Jumat, 22 Juli 2011

Ospek: mendidikkah?

Setiap tahun ajaran baru, institusi pendidikan baik itu tingkat terendah hingga perguruan tinggi menerima siswa/mahasiswa baru. Beriringan dengan itu biasanya institusi pendidikan melakukan kegiatan semacam pengenalan sekolah/kampus atau ospek  yang dilakukan sebelum masa belajar-mengajar. Namun, kali ini saya akan lebih mengkhususkan pada ospek SMP/SMA.


Untuk memasuki sebuah lingkungan baru, apalagi di dunia pendidikan, beradaptasi untuk segera menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada memang sangat penting. Hal ini bertujuan agar kelak siswa terbiasa dengan lingkungan sekolahnya yang baru sehingga dapat membantu menciptakan iklim yang nyaman dalam proses belajar, yang pada akhirnya membuat kegitana belajar mengajar berlangsung sebagaimana mestinya. Untuk itulah diadakannya ospek, secara garis besar ospek dilakukan untuk mempercepat adaptasi siswa terhadap lingkungan barunya.

Namun, yang terjadi dewasa ini seakan ospek dijadikan arena perploncoan senior kepada para juniornya, setidaknya di daerah kami. Berbagai macam tugas aneh yang tidak memiliki esensi dibebankan kepada junior dengan deadline yang sangat mepet. Contoh terdekat adalah adik saya yang baru memasuki jenjang pendidikan SMP. Tugas yang mesti dia bawa diantaranya adalah: mie Jepang, snack zodiac, snack letakan, kue 3D, minuman kenyang, dll. (coba anda tebak apa maksudnya???) Dan semua ini mesti dibawa dengan tong sampah yang disulap menjadi tas gendong, plus gelang permen, topi keranjang rumbai-rumbai, serta pita kuning 3 pasang yang harus terletak dilengan kanan dan kirinya. Jika esensi dari para senior untuk membebankan tugas yang seperti ini adalah untuk tebak-menebak, iseng-iseng berhadiah, saya akan tertawa terbahak-bahak untuk alasan seperti itu.

Diindikasikan, kegiatan ospek dan segala atribut ‘orang gila’ yang dikenakan direstui oleh pihak sekolah. Apalagi, apcaman-ancaman atau beban psikis dan fisik yang dibebankan senior bukan tidak mungkin terjadi. Beberapa hari lalu kita dihebohkan oleh meinggalnya salah satu calon siswa selepas mengikuti acara ospek di sekolahnya, diindikasikan karena kelelahan mengikuti acara ospek.

Sebagai pihak yang memiliki otoritas, tidak mungkin pihak sekolah tidak mengetahui kegiatan tersebut. Lingkaran setan balas-membalas ini akan tetap berlanjut selama pihak sekolah tidak memotong jalur perkembangannya. Dan lingkaran setan ini akan terus berkembang menjadi semakin besar. Jika sejak masa SMP/SMA saja sudah dibudayakan kegitaan ospek tidak sehat seperti itu maka tidak heran akan terjadi tragedi pendidikan semacam STPDN/IPDN dimasa yang akan datang.

Selain itu, kontrol harus datang dari pihak eksternal sekolah seperti dinas pendidikan dan masyarakat setempat. Dinas pendidikan seharusnya melakukan pengawasan lebih ketat dengan ospek-ospek tidak sehat semacam ini. Begitu juga dengan masyarakat, mereka harus berani bersuara ketika ketidakadilan terjadi di institusi pendidikan. Memang bayarannya mahal, seperti kemarin lalu kita ingat anak yang jadi bulan-bulanan ketika membeberkan terjadinya kecurangan saat ujian nasional. Begitu juga saat dua bersaudara menanyakan dana pendidikan yang entah kemana, konsekuensinya, mereka dikeluarkan dari sekolah. Miris memang, pendidikan yang harusnya menjadi kawah pembentuk kepribadian seorang manusia sejak dini malah dikotori oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab, malahan budaya-budaya tidak baik dilanggengkan, dilestarikan secara berkala dan sistematis.

Sejatinya, masa orientasi/ospek memang penting ketika bertujuan untuk kebaikan calon siswa tersebut dan bukan untuk melanggengkan budaya-budaya balas dendam. Institusi pendidikan adalah benteng pembentuk kepribadian siswa, pembentuk kepribadian calon penerus bangsa. Investasi jangka panjang ini sudah selayaknya bersih dari budaya-budaya tidak baik, bahkan dihilangkan sama sekali. Semoga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar