Senin, 12 Desember 2011

Surat Kepada Mahasiswa Merah Membara

Mahasiswa itu, mahasiswa beralmamater merah membara yang menyandang nama Sang Proklamator telah menghibahkan dirinya menjadi api yang juga membara di depan Istana Sang Raja. Berhari-hari detik tiap detik yang tertempat dipertengahan hidup dan mati itu akhirnya condong menuju alam mati. Kau mati bukan sembarang mati, kau mati meninggalkan api, api yang akan menyulut revolusi.

Penguasa semenjak 7 tahun itu tak juga bergeming. Ketika teriakan-teriakan jalan bercorong keluar dari megafon menjadi partikel-partikel udara tak seberapa. Ketika agamawan mendeklarasikan kebohongan-kebohongannya, kebohongan itu malah dianggap bohong, kebohongan yang bohong.  Ketika jeritan-jeritan rakyat menderu menggebu menjadi satu tak jua sadarkanmu. Ketika petani, buruh, kuli, sopir, dan sejuta proletar lainnya tetap ditindas dan meranggas. Muncul! muncul hay kau mahasiswa merah membara dengan api-api revolusi didepan matamu, dan kau telah mati!

Masihkan kau, kelas-kelas menengah, akan diam? Lihat mahasiswa itu! Lihat kedalam hatinya yang telah hangus dan kau akan temukan arti perjuangan dalam dunia yang resisten, arti perjuangan dalam keegoisan diri dan etika korup yang telah mengakar membudi membudaya. Kau! kau yang menyandang nama agen perubahan yang kini kampus mu penuh sesak oleh mobil-mobil mentereng milik indukmu, yang penuh sesak oleh dandanan ala Monroe dan Dolly. Kau pikir untuk siapa ilmu-ilmu itu? Untuk cukong-cukong kapitalis yang menunggumu menyerahkan ijazah? Atau untuk kepala yang menunduk?

Apa yang kau cari wahai mahasiswa merah membara? Sudahkah kau lelah dengan garis ini? Garis yang menuntunmu pada debu-debu jalanan, istana, rumah kura-kura dan segudang simbol-simbol penindasan lainnya? Lelahkan kau melihat rakyat menjerit menangis meratap sehingga kau pergi ke sana? Atau, inginkah kau melihat tanah air mu yang telah bermandikan dosa ini hancur menggeliat revolusi?

Kata Rendra, maksud baikmu, untuk siapa? untuk siapa mahasiswa merah membara? Untuk rakyatmu yang padahal lebih membutuhkanmu ketika dirimu kelak menjadi pewaris? Atau untuk penguasa kau sembahkan darahmu yang kering itu dalam hidangan makan malamnya? Atau untuk sejawatmu yang telah tak lagi mengingat rakyat dan nyaman di kampus menara gadingnya? untuk siapa? untuk siapa…

Jumat, 02 Desember 2011

Perjalanan Hidup Si Mata Nyalang

Nama kecilnya hanyalah Ibrahim, nama Tan Malaka didapat ketika dia dirasa telah dewasa oleh adat daerah tempat ia dilahirkan. Nama lengkapnya ialah Sutan Datuk Ibrahim Tan Malaka. Tan Malaka dilahirkan di daerah Suliki, Minangkabau, Sumatra Barat. Di daerah ini adat Islam masih sangat kental terasa, dan, Tan Malaka hidup ditengah kondisi seperti ini yang sangat mempengaruhi hidupnya hingga akhir hayat. Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim dalam bukunya Kematian Tan Malaka.

Selasa, 22 November 2011

Tentang Matinya Gerakan dalam Kampus

Gerakan perlawanan mahasiswa Universitas Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rektorat yang sempat hangat beberapa waktu silam meredup. Gerakan #SaveUI yang dipelopori lembaga formal kampus berawal dari ketidakberesan pengelolaan Universitas yang dianggap tidak transparan dan akuntabel. Ketidak transparanan dan akuntabilitas ini berdampak langsung pada tata kelola Universitas yang merugikan sivitas akademika secara keseluruhan. Pembangunan mercusuar-mercusuar baru yang kurang memperhatikan konsep kebutuhan dan urgensitas, sentralisasi keuangan dan sentralisasi kekuasaan, juga banyak permasalahan lain adalah latar belakang mahasiswa (juga sivitas akademika lain) melakukan perlawanan.

Surat Kepada 3 Setan kota

Oleh: Endo Suwartono/Lekra

Setan
Kini saatnya kita bikin perhitungan
Cukup sudah segala dera dan duka
Yang kami tanggung di punggung
Dari zaman ke zaman

Kunanti bumi yang Memerah Darah

Oleh: Mawie (seniman Lekra)
Bintang Timur, 21 Maret 1965 (beberapa bulan sebelum peristiwa G30S)

Bulan arit di langit
Napas terkatung di Ciliwung
Anak kecil nangis di pangkuan
Seorang perempuan
Wajahnya hanyut ke laut
Sejak ia datang dari pinggiran kota
Dibawa sungai kehidupan

Kamis, 13 Oktober 2011

Renungan Kukusan-Halte FIB

Aku bergegas menuju kampus FIB UI pukul 11 lewat. Sudah tersusun rencana yang sangat rapi apa yang akan aku karjakan nanti. Mengambil bank soal, mengatur mentoring Pandu Budaya, menyelesaikan mengunduh film, dan mengerjakan tugas kuliah tentunya. Lama aku menunggu bis kuning datang di halte kukusan. 15 menit kemudian, bis pun datang, tidak terlalu penuh.

Karl Marx: Teori Kelas

Menurut Karl Marx, seluruh pelaku utama dari perilaku masyarakat adalah kelas-kelaas sosial. Masih menurut Marx dalam karya Manifesto Komunisnya, sejarah manusia adalah sejarah perjuangan kelas, kelas yang ‘tinggi’ akan selalu menindas kelas yang ‘rendah’ dengan berbagai cara, dan akan selalu seperti itu. Maka, untuk membebaskan segala bentuk penindasan tersebut haruslah dilakukan melalui sebuah perjuangan kelas. Permasalahannya, Marx tidak pernah sekalipun menguraikan pemikirannya tentang teori ini melalui sebuah tulisan. Namun, teori perjuangan kelas ini termuat secara implisit dalam semua teorinya yang eksplisit.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Testamen Sukarno

Pertemuan Sukarno dan Tan Malaka pertama kali terjadi pada 9 September 1945 di rumah dr. Suharto. Sebelumnya mereka saling kenal puluhan tahun silam lewat tulisan-tulisan keduanya. Saat itu pula, secara gamblang dengan disaksikan Sayuti Melik Sukarno mengatakan bahwa dia akan mewariskan perjuangan revolusi kepada Tan Malaka jika Sukarno sudah tidak mampu lagi.

Jumat, 16 September 2011

UI Dalam Transisi, Mau Dibawa kemana UI?

Pasca dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 silam, terjadilah kekosongan payung hukum tata kelola Universitas Indonesia. Akibat dari kekosongan hukum tersebut, maka Pemerintah yang diwakili oleh Mendiknas mengeluarkan suatu produk hukum sementara (masa transisi) bagi Universitas Indonesia, yaitu PP 66 Tahun 2010. Di dalam PP 66 sendiri terlihat bahwa Universitas Indonesia akan diarahkan menjadi PTP (Perguruan Tinggi Pemerintah) dimana segala tata kelola diawasi langsung oleh pemerintah di bawah Kemendiknas. Namun, syarat untuk menjalankan PP 66 tersebut adalah harus adanya Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Ketika dua syarat tersebut belum terpenuhi, maka segala tata kelola kampus dijalankan sebagaimana PP 152 tahun 2000 yang mensyaratkan bahwa Universitas Indonesia menjadi BHMN.

Minggu, 11 September 2011

Universitas Indonesia dan Problemanya

“Universitas Indonesia adalah kampus mercusuar penegakan moral, maka, harus dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip moralitas juga” begitu kira-kira pernyataan Prof. Dr. Emil Salim ketika menyampaikan orasi di kampus FE-UI, Depok, 5 September 2011. Bukan tidak beralasan mengapa Prof. Emil menyampaikan orasinya tersebut. Tata kelola Universitas Indonesia yang dijalankan selama ini, khususnya dimasa rezim Gumilar, menurut Prof. Emil memang sudah jauh dari sisi moralitas. Berbagai macam permasalahan yang sebetulnya sudah sangat berlarut-larut tanpa penyelesaian berarti seperti transparansi anggaran, ketidakjelasan status pegawai, hingga biaya kuliah yang mahal adalah sekelumit kisah betapa ada sesuatu yang salah di kampus ini.

Saatnya Bergerak!!!

Ada teori yang menyebutkan manusia itu seperti serigala, mereka akan bergerak ketika itu adalah menyangkut kepentingannya. Meskipun saya kurang setuju akan teori ini, agaknya ini adalah memang teori yang tepat untuk menggambarkan keadaan kampus UI yang sedang hangat belakangan ini.


Berawal dari pemberian gelar DHC kepada Raja Arab Saudi pada tanggal 21 Agustus silam, kampus UI tiba-tiba saja bergejolak. Pintu gerbang gelombang perlawanan terjadi tanggal 5 September, yaitu saat orasi ilmiah Prof. Dr. Emil Salim di kampus FE UI-Depok. Namun, orasi ini bukanlah tanggapan dari pemberian gelar DHC yang sarat akan kontroversi tersebut saja melainkan sebuah ‘tamparan’ pada rektor bahwa dia telah nyata-nyata melaksanakan tata kelola UI tanpa moralitas dan hati nurani. Ya, pemberian gelar DHC hanyalah puncak dari gunung es permasalahan tata kelola UI yang amburadul bin semrawut dan menjadi pemantik gerakan perlawanan lainnya.

Berbagai macam permasalahan yang berujung pangkal pada ketidaktransparanan tatakelola kampus nyata-nyata memang terjadi dan bisa diketahui dengan mata telanjang sekalipun.

Kembali pada teori serigala tersebut, mengapa kita, mahasiswa, mesti bergerak? Jelaslah karena ini pun adalah masalah kita bersama. Mungkin masalah sivitas akademika pada umumnya terkait pada ketidak transparanan dan akuntabilitas tata kelola, ketidak jelasan status pegawai, dll, namun untuk masalah yang lebih spesifik lagi, yang sangat bersinggungan dengan kita tentunya berkaitan dengan masalah keuangan dan fasilitas pendidikan.

-apakah ketika uang kuliah kita masih sangat mahal dan kita tidak tahu kemana saja uang kita berpangkal karena ketidak transparanan keuangan, itu bukan masalah kita?

-apakah ketika kita mengajukan BOP dan ternyata hasilnya masih sangat memberatkan, itu bukan urusan kita?

-apakah ketika kita sangat kesulitan dalam mengajukan BOP karena waktu yang sangat mepet dalam mengumpulkan berkas-berkas, itu bukan masalah kita?

-apakah ketika kita sangat mengandalkan uang beasiswa untuk hidup dan membayar uang kuliah, sedangkan uang beasiswa sendiri selalu terlambat, itu bukan masalah kita?

-apakah ketika kita sangat sulit mengajukan permohonan dana kemahasiswaan padahal itu adalah hak kita, itu bukan masalah kita?

-apakah ketika kita mempertanyakan uang kuliah kita kepada pihak rektorat, bukannya jawaban, yang kita dapat malahan adalah pukulan dan tindakan represif dari satpam, itu bukan masalah kita?

-itu bukan masalah kita? itu bukan masalah kita? itu bukan masalah kita? itu bukan masalah kita? itu bukan masalah kita? itu bukan masalah kita? itu bukan masalah kita??

Ini semua masalah kita kawan!! Dan masalah ini tidaklah akan selesai begitu saja seperti malam yang tanpa kita berusahapun aka datang saat matahari tenggelam. Masalah ini akan selesai ketika kita semua bergerak bersama, satu komando satu perjuangan, atribut-atribut golongan yang usang itu tanggalkan, satu tujuan: untuk UI yang lebih baik.

Jumat, 22 Juli 2011

Ospek: mendidikkah?

Setiap tahun ajaran baru, institusi pendidikan baik itu tingkat terendah hingga perguruan tinggi menerima siswa/mahasiswa baru. Beriringan dengan itu biasanya institusi pendidikan melakukan kegiatan semacam pengenalan sekolah/kampus atau ospek  yang dilakukan sebelum masa belajar-mengajar. Namun, kali ini saya akan lebih mengkhususkan pada ospek SMP/SMA.

Jumat, 01 Juli 2011

Wars Within : Pergulatan Tempo Sejak Zaman Orde Baru

Oleh : Janet Steele

Majalah mingguan Tempo adalah majalah yang didirikan pada tahun 1971 oleh angkatan 66 (angkatan yang dikenal sebagai penumbang rezim Sukarno). Pendiri Tempo diantaranya adalah Gunawan Muhammad. Orang yang lahir di Batang pada tahun 1941 ini sejak muda telah dikenal luas dikalangan sastrawan Indonesia karena tulisan atau puisinya yang sering dimuat di Jurnal Sastra yang didirikan oleh HB Jassin. Selanjutnya Gunawan menjadi pemimpin redaksi Tempo hingga Juli 1998.

Suasana Internal
Semenjak didirikan, majalah yang kantor pertamanya berada di kawasan padat ibukota jl. Senen Raya 1983 ini mengutamakan unsur kekeluargaan dalam kepengurusannya. Tidak adanya gap antara atasan-bawahan, atau antara pemegang saham dan bukan, semuanya sama rata dan sama tinggi. Namun, ada saat-saat dimana akhirnya unsur kekeluargaan ini retak. Sabtu, 11 Juli 1987, 40 karyawan yang bekerja di Tempo (yang terdiri dari redaktur, reporter, bahkan yang baru masuk) memutuskan untuk mengundurkan diri dari Tempo. Banyak asumsi yang melatarbelakangi keputusan 40 orang tersebut, diantaranya, gap antara atasan dan bawahan, diakui oleh salah satu dari keempat puluh orang tersebut, hal ini terjadi saat Tempo pindah ‘markas’ ke kawasan elit di Jl Rasuna Said. Perseteruan antara buruh dan majikan ini mungkin telah lama terbenam di bawah retorika orde baru tentang pembangunan dan profesionalisme. Memang, semenjak orde baru tumbuh, di berbagai kalangan muncul pemikiran tentang ‘modernisme’. Namun hal ini malah membuat suatu organisasi cenderung menjadi sangat birokratis dan kaku.  Penyebab lain adalah, sejak memasuki dekade 80an, Tempo mulai menjadi kaya (sesuatu yang tidak dibayangkan sama sekali oleh para pendirinya), hal ini menyebabkan orang yang memiliki saham di Tempo mendapat uang lebih banyak dari yang lainnya.

Tempo dan Berita
Dalam sejarah Tempo, berita yang disampaikan pada masa orde baru tidaklah objektif. Karena menurut Tempo, bersikap objektif (seimbang) dalam sistem yang pada dasarnya memang tidak adil tidaklah cukup. Sebagai contoh: ketika insiden Priok terjadi, berita yang dimuat Tempo bukanlah sumber resmi dari pemerintah (sesuatu yang rentan akan pembredelan). Pemerintah mencatat insiden itu menewaskan 9 orang dari pihak Amir Biki, sedangkan Tempo yang memuat berita tersebut pada 22 September 1984 menyebut korban tewas sebanyak 28 orang, hal ini membuat kalangan islam bersimpati. Ketika itu, unsur utama untuk tidak dibredel adalah menempatkan  sumber resmi dari pemerintah sebagai pokok utama. Meskipun demikian, Tempo yang memang dekat dengan pejabat hanya menempatkan 10-15% dari apa yang dikatakan pemerintah. Intinya, penulis sepakat bahwa memang Tempo itu membela wong cilik, sama seperti visi Tempo, membela kaum yang tidak bisa membela diri. Kompromi dengan pemerintah adalah soal strategi untuk bertahan hidup. Strategi lainnya agar Tempo tetap independen adalah kemandirian secara ekonomi. Setelah peristiwa Malari, para pemegang saham lari. Lalu Gunawan berhasil meyakinkan Jaya Development Grup (pengembang Jakarta) menjadi pemegang saham utama.

Pembredelan
Pada masa orde baru, sensor terhadap pers sangatlah besar dan kuat. Padahal, hal ini sangat bertentangan dengan UU Pokok Pers tahun 1966 yaitu “kebebasan pers dijamin sebagai hak yang paling hakiki dari Warga Negara”.  Yang ada adalah (1) Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan (2) Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan Komkamtib. Ketika salah satu dari izin ini dicabut maka media cetak tidak boleh terbit. Terhitung beberapa kali Tempo terancam dibredel akibat pemberitaannya yang dianggap ‘mengganggu stabilitas nasional’ dan ‘tidak berasaskan Pancasila’. Sehabis peristiwa Malari, 12 izin terbit surat kabar dihapus, bukan karena apa yang mereka tulis namun karena siapa yang menulis. Tempo sendiri lolos dari pembredelan, hal ini dikarenakan (1) perselisihan antara Jend. Sumitro dan Ali Murtopo diberitakan Tempo secara berimbang (2) Tempo dianggap media yang netral dan bersikap kompromistis. Selain itu dimungkinkan karena kedekatan antara Gunawan dan Sumitro. Namun, akhirnya Tempo tidak lepas juga dari pembredelan orde baru. Bersama Detik dan Editor, Tempo akhirnya dibredel pada Juni 1994 karena pemberitaan kontroversial seputar pembelian 39 kapal perang bekas Perang Dunia ke II milik Jerman Timur oleh Menristek, BJ Habibie.

Pulih
Orde baru pun tumbang oleh gerakan mahasiswa dan Tempo pun terbit kembali pada 6 Oktober 1998. Sebelumnya, Gunawan bersikeras untuk tidak menerbitkan Tempo dan tidak ingin menjadi pemimpin redaksi lagi, “biarlah Tempo menjadi sejarah” begitu katanya. Namun, akhirnya Gunawan menjadi pemimpin redaksi Tempo lagi setelah berbagai syarat yang dia ajukan dipenuhi, yiatu, peraturan menteri tentang pers dicabut, jangan ada saham perseorangan dalam tubuh Tempo, dan yang terakhir Gunawan hanya akan menjadi pemimpin redaksi selama satu tahun. Akhirnya dibulan Juli Gunawan benar-benar keluar dan digantikan oleh Bambang Harimurti, dan Tempo masih tetap berdiri mengawal demokrasi hingga saat ini.


Celoteh #3 : Gumilar 0h Gumilar..

Perawakanmu sama dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak tinggi juga tidak pendek, kulit sawo matang, mata besar plus kumis tebal yang menggantung di atas bibir menjadi ciri khasmu. Kuyakin makanan mu pun sama dengan kami, mungkin yang membedakan hanya lauk pauk yang kau makan lebih mahal dari yang sering kami makan, mungkin. Ya, tidak ada pembeda yang terlalu jauh antara kamu dan kami, satu-satunya yang menjadi pembeda adalah kedudukanmu.

Rabu, 22 Juni 2011

Apakah masih bisa mempercayai BEM UI?

Menjadi mahasiswa bukanlah sebatas menjadi seseorang yang mengenyam pendidikan di sekolah tinggi. Menjadi mahasiswa sejatinya menjadi manusia yang memasuki fase hidup baru yang seharusnya memiliki kontribusi nyata dalam masyarakat. Menurut Bagus Takwin[1], definisi mahasiswa salah satunya adalah calon pembaharu, pembaharu dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam lini kehidupan lainnya.

Jumat, 17 Juni 2011

Melangitnya Biaya Perguruan Tinggi

Tahun 2010 lalu, UU BHP yang menjadi landasan dalam mengelola perguruan tinggi dicabut oleh MK karena dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945. Dalam UU BHP sangat jelas usur-unsur liberalisasi pendidikan dan upaya lepas tangan pemerintah dalam mengelola perguruan tinggi, akibatnya, biaya pendidikan semakin mahal dan tidak terjangkau karena perguruan tinggi cenderung hanya memanfaatkan dana dari mahasiswa untuk biaya operasionalnya.

Pasca pencabutan UU BHP, perguruan tinggi memasuki pintu gerbang baru, pintu gerbang yang diharapkan akan membuat wajah perguruan tinggi  jauh dari unsur- unsur liberalisasi dan pada akhirnya akan membuat Indonesia lebih baik. Namun nampaknya hal tersebut masih jauh panggang dari api, indikator termudah adalah masih mahalnya biaya pendidikan.

Saya adalah salah satu mahasiswa universitas negeri terkemuka di Indonesia. Ketika masih SMA, pilihan saya bulat untuk memasuki universitas ini, selain karena memang universitas unggulan, juga saya berharap biaya kuliah yang murah. Namun harapan ini mesti saya kubur dalam-dalam setelah mengetahui biaya pendidikan di sini yang sangat mahal. Untuk rumpun IPS, biaya pendidikan persmester adalah 5 juta, sedangkan untuk rumpun eksak 7,5 juta/smester. Memang, menurut hitung-hitungan rektorat, angka-angka fantastis tersebut sudahlah wajar mengingat biaya yang sebenarnya ditanggung mahasiswa (student unit cost) persmester adalah tiga kali lipat dari angka tersebut (sekitar 15 juta/smester untuk rumpun IPS dan 22,5 juta/smester untuk rumpun IPA). Belum lagi ketika pertama kali masuk, uang pangkal menjadi ‘hadiah’ tambahan para calon mahasiswa sehingga total pembayaran calon mahasiswa untuk smester pertama dapat mencapai 25 juta. Dapat dibayangkan dengan angka-angka tersebut, benarkah pendidikan menjadi hak setiap warga negara? lantas di mana penerapan pasal 31 UUD 1945 yang berbunyi, tiap warga negara berhak mendapat pengajaran?

Saya percaya para pemimpin bangsa ini masih sangat peduli dengan pendidikan, tinggal bagaimana mengimplementasikannya dalam berbagai macam kebijakan yang tepat. Sudah seharusnya pendidikan menjadi milik semua, tanpa memandang golongan dan status sosial manapun, janganlah menjadikan pendidikan menjadi suatu komoditas yang diperjualbelikan. Demi pendidikan yang lebih baik, demi Indonesia yang lebih baik. Semoga.



Rio Apinino
IKM Aktif FIB UI
Ketua PANDU BUDAYA FIB UI

Minggu, 22 Mei 2011

Menuju perpustakaan (baru) UI

Jum'at lalu (13/5) perpustakaan UI resmi dibuka untuk mahasiswa UI (umum menyusul kemudian). Sebelumunya, perpustakaan baru yang dibangun sekitar tahun 2009 ini dibangun dalam rangka mengakselarasi UI menjadi world class university, sebuah jargon yang menjadi visi rektor kita, pak Gumilar.

Jumat, 15 April 2011

PERPUSTAKAAN UI DAN PROBLEMNYA

Pembangunan gedung-gedung mewah a’la politik mercusuar  Sukarno sedang berjalan di kampusku, Universitas Indonesia . Terbilang ada 4 gedung mewah yang akan segera tegak berdiri menghiasi kampus ‘yang katanya milik rakyat’ ini. Gedung baru Fasilkom (Fakultas Ilmu Komputer), gedung Vokasi, gedung kesenian, dan yang terakhir adalah perpustakaan UI, perpustakaan yang akan menjadi perpustakaan terbesar di Asia Tenggara.
 

Sabtu, 26 Maret 2011

Tua-Muda

Sukarno: “Saya belum percaya akan penyerahan Jepang sebelum pihak Jepang resmi menyampaikan berita itu. Tentang kemerdekaan Indonesia, tentu kita akan tetap merdeka, karena soal ini sekarang menunggu waktunya saja, sebab segala persediaan sesuatunya sudah hampir selesai”

Wikana/Darwis: “Mengapa tidak rakyat kita sendiri yang menyatakan kemerdekaan kita? Mengapa bukan raktyat kita yang memproklamirkan kemerdekaan kita itu!”

Sukarno: “Hal ini tidak bias saya putuskan, tetapi harus lebih dulu saya rembukkan dengan teman-teman lainnya. Dan saya harus pula lebih dahulu mendengarkan keterangan-keterangan resmi tentang penyerahan Jepang itu dan bagaimana lain-lain kelanjutannya yang berhubungan dengan kemerdekaan kita”

Ahmad Subarjo datang kerumah Hatta dan Mengajak Hatta ke rumah Bung Karno.

Wikana: “Apabila bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman itu malam ini juga, besok akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah!”

Sukarno: “Ini leher saya! Seretlah saja ke pojok itu dan sudahilah nyawa saya!”

Hatta: “Dan kami pun tidak dapat ditarik-tarik atau didesak supaya mesti juga mengumumkan proklamasi itu, kecuali jika saudara-saudara memang sudah siap dan sanggup memproklamirkan, cobalah! Sayapun ingin melihat kesanggupan saudara-saudara”

Wikana/Darwis: “kalau begitu pendirian saudara-saudara berdua, baiklah! Dab kami para pemuda tidak dapat menanggung sesuatunya. Jika besok siang proklamasi belum juga diumumkan, kami pemuda-pemuda akan berindak dan menunjukkan kesanggupan yang saudara kehendaki itu!” 

Minggu, 06 Maret 2011

Indemo, 23 Februari 2011

Rakyat Indonesia dikenal memiliki sifat ramah tamah dan semua adat ketimuran yang melekat. Tetapi yang terlihat sekarang sungguh jauh panggang dari api. Peristiwa kekerasan atas nama agama, kerusuhan antaretnis, dan kriminalitas seakan menjadi menu wajib. Yang terjadi sekarang adalah suatu disorientasi moral, baik itu kalangan grass root ataupun para elit. Para elit tidak segan-segan melakukan korupsi, rakyat kecil semakin termarjinalisasi.

Bung karno pernah mewanti-wanti untuk membangun suatu karakter nasional, national and character building katanya. Pembentukan karakter nasional bisa dicontoh dari negara Indocina (Vietnam, Kamboja, Laos) atau Cina.

Menurut mantan duta besar Indonesia untuk Kamboja (saya lupa namanya), rakyat Kamboja adalah rakyat yang memegang teguh karakter nasionalnya. Karakter nasional ini dipupuk semenjak kanak-kanak. Mereka ditanamkan prinsip hidup untuk mau belajar, bekerja keras, dan percaya diri.

Pemerintah Kamboja tidak segan-segan mengatakan tidak mampu, berbeda dengan pemerintah Indonesia yang terlalu percaya diri dan sombong. Pertumbuhan ekonomi, penuntasan kemiskinan, tingkat inflasi, semua berdasarkan statistik palsu. Memang, pertumbuhan ekomomi Kamboja tidaklah sebesar Indonesia, namun dapat dicermati pertumbuhan itu lambat laun naik. kesenjangan ekonomi tidaklah terlalu menganga disana, hal ini karena Kamboja berideologi komunis dan semua kebutuhan rakyat ditanggung negara. Namun, perlu diketahui dalam implementasinya ideologi komunis tidaklah sekaku dahulu. Komunis tulen dewasa ini (juga kapitalis) hanya berada pada tataran konsep. Contoh, Kamboja mulai mengakui hal milik pribadi, juga Amerika sebagai negara pusat kapitalis pernah melakukan bailout kepada bank swasta, sebuak contoh intervensi negara terhadap perekonomian.

Dalam era teknologi informasi sekarang, dunia telah menjadi sebuah desa kecil, semua negara saling berhubungan dan saling mempengaruhi, baik itu langsung ataupun tidak. Begitu pula dengan Indonesia, segala masalah baik itu masalah politik, agama, maupun perekonomian merupakan efek dari pergaulan global. Untuk mengatasi masalah ini Indonesia wajib memiliki pemimpin yang kuat dan tangguh, bukan pemimpin yagn loyo dan hanya bisa berangan-angan namun miskin perbuatan. Sayangnya, itulah permasalahan kita. Ya, krisis kepemimpinan. Bagaimanapun sempurnanya konsep suatu negara, tidak akan dapat berjalan kalau tidak memiliki pemimpin tangguh. Cina pada tahun 80an bukanlah siapa-siapa, mereka negara miskin yang bahkan rakyatnya buang air di selokan-selokan kota. Tapi sekarang, karena memiliki pemimpin tangguh dan berkemauan kuat, Cina menjadi negara maju di dunia. Begitu juga negara-negara di kawasan Indocina.

Berkaca pada negara tetangga, seharusnya Indonesia janganlah malu mencontoh mereka, jangan malu untuk berkata tidak mampu, sambil terus membangun karakter nasional, maka niscaya Indonesia akan lebih baik.

Jika Kamboja yang pernah mengalami suatu perang saudara hampir 30 tahun saja berbenah, dan mulai terlihat hasilnya sekarang, mengapa Indonesia tidak?

Senin, 28 Februari 2011

The Gift, Danielle Steel

Rio Apinino, 1006697166
Library and Information Science



Keluarga John whittaker adalah keluarga yang nyaris sempurna, memiliki 2 anak dari istrinya yang cantik Elisabeth Whittaker (Liz), yaitu Tommy dan Annie. Kehidupan mereka mapan di sebuah kota kecil. John dan Elisabeth saling mencintai sejak bertemu di bangku SMA, begitu pula dengan anak-anak mereka yang saling menyayangi. Tommy sangat mencintai adiknya yang berumur kira-kira 5 tahun, Annie.

Namun, tanpa disangka kehidupan keluarga ini berubah ketika Annie meninggal sehabis malam Natal, sakit meningitis menurut dokter. Setelah kematian Annie, keluarga ini begitu hancur, tidak ada tegur sapa diantara mereka. John dan Liz saling menyalahkan atas kematian Annie, bahkan hal-hal kecil dapat membuat pertengkaran besar. John mulai malas bekerja, nilai Tommy di sekolah turun, dan Liz sering menangis mengingat

Selasa, 22 Februari 2011

Krisis Beras

Krisis beras nampaknya akan menggelayuti bumi Indonesia sebentar lagi. Krisis beras ini disebabkan karena cuaca yang semakin ekstrim dan tidak menentu. Namun, krisis beras ini bisa dihadapi Indonesia jika memiliki sebuah konsep ketahanan pangan.   Konsep ketahanan pangan ini adalah menjaga kuantitas  bahan pangan (dalam hal ini beras) agar tetap dapat dikonsumsi rakyat banyak, tentunya dengan kebijakan-kebijakan dari pemerintah mulai dari kebijakan hulu sampai hilir.
Namun, yang terjadi sekarang adalah kebijakan-kebijakan yang salah kaprah dan semakin tidak pro rakyat. Solusi yang diberikan pemerintah nampaknya hanyalah kebijakan-kebjakan hulu, seperti memberikan pupuk bersubsidi kepada para petani dan memperluas lahan pertanian. Namun pemerintah lupa untuk tetap membuat kebijakan hilir, seperti menjaga distribusi beras dari petani sampai ke pasar. Disinilah kelemahan pemerintah, sehingga yang terjadi adalah mahalnya harga beras di pasaran  karena para tengkulak yang bermain dilevel petani. Harga beras yang semakin mahal tidak dibarengi dengan peningkatan keuntungan petani. Ini juga yang membedakan pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara tetangga seperti Vietnam atau Cina. Mereka menjaga betul ketahanan pangannya dengan membuat kebijakan dari hulu sampau hilir.
Kebijakan yang salah juga terlihat dari percobaan  sentralisasi penanaman pangan. Beberapa tahun yang lalu konsep ini gagal dilakukan di Kalimantan dan sekarang coba diterapkan di wilayah Nusa Tenggara. Konsep ini bukannya tidak baik, tapi banyak efek-efek sampingan yang akan terjadi. Seperti, mau dikemanakan lahan lahan pertanian sebelumnya seperti di wilayah Karawang, dan bagaimana pula nasib petaninya?. Seharusnya dalam hal ini Indonesia bisa meniru Jepang. Di Jepang, pada setiap gedung, baik itu milik swasta atau milik pemerintah, didalamnya pasti terdapat tanaman padi yang ditanam menggantung di dinding-dinding, hidroponik namanya. Selain itu, umumnya disamping gedung-gedung di Jepang, pasti terdapat satu atau dua petak lahan kosong untuk ditanami padi, pemerintah Jepang sangat menjaga lahan-lahan ini dengan dengan memberikan harga yang selangit, sehingga orang enggan untuk membelinya. Yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, disini lahan-lahan pertanian dengan mudah dikonversikan menjadi jalan tol, pemukiman, atau menjadi lahan kelapa sawit.  Lahan-lahan perhutanan yang tadinya akan dijadikan areal persawahan di Kalimantan pun, sekarang menjadi lahan kosong. Terlihat ketidakseriusan pemerintah dalam hal ini, mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan segelintir orang. Jepang yang tidak memiliki lahan sesubur dan seluas di Indonesia menjadikan kelemahan itu suatu inovasi, inilah yang patut dicontoh.
Selain itu, nampaknya pemerintah sekarang menerapkan kebijakan ‘pasrah’ dengan mengimpor beras. Pemerintah Indonesia seakan-akan hanya bertumpu pada kebijakan impor untuk menjaga ketahanan pangannya, bahkan Indonesia adalah pengimpor beras kedua di dunia. Suatu ironi mengingat Indonesia adalah negara agraria yang menurut statistik, 70 % rakyatnya adalah petani. Jika yang dijadikan alasan untuk mengimpor adalah cuaca ekstrim dan tidak menentu, bukankah Vietnam dan Thailand memiliki cuaca yang mirip dengan Indonesia? Lantas mengapa negara tetangga tersebut mampu untuk menghadapi krisis pangan dan masih bisa mengekspor ke Indonesia? Kebijakan ini akan membuat para petani semaki tertindas karena harga beras impor lebih murah, maka tidak heran banyak petani kita yang akhirnya menjadi buruh pabrik atau pekerja kasar di kota.
Selain itu kebijakan lain yang ditawarkan pemerintah adalah rakyat disuruh mengurangi konsumsi berasnya. Memang menurut BPS, terjadi kenaikan konsumsi beras. Tahun lalu, konsumsi beras adalah 135kg/tahun/perkapita sedangkan tahun sekarang adalah 137kg/tahun/perkapita. Sungguh solusi yang sangat memuakkan bagi saya pribadi, sama seperti beberapa  waktu yang lalu ketika harga cabai melambung tinggi. Pemerintah menyuruh masyarakat untuk menanam cabai ramai-ramai di pekarangan rumah masing-masing, terlihat jelas pemerintah ingin angkat tangan dengan menyuruh rakyat untuk mengurusi hal yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah, kalau begitu untuk apa kita membayar mereka dari pajak sedangkan mereka tidak menjalankan kewajibannya.
Terakhir, krisis pangan yang sedang dihadapi Indonesia dewasa ini pasti dapat di atasi dengan suatu ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat dilakukan melalui kebijakan yang pro rakyat dari hulu sampai hilir. Mengimpor beras memang perlu, tapi ini bukanlah solusi jangka panjang. Benahi kebijakan, hapus mafia-mafia pangan, hentikan konversi lahan pertanian, dan sejahterakan petani. Maka ketahanan pangan bukanlah suatu hal yang mustahil.

Jumat, 11 Februari 2011

Blaka

Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, tapi kepura-puraan. Baik itu pura-pura baik atau pura-pura bohong.

Itulah sepenggal kalimat yang ada di novel Blakanis karya Arswendo Atmowiloto. Dalam sekali makna kalimat itu, bagaimana Arswendo mencoba mendeskripsikan apa yang terjadi sebenarnya di negeri ini. Bagaimana bobroknya negeri ini adalah karena kepura-puraan, bukan saja pemerintah, tetapi semua elemen rakyat, termasuk saya.

Dalam perjalanan negeri ini sudah banyak masa-masa kelam yang dilewati. Dewasa ini masalah Indonesia masih berkutat pada kemiskinan, korupsi, penegakkan hukum yang tebang pilih, dan masalah konflik horizontal antar warga negeri. Jika saja kita bisa jujur pada diri sendiri, sebenarnya semua masalah berpulang pada individu masing-masing. Seorang presiden jika saja mau jujur, blaka pada dirinya, saya yakin dia telah merasa gagal memimpin negeri ini, terlebih lagi dia dipilih langsung oleh rakyat, semakin besarlah amanat yang diembannya. Juga para penegak hukum, para pelaku korupsi, orang-orang yang tidak mengakui perbedaan sebagai suatu hal yang indah, jika saja mereka mau jujur dan berkaca pada diri sendiri meraka pasti akan mengakui bahwa apa yang telah dilakukannya adalah suatu hal yang salah, suatu anomali, nurani mereka saya yakini berontak dengan apa yang mereka lakukan.

Bukankah kita semua terlahir sama? telanjang, suci tanpa dosa. Namun kenapa kita bisa berbuat korupsi? kenapa kita bisa membunuh sesama dan menikmatinya? kenapa kita bisa mencuri? mencontek? menikmati barang haram? memperkosa? memfitnah? Manusia memulai hidup bagai selembar kertas putih, tinggal perjalanan waktu yang menentukan menjadi warna apa kita kelak, apakah menjadi hitam kelam, penuh warna warni, atau yang lain. ketika kita melakukan sebuah kesalahan, nurani kita sejatinya berontak, namun ada sisi lain yang membuat kita membenarkan apa yang kita lakukan dengan berbagai alasan yang nampaknya rasional. Itulah yang disebut kepura-puraan, musuh utama kejujuran.

Seorang yang berbohong akan melakukan pengakuan, blaka, ketika hati nuraninya telah memanggil, tapi bukan berarti dosa dia terhapus, namun ketika dia berbuat blaka maka dia akan menjalani hidup dengan jujur, tanpa kepura-puraan dan akan membuat hidupnya lebih baik. Berbeda dengan seseorang yang melakukan kepura-puraan, baik itu pura-pura jujur atau pura-pura bohong, orang seperti itu akan selalu terjebak dengan sikapnya sendiri. Bersikap jujur, blaka, adalah jawaban dari segala keterpurukan yang ada disini. Coba mengaca, merenungi diri sendiri, ikuti kata hati, karena sesungguhnya kata hatilah yang paling benar. Memang tidak mudah, namun bukanlah suatu hal yang mustahil juga. Blaka.

Rabu, 02 Februari 2011

Negeri Dagelan

Melihat negeri ini bagaikan melihat sebuah dagelan yang lucu tapi menggemaskan. Bagaimana tidak? setelah hampir 13 tahun Indonesia keluar dari cengkraman otoriterisme rezim Soeharto, negeri ini tampaknya jalan di tempat, bahkan bisa dibilang mundur. Padahal cita-cita reformasi sejatinya adalah mengembalikan kedaulatan sebesar-besarnya kepada rakyat -yang selama orde baru dikebiri oleh rezim- untuk kemakmuran bersama. Bagaimana tidak lucu? kenyataan sejarah telah banyak memberikan contoh tauladan seorang pemimpin, tapi nampaknya para pemimpin lupa akan hal itu.

Masa presiden Sukarno adalah masa dimana Indonesia sedang mencari identitasnya sebagai sebuah bangsa merdeka. Berbagai macam bentuk pemerintahan mulai dari sistem presidensil sampai parlementer a'la barat coba diterapkan. Tujuannya hanya satu, memakmurkan seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar. Dalam masa Ini boleh dikatakan adalah masanya para politikus 'suci'. Memang ada segelintir politikus yang sudah melakukan tindakan korupsi dan lain-lain, namun skalanya sangat kecil dan tidak seberapa. Mereka yang duduk sebagai wakil rakyat adalah orang-orang yang benar-benar berniat tulus untuk mengabdi kepada rakyat. Sebut saja nama-nama macam Natsir, Sjahrir, Hatta, Ali, Diah, Melik, Roem, Yamin, dan masih banyak lagi politikus yang hidupnya benar-benar didedikasikan untuk rakyat. Terlepas dari mereka adalah pejuang kemerdekaan, dan nampaknya wajar jika Indonesia telah merdeka, mereka akan memimpin negeri ini dengan sungguh-sungguh. Mereka adalah figur-figur yang seharusnya dijadikan contoh para politisi sekarang yang semakin nyaman duduk di singgasananya tanpa peduli nasib rakyat. Seorang Sayuti Melik tidak segan-segan menaiki bis kota untuk menghadiri rapat konstituante, Natsir dicap sebagai perdana mentri paling miskin yang pernah ada lantaran pakaiannya yang sudah bertambal dimana-mana. Sungguh hal yang sudah tidak mungkin lagi terjadi sekarang.

Ketika Sukarno tumbang dan muncul orde baru, segera sistem perekomomian diganti, liberalisasi dan privatisasi menjalar disemua sektor. Pertumbuhan ekonomi melaju pesat, pembangunan dimana-mana, Indonesia menjadi macan Asia dan melakukan swasembada beras. Rakyatpun senang, semua mengelu-elukan Suharto sebagai bapak pembangunan. Belakangan baru diketahui bobroknya rezim ini. Namun, dalam beberapa aspek, rakyat merindukan zaman-zaman ini, zaman ketika semua barang pokok terjangkau, zaman ketika mencari pekerjaan mudah, penganggurang berkurang. Zaman yang sangat kita rindukan saat ini.

Jika sekarang yang rakyat rasakan tak ubahnya adalah dagelan, memang itulah yang terjadi. Setelah 13 tahun reformasi, kita bisa lihat penegakkan hukum yang mencla-mencle, tebang pilih, dan masih tajam terhadap rakyat kecil namun tumpul dihadapan elit. Padahal, berbagai macam upaya telah dilakukan seperti reformasi birokrasi, pembentukan KPK yang sebentar lagi akan habis masanya pada 2011. Namun apalah arti dari semua itu jika para penegak hukumnya sendirilah yang melanggar hukum? Masih ingat kisah Cyrus Sinaga dan Haposan H. yang mengadili kasus 'super'  Gayus? mereka adalah orang yang seharusnya menegakkan hukum namun nyatanya malah menciderai hukum demi kepuasan materi belaka.  Mereka berdua mungkin hanyalah sebuah gunung es ditengah lautan luas, kecil dipermukaan namun sangat besar dibawahnya. Belum lagi masalah korupsi yang makin menjadi. Jika masa orde baru korupsi hanya dilakukan oleh segelintir 'cendana', maka sekarang budaya korupsi telah menjalar hingga ke pelosok desa. Ketika korupsi  menyeret nama-nama elit, maka yang dapat dipastikan adalah tawar menawar politik yang terjadi, tidak lain adalah untuk mencegah si 'elit' terjerat hukum, seperti kasus pengusiran ketua KPK Bibit dan Chandra oleh komisi III DPR, hal ini sarat dengan penangkapan para politikus senior yang terjerat kasus penyuapan pemilihan deputi senior BI, Miranda Gultom. Akhirnya, tarik-ulur pun terjadi dan kasus-kasus seperti itu semakin terbengkalai. Tak kunjung ada habisnya. Belum lagi masalah kemiskinan yang ada, di tengah gembar gembor pemerintah ingin membuat gedung baru DPR dan penaikan gaji, 31 juta rakyat miskin tinggal menunggu ajalnya, bahkan ada yang rela menjemput ajal tersebut dengan bunuh diri. Sungguh suatu ironi mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Itu tidak ada artinya ketika sgelintirelit tega menjual negerinya sendiri demi kantong pribadi dan menutup mata atas apa yang terjadi pada bangsanya sendiri. Indonesia dan para politisinya bagaikan sebuah wayang yang dikendalikan dalang yang disebut liberalisasi dan materialisme.

Memang, diatas kertas Indonesia adalah negara demokrasi, disini semua orang bebas untuk mengeluarkan pendapatnya. Berbagai macam media massa muncul dengan segenap kritiknya kepada pemerintah, berjuta kali unjuk rasa dilakukan para mahasiswa, kaum buruh, pekerja atau nelayan setiap harinya untuk meminta sebuak keadilan, bahkan tidak jarang berakhir dengan ricuh. Namun, apalah artinya itu jika semua bentuk aspirasi tidak didengar? Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, jika semua bentuk aspirasi rakyat tidak didengar apa masih sejati-kah demokrasi kita?

Itulah ketika sebuah negara besar dipimpin oleh pemimpin-pemimpin bejat. Indonesia sekarang berada pada masa transisi demokrasi, masa dimana segala sesuatu belum mapan dan dapat goyah kapanpun. Disaat seperti inilah Indonesia perlu memiliki kebijakan-kebijakan yang luar biasa yang hanya akan tercipta jika memiliki pemimpin yang kuat.seorang pengamat politik berhatabahwa seharusnya Indonesia memiliki pemimpin yang kuat yang memiliki visi yang jelas untuk memberantas semua masalah-masalah yang terjadi, bukan pemimpin lemah yang setengah hati menyelesaikan permasalahan bangsa. Seharusnya kita memiliki pemimpin yang mengayomi, pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Saya yakin ada orang-orang yang seperti itu di negeri ini, tinggal bagaimana cara kita memunculkannya. Salahsatunya adalah dengan sistem kaderisasi yang dilakukan parpol, lain halnya jika parpolnya sendiri yang tidak menjalankan kewajibannya untuk kaderisasi kepemimpinan.

Apakah semua ini nampak seperti dagelan yang lucu? ya. Dan selamat, anda hidup di negara yang seperti itu.

Senin, 31 Januari 2011

Hariman dan Malari, Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing


Lagi, satu buku yang mengulas satu era romantisme kejayaan mahasiswa sekaligus tokohnya, peristiwa MALARI dan Hariman Siregar. MALARI dan Hariman Siregar (Selanjutnya disingkat HS) adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Ketika terjadi kerusuhan sekaligus pembakaran barang-barang Jepang yang terjadi di Jakarta, HS saat itu sedang melaksanakan rapat akbar menentang PM Jepang Tanaka di Universitas Trisakti selaku ketua umum DM-UI. Alhasil, HS dianggap sebagai biang keladi terjadinya kerusuhan dan pembakaran massal di Jakarta pada waktu itu. Padahal bukan rahasia umum lagi bahwa HS tidak terlibat sama sekali, selain itu kemungkinan besar latar belakang peristiwa ini adalah rivalitas tidak sehat aspri (asisten pribadi) soeharto, yaitu antara Soemitro dan Ali Moertopo.

Selanjutnya, HS-pun ditahan dengan UU subversiv. Setelah keluar dan menamatkan pendidikan dokternya di FKUI, hariman tidak jera dan tetap concern dengan perjuangannya, sampai orde baru jatuh, dan sampai sekarang. Itulah mengapa dia menjadi legenda para aktivis pada zamannya maupun aktivis mahasiswa zaman sekarang.

Pribadi HS dapat kita kenal lebih jauh lewat buku ini pada bab ‘Mereka Bicara Hariman’. Total ada 56 orang yang memeberikan komentarnya tentang sosok satu ini mulai dari istrinya sendiri, politikus, pengacara, tokoh agama, sastrawan, militer, dan orang-orang yang pernah dekat dengan dia. Sosok HS dari yang saya baca di buku ini adalah sosok yang blak blakan dalam berbicara, hal ini saya akui sendiri ketika sempai beberapa kali melihat dia di TIM dan di secretariat Indemo di Jl. Lautze. Dia tidak segan-segan berkata mony*t ketika kami membicarakan rector UI sekarang, ayahanda Gumilar. Hahaha…ada-ada saja. Selain itu HS adalah sosok yang sangat solider, berada digaris paling depan ketika temannya memerlukan bantuan baik itu financial ataupun hal lain, banyak kawan-kawan aktivis yang dibantu HS dalam biaya indekos maupun untuk mengerahkan aksi massa. Tapi lama kelamaan mambaca bab ini membuat saya bosan, mungkin karena yang dibicarakan tentang HS ya itu-itu saja, kalau tidak tentang MALARI-nya, ya tentang kesoliderannya. Hanya beberapa orang yang memberikan komentar tentang HS dalam sudut yang berbeda.

Yang unik dari HS adalah pilihan dia untuk tetap berada di lingkar luar kekuasaan, meskipun pada waktu era Habibie dia berada dalam lingkup penerintahan namun itu hanya sebatah penasihat saja tanpa jabatan structural. Mungkin dia adalah orang yang takut untuk masuk ke lingkar kekuasaan karena dia yakin kalau dia masuk kedalam lingkar kekuasaan dia akan terpengaruh. Selain itu, alasan HS tidak berada di lingkar kekuasaan –padahal jika dia mau bisa dengan sangat mudah- adalah ketidakpercayaan HS akan demokrasi yang ada di Indonesia. Dia berpandangan, demokrasi yang terjadi di Indenesia adalah ‘demokrasi semu’ sebatas pada pemilihan umum dibalik bilik suara yang pemilunya-pun sudah di atur sedemikian rupa oleh para elit untuk melanggengkan kekuasaannya, dan setelah semua bentuk ‘demokrasi semu’ itu selesai, rakyat masih miskin, janji tinggal janji.

HS, adalah tokoh, itu tidak bisa dipungkiri. Yang dapat dipelajari dari sosok ini adalah bagaimana kekonsistenan dia untuk membela hak-hak rakyat yang semakin terjepit oleh privatisasi dan liberalisasi, bagaimana kesetiakawanan dia, bagaimana kritikan dia terhadap pemerintahan yang tak pernah padam. Satu lagi, dia selalu yakin akan gerakan aksi massa khususnya gerakan mahasiswa. Dia dari dulu, sampai sekarang, masih yakin akan kekuatan mahasiswa sebagai agent of change. Ketika parlemen sudah tidak bisa menjalankan tugas yang semestinya untuk mensejahterakan rakyat, maka parlemen jalanan lewat aksi massa yang dikomandani oleh mahasiswa adalah jawabannya. Kenapa mesti mahasiswa? Bukan bermaksud eksklusif, tapi gerakan seperti gerakan buruh, nelayan, atau petani, perlawanan dan aksi massa mereka hanya sebatas perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka rasakan yang bersentuhan langsung dengan mereka. Berbeda dengan mahasiswa, perjuangan yang dilakukan mahasiswa merupakan perjuangan lintas-sektoral dengan berlandaskan idealisme tinggi khas anak muda. Ini adalah hal yang membedakannya menurut HS. Yang menjadi masalah adalah ketika mahasiswa malah kehilangan idealismenya akibat tuntutan akademis dan berbagai macam kenikmatan yang mereka nikmati. Disinilah peran tokoh seperti HS, peran dia adalah sebagai bahan bakar agar gerakan mahasiswa tetap menyala dan tidak kehilangan api idealismenya.

Sekali lagi, mari merefleksikan diri sejenak setelah 37 tahun pasca MALARI, nampaknya tidak ada yang berubah, negeri kita yang tercinta ini masih ada dalam genggaman asing, kita seperti menjadi tamu di negeri sendiri. Sejatinya harga diri kita sebagai bangsa besar telah dijual sedemikian murahnya oleh anak bangsa sendiri lewat penjualan BUMN, pencabutan subsidi bagi rakyat kecil, privatisasi dan liberalisasi bangsat. Apakah harus terjadi MALARI jilid II untuk mengingatkan pemerintah kita?

Jumat, 14 Januari 2011

Kenaikan Cabai dan Aksi Tanggal 17 Januari 2011

Indonesia adalah negara yang berada diantara 2 benua (Asia dan Australia) dan 2 samudera (Hindia dan Pasifik), posisi geografis ini yang membuat Indonesia kaya akan sumber daya alamnya, hal itu juga yang membuat negara kita dijajah oleh bangsa asing berabad-abad lamanya. Namun, dewasa ini, Indonesia yang ‘katanya’ kaya akan alamnya tidak jarang mengalami krisis pangan seperti yang pernah terjadi pada tahun 2008, tidak jarang juga bahan-bahan pokok yang notabene berasal dari bumi

Lelaki Pendek, Hitam, dan Lebih Jelek Dari Untanya

Ketika pertama kali melihat cover buku ini, saya pikir buku ini berisi cerpen dengan satu cerita didalamnya, namun setelah membaca buku ini lebih lanjut, ternyata tidak demikian, buku ini terdiri dari berbagai macam cerita yang sarat akan hikmah-hikmah kehidupan.

Buku karya Ahmad Zairofi AM ini berkisah tentang bermacam prinsip hidup yang dicontohkan berbagai macam orang, setiap kisah dalam buku ini membuat diri kita kembali berkaca pada diri sendiri tentang makna kehidupan yang sebenarnya. Pengalaman adalah guru terbaik, atau dalam buku ini bisa kita ‘pelesetkan’ menjadi sejarah adalah guru terbaik, memang begitu adanya, sejarah kehidupan manusia terlalu banyak menyimpan pelajaran berharga yang tidak mungkin dilupakan begitu saja untuk tidak dijadikan peajaran dimasa sekarang.

Banyak hikmah-hikmah yang dapat kita ambil setelah membaca buku ini, diantaranya: bagaimana kita hidup ditengah masyarakat yang hanya melihat harga orang lain dari nampak luarnya saja. Bagaimana kita harus menghargai jasa orang lain walau sekecil apapun. Bagaimana menjadi pemimpin yang baik seperti yang dicontohkan Umar Bin Khotob, “pemimpin yang baik adalah pemimpin yang tahu kapan dia harus turun dari tampuk kepemimpinan” sesuatu yang sangat langka terjadi di negeri kita ini. Dan masih banyak lagi hikmah-hikmah yang bisa kita dapat disetiap ceritanya.