Kamis, 13 Oktober 2011

Renungan Kukusan-Halte FIB

Aku bergegas menuju kampus FIB UI pukul 11 lewat. Sudah tersusun rencana yang sangat rapi apa yang akan aku karjakan nanti. Mengambil bank soal, mengatur mentoring Pandu Budaya, menyelesaikan mengunduh film, dan mengerjakan tugas kuliah tentunya. Lama aku menunggu bis kuning datang di halte kukusan. 15 menit kemudian, bis pun datang, tidak terlalu penuh.


Didalam bis, aku melihat empat anak yang wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku. Mereka adalah penjual koran, namun kali ini mereka menjual tissu. Didalam bis kuning, mereka asyik bermain, melepas segala penat dari beban mencari uang yang sudah terlanjur ditumpukkan pada pundak mungil mereka. Aku yakin, beban hidup mereka teramat berat dibanding para mahasiswa-mahasiswa yang sering mereka sebut ‘kakak’ dengan teramat hormat. Beban mencari rupiah mereka pastilah lebih berat ketimbang beban-beban para ‘kakak’ yang hanya setumpuk tugas dan kegiatan organisasi.

Satu anak mengenakan kemeja biru, kedua kaos hitam, dan yang ketiga kaos hitam namun kebesaran. Ketiga anak ini tidak bisa duduk tenang di dalam bis kuning. Tiap pemberhentian di halte, yang mereka lakukan adalah berdiri di pintu masuk. Layaknya penjaga pintu di sebuah istana, ketika para mahasiswa masuk bis kuning, mereka memberikan senyum terindah, amat manis. Namun, anak keempat yang mengenakan kaos biru bergaris hitam putih dan mengenakan topi hitam bergambar naruto terlihat berbeda. Yang dia lakukan hanyalah melihat kearah teman-temannya yang sedang bermain sambil sesekali tersenyum. Adakah yang kau rasakan sungguh berat, Dik? Ataukan tissu yang kau peluk sedari tadi menjadi saksi betapa ‘kakak-kakak’ yang kau harapkan mengeluarkan sedikit recehnya untukmu malah memberikan mimik merendahkan?

Dik, kampus perjuangan ini memang sudah berbeda dari apa yang ayah atau ibumu kenal berpuluh tahun lalu. Kampus yang katanya kampus rakyat ini hanyalah omong kosong. Lihatlah, sekelilingmu mercusuar-mercusuar baru mulai memperlihatkan kecongkakkannya. Lihat pula ‘kakak-kakak’ itu, betapa mereka hidup diawang-awang, menikmati berbagai fasilitas yang diberikan orang tua mereka seakan-akan itu adalah miliki mereka. Mereka lupa bahwa masih ada kalian, masih ada rakyat yang menangis tiap malam, masih ada rakyat yang tinggal di kolong jembatan, dan masih ada kau, Dik.

Mungkin kau adalah anak-anak terpinggirkan zaman, anak yang aku yakin kau tidak ingin menanggung beban sebesar itu dimasa kecilmu. Namun percayalah dik, aku selalu yakin bahwa kau adalah penerus bangsa yang sejati. Bukan ‘kakak-kakak’ yang kau hormati itu! Yakinlah, ketika suatu saat nanti kau memegang tempat sebagai petinggi negeri ini, kau akan menjalankan amanah rakyat dengan sepenuh jiwa. Kau pernah merasakan kesusahan, kemiskinan, kemelaratan. Maka, ketika kau menjadi orang besar kelak, ingatlah dik, kau pernah berada di bawah.

Bis kuning pun berehenti di halte FIB. Aku turun dengan berjuta pengharapan kepada keempat anak tadi. Mereka? Masih melanjutkan perjalanan kehidupan mereka yang tentu masih teramat panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar