Rabu, 02 Februari 2011

Negeri Dagelan

Melihat negeri ini bagaikan melihat sebuah dagelan yang lucu tapi menggemaskan. Bagaimana tidak? setelah hampir 13 tahun Indonesia keluar dari cengkraman otoriterisme rezim Soeharto, negeri ini tampaknya jalan di tempat, bahkan bisa dibilang mundur. Padahal cita-cita reformasi sejatinya adalah mengembalikan kedaulatan sebesar-besarnya kepada rakyat -yang selama orde baru dikebiri oleh rezim- untuk kemakmuran bersama. Bagaimana tidak lucu? kenyataan sejarah telah banyak memberikan contoh tauladan seorang pemimpin, tapi nampaknya para pemimpin lupa akan hal itu.

Masa presiden Sukarno adalah masa dimana Indonesia sedang mencari identitasnya sebagai sebuah bangsa merdeka. Berbagai macam bentuk pemerintahan mulai dari sistem presidensil sampai parlementer a'la barat coba diterapkan. Tujuannya hanya satu, memakmurkan seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar. Dalam masa Ini boleh dikatakan adalah masanya para politikus 'suci'. Memang ada segelintir politikus yang sudah melakukan tindakan korupsi dan lain-lain, namun skalanya sangat kecil dan tidak seberapa. Mereka yang duduk sebagai wakil rakyat adalah orang-orang yang benar-benar berniat tulus untuk mengabdi kepada rakyat. Sebut saja nama-nama macam Natsir, Sjahrir, Hatta, Ali, Diah, Melik, Roem, Yamin, dan masih banyak lagi politikus yang hidupnya benar-benar didedikasikan untuk rakyat. Terlepas dari mereka adalah pejuang kemerdekaan, dan nampaknya wajar jika Indonesia telah merdeka, mereka akan memimpin negeri ini dengan sungguh-sungguh. Mereka adalah figur-figur yang seharusnya dijadikan contoh para politisi sekarang yang semakin nyaman duduk di singgasananya tanpa peduli nasib rakyat. Seorang Sayuti Melik tidak segan-segan menaiki bis kota untuk menghadiri rapat konstituante, Natsir dicap sebagai perdana mentri paling miskin yang pernah ada lantaran pakaiannya yang sudah bertambal dimana-mana. Sungguh hal yang sudah tidak mungkin lagi terjadi sekarang.

Ketika Sukarno tumbang dan muncul orde baru, segera sistem perekomomian diganti, liberalisasi dan privatisasi menjalar disemua sektor. Pertumbuhan ekonomi melaju pesat, pembangunan dimana-mana, Indonesia menjadi macan Asia dan melakukan swasembada beras. Rakyatpun senang, semua mengelu-elukan Suharto sebagai bapak pembangunan. Belakangan baru diketahui bobroknya rezim ini. Namun, dalam beberapa aspek, rakyat merindukan zaman-zaman ini, zaman ketika semua barang pokok terjangkau, zaman ketika mencari pekerjaan mudah, penganggurang berkurang. Zaman yang sangat kita rindukan saat ini.

Jika sekarang yang rakyat rasakan tak ubahnya adalah dagelan, memang itulah yang terjadi. Setelah 13 tahun reformasi, kita bisa lihat penegakkan hukum yang mencla-mencle, tebang pilih, dan masih tajam terhadap rakyat kecil namun tumpul dihadapan elit. Padahal, berbagai macam upaya telah dilakukan seperti reformasi birokrasi, pembentukan KPK yang sebentar lagi akan habis masanya pada 2011. Namun apalah arti dari semua itu jika para penegak hukumnya sendirilah yang melanggar hukum? Masih ingat kisah Cyrus Sinaga dan Haposan H. yang mengadili kasus 'super'  Gayus? mereka adalah orang yang seharusnya menegakkan hukum namun nyatanya malah menciderai hukum demi kepuasan materi belaka.  Mereka berdua mungkin hanyalah sebuah gunung es ditengah lautan luas, kecil dipermukaan namun sangat besar dibawahnya. Belum lagi masalah korupsi yang makin menjadi. Jika masa orde baru korupsi hanya dilakukan oleh segelintir 'cendana', maka sekarang budaya korupsi telah menjalar hingga ke pelosok desa. Ketika korupsi  menyeret nama-nama elit, maka yang dapat dipastikan adalah tawar menawar politik yang terjadi, tidak lain adalah untuk mencegah si 'elit' terjerat hukum, seperti kasus pengusiran ketua KPK Bibit dan Chandra oleh komisi III DPR, hal ini sarat dengan penangkapan para politikus senior yang terjerat kasus penyuapan pemilihan deputi senior BI, Miranda Gultom. Akhirnya, tarik-ulur pun terjadi dan kasus-kasus seperti itu semakin terbengkalai. Tak kunjung ada habisnya. Belum lagi masalah kemiskinan yang ada, di tengah gembar gembor pemerintah ingin membuat gedung baru DPR dan penaikan gaji, 31 juta rakyat miskin tinggal menunggu ajalnya, bahkan ada yang rela menjemput ajal tersebut dengan bunuh diri. Sungguh suatu ironi mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Itu tidak ada artinya ketika sgelintirelit tega menjual negerinya sendiri demi kantong pribadi dan menutup mata atas apa yang terjadi pada bangsanya sendiri. Indonesia dan para politisinya bagaikan sebuah wayang yang dikendalikan dalang yang disebut liberalisasi dan materialisme.

Memang, diatas kertas Indonesia adalah negara demokrasi, disini semua orang bebas untuk mengeluarkan pendapatnya. Berbagai macam media massa muncul dengan segenap kritiknya kepada pemerintah, berjuta kali unjuk rasa dilakukan para mahasiswa, kaum buruh, pekerja atau nelayan setiap harinya untuk meminta sebuak keadilan, bahkan tidak jarang berakhir dengan ricuh. Namun, apalah artinya itu jika semua bentuk aspirasi tidak didengar? Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, jika semua bentuk aspirasi rakyat tidak didengar apa masih sejati-kah demokrasi kita?

Itulah ketika sebuah negara besar dipimpin oleh pemimpin-pemimpin bejat. Indonesia sekarang berada pada masa transisi demokrasi, masa dimana segala sesuatu belum mapan dan dapat goyah kapanpun. Disaat seperti inilah Indonesia perlu memiliki kebijakan-kebijakan yang luar biasa yang hanya akan tercipta jika memiliki pemimpin yang kuat.seorang pengamat politik berhatabahwa seharusnya Indonesia memiliki pemimpin yang kuat yang memiliki visi yang jelas untuk memberantas semua masalah-masalah yang terjadi, bukan pemimpin lemah yang setengah hati menyelesaikan permasalahan bangsa. Seharusnya kita memiliki pemimpin yang mengayomi, pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Saya yakin ada orang-orang yang seperti itu di negeri ini, tinggal bagaimana cara kita memunculkannya. Salahsatunya adalah dengan sistem kaderisasi yang dilakukan parpol, lain halnya jika parpolnya sendiri yang tidak menjalankan kewajibannya untuk kaderisasi kepemimpinan.

Apakah semua ini nampak seperti dagelan yang lucu? ya. Dan selamat, anda hidup di negara yang seperti itu.

2 komentar: