Selasa, 23 April 2013

Mayday dan Mahasiswa

Keberadaan buruh sebagai hasil dari sistem kapitalistik yang dianggap oleh golongan kiri merupakan agen penghancur dari sistem kapitalisme itu sendiri dewasa ini semakin meningkat ke arah yang semakin tinggi tingkat kesadaran dan militansinya. Berdasarkan uraian historis, kelas buruh menunjukkan beberapa kemenangan besar yang pernah dicatat (tentu disamping kekalahan-kekalahan yang juga tidak kalah banyaknya). Kemenangan tersebut diantaranya dicatat dalam peristiwa Komune Paris hingga perjuangan pengurangan jam kerja. Untuk kemenangan yang disebutkan terakhir (pengurangan jam kerja), perjuangan buruh patut diberikan apresiasi karena penncapaian ini merupakan hasil rentetan panjang perjuangan kelas selama ratusan tahun. Keberhasilan kaum buruh dalam mengurangi jam kerja hingga 8 jam (yang buruh saat ini nikmati) menjadi momentum dan kemudian diperingati sebagai peritiwa Mayday.


Kapitalisme yang lahir berbarengan dengan revolusi industri, abad ke-18, menghasilkan suatu sistem penindasan dimana keuntungan yang didapat kaum kapitalis berasal dari nilai lebih yang dihasilkan buruh. Penindasan yang dilakukan kaum kapitalis saat itu bukanlah masalah moral maupun humanisme. Penindasan yang dilakukan kapitalis terhadap buruh merupakan konsekuensi logis sistem kapitalistik yang menghendaki perputaran modal dengan terus bersaing antar satu kapitalis dengan kapitalis lain. Agar barang yang dihasilkan kapitalis laku/terjual dipasar, tentu barang tersebut harus semurah mungkin. Dengan tesis tersebut, maka kapitalis mau tidak mau untuk memperkecil upah bagi para buruh ataupun memperpanjang jam kerja mereka. Maka, tercatat dalam sejarah, penindasan kapitalis terhadap buruh pada awal mula sistem ini ada di muka bumi ditandai dengan upah yang murah, kondisi pemukiman, sandang dan pangan yang buruk, serta jam kerja yang tidak manusiawi (uraian tentang kondisi kelas pekerja di Inggris, sebagai negara asal revolusi industri, dapat dibaca lebih lanjut dalam laporan Friedrich Engels, The Condition of Working Class in England).

Adalah Karx Marx yang membuat beberapa karya monumental, terutama karya yang terkait dengan kritiknya terhadap sistem kapitalistik seperti Manifesto Komunis maupun Kapital yang membuat kesadaran buruh meningkat dan melakukan perlawanan terhadap kapitalis. Perjuangan ini terus dilakukan buruh sedunia sampai pada tahun 1886 buruh menemui kemenangan dengan memaksa kapitalis untuk mengurangi jam kerja hingga 8 jam dari sebelumnya buruh bekerja sampai 12-16 jam sehari. Aksi-aksi ini terutama terjadi di Chicago. Momentum inilah yang kemudian diperingati buruh sedunia sebagai Mayday.

Di Indonesia, peringatan Mayday pertama kali dilakukan pada tahun 1920, ini tercatat sebagai peringatan Mayday pertama yang dilakukan oleh buruh di Asia. Bahkan, pemerintah Sukarno dengan UU Kerja No 12 tahun 1948 dalam pasal 15 ayat 2 menyebutkan “pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja”. Orde baru kemudian melarang peringatan Mayday karena dianggap sebagai gerakan yang subversif dan mengganggu ketertiban umum, bahkan seringkali diidentikkan dengan komunis. Namun, pada tanggal 1 Mei 1994 Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) merayakan aksi Mayday pertama kali dalam sejarah orde baru, aksi dilakukan di Medan. Satu tahun berselang, aksi Mayday kembali dilakukan oleh Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) bersama Serikat Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) pada tahun berikutnya. Aksi saat itu ditujukan kepada kantor Departemen Tenaga Kerja dan Kantor Gubernur Jawa Tengah sebagai simbol dari kekuasaan. Pasca orde baru jatuh dan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat secara penuh kita nikmati, gerakan buruh semakin bebas dalam melakukan konsolidasi dan gerakan. Tidak pernah luput setiap tanggal 1 Mei para buruh turun ke jalan dengan tuntutan memberbaiki kehidupan mereka (jaminan sosial, hapus outsourcing, tolak upah murah) maupun tuntutan yang lebih ideologis seperti hancurkan kapitalisme dan sebagainya.

Mahasiswa adalah Calon Buruh
Lantas, apakah hubungan antara Mayday dan mahasiswa? Dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan pandangan terkait sistem kapitalistik yang ada saat ini beserta buruh sebagai komponen pembentuknya, dengan mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat dimana sistem kapitalistik itu berdiri. Tesis dari hal ini adalah mahasiswa pun merupakan bagian tidak langsung dari sistem produksi kapitalisme, dimana sistem kapitalisme saat ini membuat institusi pendidikan yang ada tidak lain sebagai salah satu bagian dari pelanggeng sistem.

Menurut Marx, kapitalisme seharusnya runtuh akibat kontradiksi yang ada di dalam tubuhnya sendiri. Maksudnya adalah, sistem kapitalisme menghasilkan anarkisme pasar (hal ini berangkat dari tesis bahwa teori keseimbangan yang dihasilkan dari sistem penawaran dan permintaan tidak berlaku) yang membuat krisis berkala, pengkonsentrasian kapital kepada segelintir orang dan menghasilkan proletariatisasi, hal ini pada akhirnya menghasilkan revolusi kelas dan menghasilkan tatanan baru. Namun, setelah beberapa abad kapitalisme ada di muka bumi, kontradiksi yang dimaksud tidak terjadi, malah timbul kecenderungan kapitalisme tetap resisten dari perubahan. Hal ini tentu menjadi misteri bagi kalangan marxian. Adalah Gramsci yang menjawab mengapa hal ini bisa terjadi melalui teori hegemoninya. Kapitalisme terus bertahan tidak lain karena kesadaran kaum buruh telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga buruh menganggap tatanan yang ada saat ini adalah sesuatu yang alami. Althusser menambahkan teori ini dengan ideological state aparatus dan represif state aparatus-nya. Represif state aparatus adalah institusi kekerasan yang dibuat untuk melanggengkan kapitalisme, sedangkan ideological state aparatus adalah seperangkat sistem yang juga ditujukan untuk membuat kesadaran palsu massa. Yang termasuk dalam kategori ini diantaranya media massa dan institusi pendidikan.

Melalui institusi pendidikan, kapitalis yang telah berselingkuh dengan negara membuat seperangkan kurikulum yang tujuannya mengilusi student dengan ‘kebenaran’ dari kapitalisme. Bahwa kapitalisme adalah sejarah terakhir umat manusia, ia adalah kebenaran, tidak ada lagi setelahnya. Begitu kira kira idiom yang diberikan. Selain dari kurikulum, institusi pendidikan pun dibuat bukan lagi sebagai sarana reproduksi intelektual dan ilmu, melainkan sebagai sarana untuk mencetak buruh murah dan siap pakai. Dewasa ini, hal tersebut secara nyata ada dalam seperangkat aturan yang dikenal sebagai UU Pendidikan Tinggi yang berefek pada pendidikan yang semakin mahal dan sulit dijangkau oleh semua golongan. Hal ini juga ditambah dengan semakin laku dan berjamurnya bidang studi yang sifatnya praxis dan berdampak langsung terhadap langgengnya sistem kapitalisme. Sering pula kita mendengar ucapan dosen yang mengatakan “nanti kalau kalian kerja…bla..bla” semakin mengukuhkan bahwa mahasiswa adalah kelas calon-calon buruh. Hal ini juga jelas dalam pernyataan salah satu inisiator UU Pendidikan Tinggi, Joko Santoso, dalam sidang JR UU Pendidikan Tinggi beberapa hari lalu, bahwa “institusi pendidikan dan mahasiswa yang berada di dalamnya disiapkan untuk memenuhi kebutuhan industri nasional”. Ini bukan berarti bahwa saya anti terhadap kerja, bahkan saya sepakat bahwa kerja adalah sarana aktualisasi diri manusia. Namun kerja yang dimaksud tentu bukanlah orientasi utama dalam institusi pendidikan dan reproduksi ilmu dinomorsekiankan.

Apakah kita sepakat bahwa mahasiswa adalah calon buruh? Saya, ya. Terlepas dari kenyataan bahwa beberapa mahasiswa bercita-cita menjadi wiraswasta/borjuis kecil, kenyataan yang kita lihat saat ini adalah banyak para lulusan yang berbondong-bondong memasuki dunia kerja. Yang beruntung akan mendapat kerja cepat setelah mereka lulus, ada yang menunggu agak lama, dsb. Tentu kita tidak bisa menafikkan kenyataan tersebut. Salah besar jika masyarakat umum menganggap mahasiswa adalah kelas borjuasi, karena dalam struktur kapitalisme, term borjuasi merujuk pada mereka yang memiliki kapital sebagai sarana akumulasi modal. Disatu sisi, mahasiswa pun bukan (belum) lah buruh/proletar karena mereka belum memberikan tenaga mereka kepada kapitalis sebagai salah satu faktor produksi secara langsung. Maka, yang paling tepat, mahasiswa, merujuk pada definisi Suryadi Radjab (1991) adalah masyarakat pra-kelas. Apa yang mahasiswa lakukan saat ini adalah bagaimana mereka memposisikan diri mereka akan menjadi bagian yang mana setelah mereka lulus. Maka, jika ada mahasiswa yang berlagak layaknya borjuasi, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tersesat.

Memang, dalam kenyataanya mahasiswa setelah lulus akan menjadi buruh yang ‘agak berbeda’ dengan buruh-buruh pabrik. Mahasiswa akan menjadi ‘buruh berdasi’ yang tentu mendapat beberapa keistimewaan karena mereka menempuh pendidikan tinggi sebelumnya. Namun substansi dari hal ini adalah sama. Selama mereka bekerja kepada orang lain dan mendapat upah atas kerjanya dan hal ini dilakukan sebagai sarana akumulasi kapital bagi para boss, mereka adalah buruh.

Bergerak Bersama
Lantas, berangkat dari realitas tersebut, bagaimanakah posisi mahasiswa seharusnya dalam menanggapi gerakan buruh yang ada saat ini. Bagi penulis, mahasiswa bukanlah entitas/kelas tersendiri dalam struktur masyarakat. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, mahasiswa adalah masyarakat pra-kelas, apa-apa yang mereka lakukan dalam kondisi mereka saat itu mencerminkan apa cita-cita mereka kelak. Dan ketika sistem pendidikan yang ada saat ini membuat mahasiswa menjadi calon-calon buruh, maka seyogyanya perilaku mahasiswa mencerminkan hal tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi gerakan mahasiswa yang saat ini cenderung independen. Independen dalam hal ini artinya berdiri di atas menara gading dan melakukan gerakan  konyol dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai ‘penyambung lidah rakyat’ tanpa tau rakyat mana yang dimaksud. Pun dengan labelisasi seperti ‘agent of change’ ‘moral force’ ‘iron stock’ dsb semakin membuat gerakan mahasiswa hidup dalam mitos-mitos. Di sini independensi harus dipahami sebagai independen dari kelas dominan, kelas penguasa, bukan independen dari gerakan rakyat yang lain, termasuk gerakan buruh.

Dalam peringatan Mayday tahun ini, mahasiswa harusnya mengambil momentum dengan bergabung, atau minimal mendukung, gerakan buruh menuntut perubahan. Sekali lagi, hal ini merupakan konsekuensi bahwa kita adalah calon buruh dalam sistem pendidikan yang kapitalistik dan sebagai refleksi gerakan mahasiswa yang sejatinya tidak bebas nilai dan harus memilih kemana harus mencondongkan diri. Tentu, momentum ini tentu bukan hanya aktivisme mahasiswa dan gerakan buruh, namun gerakan rakyat secara keseluruhan. Karena mahasiswa bukanlah kelas tersendiri di masyarakat, mereka adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar