Minggu, 11 September 2011

Universitas Indonesia dan Problemanya

“Universitas Indonesia adalah kampus mercusuar penegakan moral, maka, harus dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip moralitas juga” begitu kira-kira pernyataan Prof. Dr. Emil Salim ketika menyampaikan orasi di kampus FE-UI, Depok, 5 September 2011. Bukan tidak beralasan mengapa Prof. Emil menyampaikan orasinya tersebut. Tata kelola Universitas Indonesia yang dijalankan selama ini, khususnya dimasa rezim Gumilar, menurut Prof. Emil memang sudah jauh dari sisi moralitas. Berbagai macam permasalahan yang sebetulnya sudah sangat berlarut-larut tanpa penyelesaian berarti seperti transparansi anggaran, ketidakjelasan status pegawai, hingga biaya kuliah yang mahal adalah sekelumit kisah betapa ada sesuatu yang salah di kampus ini.


Transparansi anggaran
Satu tahun lalu, dengan dasar hukum UU KIP (Keterbukaan Informasi Publik), UI pernah dimintai laporan keuangannya oleh ICW (Indonesia Corruption Watch), dan UI tidah memberikannya dengan alasan sedang UAS/UTS dan hanya memberikan data tentang SUC (Student Unit Cost). SUC sendiri adalah biaya yang seharusnya dibayar mahasiswa dalam satu semester, Untuk rumpun sosial humaniora kira-kira 15 juta/semester. Karena peraturan dari pemerintah mensyaratkan bahwa mahasiswa hanya membayar 1/3-nya, maka adalah wajar ketika rumpun sosial humaniora membayar 5 juta/semester. Pertanyaannya adalah, apakah benar besaran SUC yang dikeluarkan pihak kampus itu 15 jt/semester? Dengan biaya sebesar itu, apakah sebanding dengan apa yang kita dapatkan? Bayangkan jika SUC yang sebenarnya tidaklah sebesar itu, otomatis biaya kuliah yang kita bayarkan pun pasti akan lebih murah (baik reguler maupun yang non-reguler).

Selain itu, uang beasiswa yang selalu terlambat, mahalnya biaya kuliah, uang denda bagi mahasiswa yang telat membayar uang kuliah, uang DKFM, uang parkir bagi kendaraan yang masuk kampus, adalah sebahagian kasus yang menunjukkan bahwa ketransparanan anggaran menjadi hal yang mutlak dilakukan UI.

Selama tidak adanya transparansi, maka dapat dipastikan kecurigaan demi kecurigaan akan mengarah pada pihak rektorat bahwa uang-uang mahasiswa –juga uang-uang lainnya- diselewangkan sedemikian rupa (bukan tidak mungkin adalah benar). Dapat dipastikan pula ketidakpercayaan (distrust) para sivitas akademika terhadap pihak rektorat akan semakin meningkat dan tajam.

Ketidakjelasakn Status Pegawai UI
Bagi sebuah organisasi modern, manusia adalah aset dan bukan hanya alat yang dapat diperas tiap waktu dan dibuang pula sewaktu-waktu. Sayangnya, itulah yang sedang terjadi di kampus UI. Sejak ditetapkannya UI sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara) lewat PP No. 152 tahun 2000, maka UI berkewajiban mengubah selurus status pegawainya menjadi pegawai BHMN, kalaupun ada yang tetap ingin menjadi PNS, konsekuensinya adalah dikembalikan pada Dikti. Namun, selama 10 tahun UI menjadi BHMN, dari sekitar 8000 pekerja UI, baru sekitar 300 yang jadi pegawai BHMN, itupun baru dosen, belum pegawai lainnya. Transformasi setengah hati ini dapat terjadi karena proses untuk menjadi pegawai BHMN amatlah berbelit dan sulit, diantaranya disyaratkan pendidikan S3 bagi dosen, sedangkan UI tidak membiayai atau memfasilitasi para dosen yang ingin mengejar S3 dengan alasan tidak punya uang (?). Selain itu, ada pegawai-pegawai yang sama sekali tidak jelas apa status mereka, PNS bukan, BHMN pun tidak. Mereka diangkat (misal) hanya dengan surat tugas, surat keputusan (SK) rektor, surat keputusan dekan, dll.

Perbedaan status pegawai ini mau tidak mau akan berdampak langsung pada kinerja para pegawainya. Bagaimana mungkin seorang dosen dapat dengan maksimal memberikan perkuliahan sementara statusnya tidak jelas, hak-haknya tidak jelas, dan dapat ‘ditendang’ sewaktu-waktu? Bahkan, ada dosen yang sampai puluhan tahun tidak jelas statusnya. Perbedaan status pegawai-pun esesnya akan selalu melahirkan bentuk-bentuk diskriminasi lain.

Sebenarnya, perubahan status pegawai ini tidaklah menjadi masalah ketika pimpinan UI bertekat keras menjalankan PP 152 yang mengamanatkan transformasi PNS menjadi BHMN. Paguyuban pekerja UI yang menuntut adanya monoisme status pegawai bukannya tidak melakukan apapun, berbagai macam jalur diplomasi hingga demonstrasi telah dilakukan namun belum juga menemukan titik temu. Akhirnya, keserakahan dan ketamakan menjadikan monoisme status pegawai UI sulit dilakukan.

Pasca dicabutnya UU BHP
UU BHP yang menjadi landasan hukum perguruan tinggi dalam tata kelola kampus dicabut oleh Mahkaman Konstitusi pada tahun 2010 lalu karena terbukti tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Pasca pencabutan tersebut, untuk mengisi kekosongan landasan hukum pengelolaan perguruan tinggi, maka ditetapkanlah PP 66 tahun 2010 sebelum UU yang baru diresmikan. Masa usia PP ini sendiri adalah 3 tahun setelah PP diterbitkan. Masa transisi inilah yang rentan akan gesekan-gesekan kepentingan pihak yang terkait yang menginginkan status UI nantinya sesuai dengan kepentingan mereka.

Pihak rektorat sendiri diindikasikan berkeinginan menjadi ‘penguasa tunggal’ dalam mengelola kampus. Contohnya adalah ketika rektor memutuskan bahwa Majelis Wali Amanat (MWA) tidak akan diperpanjang masa jabatannya. Padahal, MWA ini adalah lembaga yang bertugas sebagai check and balance rektor, juga lembaga yang mengangkat dan memberhentikan rektor. Dapat dibayangkan sebuah lembaga dengan kekuasaan tunggal dan tanpa adanya check and balance, yang  terjadi tidak lain adalah kesewenang-wenangan dan otoriterisme.

Kembalikan UI sebagai Kampus Mercusuar Penegakan Moral
Akhir kata, sudah terlalu banyak permasalahan di kampus UI yang bahkan bisa terlihat dengan mata telanjang sekalipun. Ketika sebuah kampus yang diharapkan menjadi pencetak-pencetak calon pemimpin bangsa yang tentunya juga bermoral malah tidak menjalankan prinsip-prinsip moralitas tersebut berdasarkan prinsip good governance, maka tidak lain yang mesti dilakukan adalah sebuah pembenahan.

Berbagai macam permasalahan yang dipaparkan diatas hanyalah sebagian kecil dari suatu sistem tata kelola yang tidak transparan dan akuntabel. UI sebagai institusi pendidikan yang menyandang nama bangsa di belakangnya, maka tata kelolanya pun mesti transparan sebagai bentuk pertanggung jawaban, bukan hanya kepada sivitas akademika UI, namun juga kepada seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar