Jumat, 16 September 2011

UI Dalam Transisi, Mau Dibawa kemana UI?

Pasca dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 silam, terjadilah kekosongan payung hukum tata kelola Universitas Indonesia. Akibat dari kekosongan hukum tersebut, maka Pemerintah yang diwakili oleh Mendiknas mengeluarkan suatu produk hukum sementara (masa transisi) bagi Universitas Indonesia, yaitu PP 66 Tahun 2010. Di dalam PP 66 sendiri terlihat bahwa Universitas Indonesia akan diarahkan menjadi PTP (Perguruan Tinggi Pemerintah) dimana segala tata kelola diawasi langsung oleh pemerintah di bawah Kemendiknas. Namun, syarat untuk menjalankan PP 66 tersebut adalah harus adanya Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri. Ketika dua syarat tersebut belum terpenuhi, maka segala tata kelola kampus dijalankan sebagaimana PP 152 tahun 2000 yang mensyaratkan bahwa Universitas Indonesia menjadi BHMN.


Inilah keadaan yang terjadi pada Universitas Indonesia saat ini. Universitas Indonesia masih dijalankan berdasarkan konsep BHMN, itu pula berarti, segala perangkat yang ada dalam BHMN tidak selayaknya di ganggu gugat oleh pihak manapun. Perangkat-perangkat tersebut adalah MWA (Majlis Wali Amanat), SAU (Senat Akademik Universitas), juga GDB (Dewan Guru Besar). Namun, pada kenyataannya adalah, masa transisi saat ini dipahami dengan dua sudut pandang yang berbeda oleh pihak rektor dan pihak lainnya (di luar lingkaran rektor). Rektor dengan logikanya menganggap bahwa MWA, DGB dan SAU sudah tidak memiliki dasar hukum, maka dari itu rektor secara sepihak mendemisionerkan ketiga lembaga tersebut. Padahal, menurut sembilan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tindakan rektor untuk mendemisionerkan lembaga itu adalah cacat hukum.

Dengan perkembangan situasi dan kondisi saat ini, maka tidaklah mengherankan ketika ada berbagai gelombang dukungan terutama untuk pihak MWA. Anggapan seperti itu adalah wajar ketika rektor secara semena-mena mendemisionerkan MWA sebagai lembaga yang berhak mengangkat, mengawasi sampai menurunkan rektor. Juga dukungan terhadap PP 152 sebagai landasan UI sebagai BHMN karena rektor (lagi-lagi) secara semena-mena melanggar hukum.

Itulah yang saya yakini, setidaknya sampai saat ada diskusi publik MWA yang dilaksanakan pada 15 September kemarin. Namun, kita semua alfa, bahwasanya PP 152 tahun 2000 adalah awal ketika esensi perguruan tinggi negeri dicabik-cabik sedemikian rupa sehingga pendidikan hanyalah dijadikan industri semata, saat itu pula lah setan-setan kapitalisme dan liberalisme merasuki sendi-sendi pendidikan. Dengan alasan otonomi kampus, biaya pendidikan, mayoritas (jika tidak mau dikatakan sepenuhnya) dibebankan pada mahasiswa. Juga kita semua alfa, ketika kita mendukung dengan gelombang besar sebuah lembaga check and balance MWA, maka sejatinya kita mendukung sebuah lembaga yang dilahirkan dari rahim BHMN sebagai lembaga pengganti otoritas pemerintah.

Sedih rasanya baru menyadari hal tersebut. Bermula dari tahun 2000 ketika PP 152 diberlakukan, saat itu pulalah perlawanan mahasiswa terhadap liberalisme pendidikan sangat massiv, bahkan ada beberapa senior kita yang di DO karena menentang hal itu. Berpuncak pada ‘kemenangan’ mahasiswa ketika UU BHP dicabut. Namun, saat ini, baru satu tahun lebih ketika UU BHP dicabut, mahasiswa malahan menginginkan Universitas Indonesia kembali lagi pada konsep BHMN, sesuatu yang sangat menjadi ‘musuh’ mahasiswa-mahasiswa terdahulu. Malu.

Memang, tidak ada sesuatu yang sempurna. Ketika kita berbicara tentang PP 152 dan PP 66, maka kita dapat melihat sisi positif juga negatif dari kedua PP tersebut. Jiwa dari PP 152 adalah liberalisme, itu tidak bisa kita pungkiri. Sisi lain ketika kita berbicara tentang PP 66 yang bernafaskan PTP, maka kita juga akan membicarakan sebuah sistem birokrasi berbelit yang pada akhirnya kampus sebagai corong terdepan pengetahuan malah tidak memiliki kebebasan dalam mengembangkan penelitiannya yang tentunya berguna bagi masyarakat.

Maka, di sini kita melihat sebuah urgensi dari RUU PT (Pendidikan Tinggi) yang batas akhir pengesahannya adalah 31 Desember 2012. Jika 31 Desember 2012 RUU PT ini tidak juga disahkan menjadi UU, maka Universitas Indonesia benar-benar akan menjadi BHMN kembali, yang artinya pula liberalisasi di bidang pendidikan akan semakin menjalar. Sedangkan jika RUU PT ini telah disahkan menjadi UU, maka 7 BHMN yang ada (UI, ITB, UGM, IBP, Unair, USU dan UPI) akan diberikan kebebasan untuk memilih statusnya sendiri yaitu: negeri, semi swasta, swasta (tentunya dengan terminologi yang berbeda). Universitas Indonesia sendiri dapat dipastikan akan memilih komposisi semi swasta (BHMN), seperti yang terjadi saat ini dimana pemerintah hanya akan mengawasi pada bagian DIPA (dana yang berasal dari APBN) saja. Toh yang terjadi saat ini memang seperti itu, dukungan penuh terhadap BHMN dan MWA sebagai lembaga pengawas.

Cukuplah dukungan berlebihan terhadap PP 152 dan MWA karena sejatinya itu adalah legitimasi diri sendiri akan liberalisasi pendidikan. Cukuplah kita katakan bahwa rektor Universitas Indonesia saat ini telah melakukan pelanggaran hukum karena tidak mengakui PP 152 dan mendemisioner MWA. Bukan karena kita setuju akan bentuk PP 152, melainkan adalah sebuah kesadaran hukum bagi pribadi.

Jika kita berbicara masalah ke-ideal-an sebuah perguruan tinggi, yang harus diperhatikan adalah hal substansial apa yang ingin kita inginkan dan perjuangkan. Maka saat itulah kita seharusnya bertanya pada diri kita sendiri, apa yang kita inginkan? apakah sebatas pada demokrasi dalam kampus dan tata kelola yang transparan dan akuntabel? ataukah hal substansial yang kita inginkan adalah biaya kuliah yang murah dan terjangkau bagi seluruh rakyat, karena memang sejatinya Universitas indonesia adalah kampus rakyat? Jika saya harus menjawab, maka yang akan lebih saya prioritaskan adalah biaya kuliah murah yang disubsidi penuh pemerintah ketimbang transparansi dan akuntabilitas tata kelola kampus.

Kembali pada RUU PT yang nantinya akan sangat menentukan Universitas Indonesia ke depannya. Yang saya lihat adalah ada berbagai macam kepentingan yang saling tarik menarik dalam RUU ini: pihak pekerja, rektorat, dan tentunya juga mahasiswa memiliki kepentingan masing-masing. Meskipun RUU ini sedang dirancang oleh DPR, tentunya kita, sebagai stakeholder terbesar tidak bisa diam saja dan menunggu hasil, proaktif dalam mengawal RUU ini adalah sebuah keharusan. Sebagai seorang pribadi saya sangat mengharapkan RUU PT akan menjadi sebuah tonggak sejarah baru dalam dunia pendidikan Indonesia. Sudah terlalu lama kita terjebak dalam sistem pendidikan yang terlanjur dimasuki oleh setan-setan liberalis yang menyaru dalam BHMN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar