis ini menemukan pembuktiannya. Di zaman romawi kuno, kita mengenal kelas-kelas dalam masyarakat seperti bangsawan, ksatria, rakyat biasa dan budak. Di era abad pertengahan, masyarakat Eropa terbagi dalam kelas feodal, petani dan borjuasi. Begitu pula di era saat ini, di era kapitalisme kelas yang tidak terdamaikan dan saling bertentangan terlihat sangat jelas: borjuasi dan proletar.


Perjuangan kelas dan transformasi masyarakat ini terjadi ketika kekuatan produktif tidak mampu lagi ditampung oleh organisasi sosial yang ada, bahkan menjadi penghambat. Contohnya, di alam feodalisme dimana kepemilikan tanah dan hamba tani sebagai coraknya, sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan kekuatan produktif dari kelas borjuasi seperti penggunaan mata uang dan transaksi dagang yang semakin menyeluruh, maka corak feodalisme pun akan tergantikan dengan sistem kapitalisme, dimana sistem ini lebih sesuai dengan kekuatan produktif yang disebut demikian. Lebih jauh, menurut Marx dalam Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik (1959),

“Tidak ada tata sosial pernah lenyap sebelum semua kekuatan produktif yang bisa ditampungnya telah berkembang semuanya dan hubungan-hubungan produksi baru yang lebih tinggi tidak akan pernah timbul sebelum kondisi-kondisi materiel bagi eksistensinya telah matang di dalam kandungan masyarakat lama”

Apa konsekuensi dari ini? Konsekuensinya adalah bahwa kita mengerti di dalam sebuah sistem terkandung antagonisme dari sistem itu sendiri, yang suatu saat akan menggantikan sistem itu ketaraf yang lebih tinggi dari sebelumnya. Jika dalam sistem feodalisme kelas borjuasilah kaum revolusionernya, bagaimana dengan sistem kapitalisme saat ini? Siapakah ‘kelas revolusioner’nya? Kira-kira ihwal itulah yang akan coba dijawab dalam esai ini..

Apa itu Kapitalisme?
Kapitalisme tumbuh ketika tatanan lama –feodalisme, runtuh. Orde ini ditandai dengan, diantaranya, meluasnya penggunaan uang sebagai alat tukar, tumbuhnya pasar, perbankan, kredit, hingga ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Adalah Marx dan Engels, menurut Eric Hobsbawn (1997), yang pertama kali menggunakan istilah kapitalisme ini setelah sebelumnya ilmuan-ilmuan lain macam Adam Smith menamainya merchant-society­ atau Hegel dengan civil-society memaknai tatanan masyarakat yang baru ini. Meskipun orde yang baru ini dicirikan oleh banyak hal, tetapi menurut tafsir Howard dan King (1985) tentang definisi kapitalisme dari Marx, kapitalisme dapat dilihat dari empat ciri utamanya: pertama, kapitalisme dicirikan oleh produksi komoditi (production of commodities); kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour); ketiga, kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas (acquisitiveness); dan keempat, kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional.

Produksi komoditas sebenarnya bukan khas dari kapitalisme, namun kapitalisme hanyalah salah satu bentuk khusus dari produksi komoditi. Yang membedakannya dari sistem lain lain adalah kapitalisme menempatkan pasar sebagai dominan. Peran pasar adalah sebagai tempat bertukarnya komoditi dari sebuah aktivitas ekonomi oleh agen-agen yang independen. Namun, ciri pertama ini belum cukup untuk menggambarkan kapitalisme, ciri pertama selalu berkaitan dengan ciri kedua, yaitu karekter kerja-upahan. kapitalisme menempatkan pekerja/buruh hanya sebagai salah satu faktor produksi disamping mesin dan bahan mentah. Hal ini terjadi karena kapitalisme mensyaratkan terkonsentrasinya faktor produksi ditangan segelintir orang. Akibatnya, orang yang tidak memiliki faktor produksi hanya mampu mengandalkan tenaganya saja untuk bertahan hidup. Tenaga kerja inilah yang nantinya akan dijual di pasar kepada para kapitalis. Inilah pengertian kebebasan dalam konteks saat itu, si buruh bebas untuk menjual tenaga kerjanya kepada kapitalis manampun yang ia suka –yang membayar paling tinggi, dan si kapitalis pun bebas untuk mempekerjakan si buruh, atau tidak.

Lebih dalam mengenai hubungan kerja-upahan, ternyata di titik inilah kita bisa memulai bagaimana melihat sistem kapitalisme sebagai sistem yang eksploitatif terhadap buruh. Sebagaimana dijelaskan, bahwa komoditas yang siap dijual ke pasar merupakan hasil kerja dari buruh. Di dalam komoditas tersebut terdapat suatu nilai baru yang hanya mampu diciptakan buruh dari faktor-faktor produksi yang lain (mesin dan bahan mentah), nilai baru inilah yang dirampas dari buruh ke tangan kapitalis sebagai keuntungan bagi mereka. Sebagai gantinya, si buruh, akibat dari kontrak kerja yang disepakati oleh mereka (yang tentu tidak dalam derajat yang setara) hanya mendapat upah yang “cukup agar si buruh di keesokan harinya masih mampu untuk pergi ke pabrik dan mengulang proses yang sama dan melakukan reproduksi calon-calon buruh baru”. Hal ini penting mengingat di dalam sistem ini pun para kapitalis saling bersaing untuk memperebutkan pasar. Tentu, komoditas dengan harga termurahlah yang akan laku di pasaran.

Dalam cirinya yang ketiga, yaitu kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas atau akumulasi kapital tanpa henti, ini merupakan motivasi utama dari kapitalis. Marx dalam Kapital I Chapter IV menjelaskan bahwa,         

“Ekspansi nilai ….menjadi tujuan subyektif seorang kapitalis, dan motif utama ini hanya berlaku sejauh ia memperoleh lebih dan lebih banyak lagi kekayaan dalam fungsinya sebagai seorang kapitalis…. Nilai-guna, dengan demikian, tidak bisa dilihat sebagai tujuan utama seorang kapitalis.”

Ciri ketiga ini secara sederhana dirumuskan dalam U-K-U’ (U=uang dan K=Komoditas) dimana kapitalis memulainya dengan membelanjakan uang yang dia miliki menjadi komoditas, atau sampai pada tahap ini disebut dengan kapital pendahuluan. Pemroduksian komoditas ini, dalam didtem kapitalisme, bukan untuk dinikmati nilai pakainya, namun agar mampu dijual lagi dengan harga yang lebih mahal. Proses ini terjadi terus menerus sampai terjadinya kelebihan produksi/krisis. Komentar Marx,

“Kebutuhan untuk senantiasa memperluas pasar bagi barang-barang yang diproduksinya, merupakan dorongan di kalangan kaum borjuasi untuk merengkuh seluruh muka bumi dengan barang-barangnya. Ia harus berada di mana-mana, bertempat di mana-mana, dan menjalin hubungan di mana-mana”

Yang harus menjadi catatan, dalam poin ini tidaklah relevan untuk melihat kapitalisme dari sisi moral. Kehendak untuk menumpuk kekayaan/akumulasi kapital tanpa batas merupakan konsekuensi logis dari persaingan antar kapitalis. Karenanya, sistem kapitalisme, dengan persaingan bebas yang mereka tuhankan, sebenarnya mengandung kontradiksi di dalam dirinya sendiri, yaitu tersingkirkannya kapitalis yang kalah dalam persaingan dan terjadinya prolerariatisasi. Bumi hanya tinggal menyisakan dua kelas, kapitalis yang semakin sedikit namun kapitalnya makin terkonsentrasi, dan buruh yang makin banyak dan sadar akan tugas sejarahnya. Disinilah kita telah mencium bau revolusi ala Marx.

Ciri terakhir dari kapitalisme adalah kebutuhan sebuah organisasi secara rasional. Kapitalisme membutuhkan kondisi-kondisi tertentu yang digunakan untuk memastikan akumulasi kapital berjalan sebaik-baiknya, apalagi dengan berbagai macam kontradiksi yang telah dipaparkan sebelumnya. Melalui pendekatan materialisme historis, maka organisasi rasional untuk melanggengkan kapitalisme adalah semua aspek yang non-ekonomi (suprastruktur) seperti politik dan hukum. Dan keduanya berada dalam otoritas bernama negara. Maka tidak heran Marx berkata bahwa negara hanyalah kepanjangan tangan kaum borjuasi.

Revolusi Di Tangan Proletar
Perkembangan kapitalisme yang membawa kemelaratan bagi kelas proletar, (khsusunya di Inggris sebagai embrio sosialisme ilmiah selengkapnya dapat dibaca melalui buku Condition of Working Class in England milik Engels), menghasilkan beberapa perlawanan, bahkan ketika proletar belum berkembang penuh[1]. Tercatat perlawanan seperti gerakan kaum Leveller dan Digger yang menentang eksploitasi atas kaum miskin. Seiring berjalan, ada orang-orang yang sudah mampu untuk memproyeksikan bayangannya tentang masyarakat masa depan, seperti Owen dan Fourier. Namun, karena kedua orang ini mendasarkan diri pada ‘idealita’ dan tidak mampu membangun teoretisasi atas masyarakat dimana mereka akan membangun sosialisme, gerakan mereka gagal. Owen bereksperimen untuk membangun koloni kominis untuk menyelesaikan penderitaan masyarakat Irlandia. Usaha Owen adalah bagaimana kekayaan yang berlimpah yang dimiliki individu dapat menjadi milik publik. Sedangkan Saint Simon menganggap kaum tak berpunya tidak memiliki kapasitas memimpin dan harapannya terhadap kaum borjuis Perancis dapat menjadi pejabat publik yang baik. Sebuah pendekatan moral yang keliru. Proyeksi masyarakat masa depan yang coba dibangun mereka, namun tanpa basis yang jelas, dikemudian hari disebut sosialisme utopis.

Berbeda dengan dua kameradnya, Marx (juga Engels), mampu untuk mengembangkan basis teoritis dari sejarah perkembangan masyarakat yang dikenal dengan sosialisme ilmiah. Marx dan Engels mampu untuk melihat kontradiksi internal di dalam tubuh kapitalisme dan menggunakan analisa historical materialism untuk melihat perkembangan masyarakat (yang artinya kemungkinan revolusi).

Revolusi terjadi bukan karena kelas tertentu memiliki gagasan tentang perubahan, keadilan, atau semacamnya, kemudian disebarkan dalam masyarakat. Bukan, itu merupakan pemikiran seorang idealis. Bagi seorang materialis seperti Marx, perubahan hanya dapat disandarkan pada sesuatu yang real, yang kongkret, dan itu ditemukan dalam corak ekonomi (produksi dan pertukaran). Adapun gagasan-gagasan tentang perubahan, ketidak adilan, merupakan ekspresi dari perubahan corak ekonomi yang sudah tidak sesuai dengan organisasi sosial yang ada. Cara menghilangkan kontradiksi yang ada, ada di dalam cara produksi yang berubah itu, bukan mempertahankan organisasi sosial yang ada. Contohnya, ketika kapitalisme baru merupakan kuncup ditengah padang feodalisme, maka kapitalisme (dengan adanya kebebasan dan kepemilikan pribadi) berkontradiksi dengan organisasi sosial yang ada seperti privilege tuan tanah. Begitu juga dengan organisasi sosial kapitalisme yang ada saat ini, maka antitesis yang paling tepat dari kapitalisme adalah sosialisme, dimana alat produksi yang ada di tangan kapitalis disosialisasikan menjadi milik anggota masyarakat; anarkisme pasar diganti dengan produksi sesuai dengan kebutuhan; individualisme diganti dengan kolektivisme.

Dengan paragraf di atas sebenarnya sudah jelas siapa kelas yang paling mampu untuk menuntaskan revolusi. Bahwa untuk menyelesaikan kontradiksi yang tidak terdamaikan di dalam tubuh kapitalisme, satu-satunya jalan hanyalah dengan mengganti sistem ekonomi yang merupakan negasi atasnya. Begitu pula kelas-kelas yang mensyaratkan adanya kapitalisme. Mengapa kelas proletarlah yang menjadi kelas revolusioner yang mampu untuk menghancurkan kapitalisme? Karena, kelas inilah yang berkontradiksi langsung dan memiliki relasi saling mensyaratkan dengan kelas kapital bagi keberadaan kapitalisme. Dengan adanya penyelesaian kontradiksi kapitalisme itu, artinya, kelas proletar juga sedang mengemansipasi dirinya dalam arti menghapuskan dirinya juga sebagai kelas proletar. Namun satu yang harus diingat: kapitalisme tidak menganal batas teritori negara, ia ada dimana-mana untuk mengeruk keuntungan. Perjuangan proletar pun tidak mengenal batas negara, ia mendunia. Maka pesan Marx: “Buruh Sedunia, Bersatulah!”

Bagaimana dengan Indonesia?
Pada tahun 1917 secara mengejutkan Sovyet mampu membentuk kediktatoran proletariat pertama di dunia di bawah kepemimpinan V. I. Lenin. Tidak seperti tesis Marx tentang perkembangan masyarakat bahwa untuk mencapai kediktatoran proletar harus mencapai tahap kapitalisme matang, bahkan Sovyet membangun pemerintahan buruh ketika usia kapitalisme di negeri itu masih sangat muda. Hal inii menjadi bukti bahwa sejarah tidak berlangsung secara gradual dan berangsur-angsur namun penuh dengan lompatan yang tidak terduga. Selain itu, dibanding Marx yang hanya menekankan pada kelas proletar sebagai agen revolusi, Lenin menekankan pada kelas buruh dan tani –yang dilengkapi oleh Trotsky dengan “pemerintahan buruh yang didukung tani”nya , sebagai agen revolusi yang akan membawa pada sosialisme. Apa yang bisa didapat dari ini?

Bahwa analisis Marx tentang sejarah tidak bisa dibaca secara tekstual. Marxisme merupakan filsafat materalisme dialektis yang dengan itu tidak bisa dilihat secara kaku. Begitu pula ketika mencoba menjawab pertanyaan “siapakah kelas revolusioner”, kita tidak bisa serta merta mencap bahwa kaum buruhlah kelas yang dimaksud tanpa melakukan analisis terhadap basis materil dimana ruang yang dimaksud dilihat.

Sistem neoliberal saat ini tentu menyisakan kemiskinan, bukan hanya pada buruh, namun juga pada pada petani yang kehilangan ladangnya karena direbut oleh perusahaan sawit, para nelayan yang tidak bisa melaut karena BBM mahal, ibu-ibu yang tidak mampu membuat ngebul dapurnya karena harga sembako tinggi, juga rakyat miskin kota yang tidak bisa mendapatkan kerja yang layak. Semua lapisan sosial inilah yang termiskinkan, si kaum marhaen kata Sukarno. Dalam konstelasi seperti ini, dan kerangka besarnya di dalam sistem ekonomi politik kapitalisme, maka seluruh golongan inilah yang seharusnya berkonfrontasi dengan para borjuasi dan membentuk pemerintahan rakyat, sebuah revolusi sosialis yang berisi orang-orang tertindas, yang berisi kelas-kelas paling bawah dalam stratifikasi sosial.

Siapakah kelas terdepan dalam revolusi sosialis ini? Tentu karena perebutan superstruktur ini sebagai sebuah reaksi balik untuk mengubah basis ekonomi, dan yang berkontradiksi langsung dengan kapitalisme dan borjuasinya adalah buruh, maka buruhlah yang harus memimpin. Kepemimpinan buruh harus diartikan sebagai kepemimpinan rakyat secara keseluruhan karena agenda-agenda buruh adalah sama dengan agenda rakyat paling tertindas lain. Pun dengan pengalaman materil perlawanan terhadap sistem –setidaknya yang saya amati- kelas buruh pula lah yang terdepan. Meskipun selama ini ada kecenderungan bahwa gerakan buruh hanya memperjuangkan masalah ekonomisme –naik upah, tolak kerja kontrak, tolak pemberangusan serikat, dll, tetapi masih ada kesempatan yang luas untuk terus menerus menginjeksikan kesadaran kepada buruh. Menginjeksikan kesadaran bahwa mereka tidak lagi bisa menggantungkan nasib kepada kaum borjuasi yang sudah jelas tidak berpihak. Kelas buruh harus sadar, dan kaum tertindas lain, bahwa perbaikan nasibnya hanya bisa dilakukan melalui usahanya sendiri dan dari tangannya sendiri.



[1] Patut dicatat bahwa gerakan buruh telah ada sebelum marxisme lahir. Marxisme datang kemudian untuk memasukkan basis teoritis terhadap gerakan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar