Jumat, 29 Maret 2013

Konstruksi Ulang Atas Mitos Gerakan Mahasiswa



Tugas gerakan mahasiswa saat ini adalah mendefinisikan ulang diri mereka sendiri dan posisi mereka dalam relasi antar masyarakat. Hal ini menjadi penting mengingat  gerakan mahasiswa semakin kehilangan esensinya dalam iklim demokrasi liberal seperti saat ini. Proses pendefinisian ulang inipun termasuk membongkar mitos-mitos yang telah berakar dalam diri mahasiswa itu sendiri. Penyambung lidah rakyat, agen perubahan, pemimpin masa depan, atas nama rakyat, serta berbagai macam jargon-jargon yang telah kita terima bahkan ketika baru menginjakkan kaki di kampus adalah hal-hal yang patut dikritisi bersama. Bagi penulis, tujuan akhir dari  proses pendefinisian ulang ini adalah kesadaran kolektif mahasiswa dalam relasi antarmasyarakat dan bagaimana melakukan gerakan dalam kesadaran kolektif yang telah didefinisikan ulang tersebut.


Mitos yang menjadi titik tolak dari pembahasan ini adalah posisi kita dalam struktur masyarakat. Mahasiswa selalu berteriak lantang bahwa apa yang dilakukannya, entah itu demonstrasi atau proses advokasi lain, adalah “atas nama rakyat”. Pertanyaan besarnya mengapa bisa muncul slogan atas nama rakyat itu  yang berarti mengamini bahwa kita memang kelas tersendiri dari masyarakat umum. Hal ini bisa dianalisis dari uraian-uraian sejarah yang dibaca secara kritis. 

Uraian sejarah selalu mengatakan bahwa motor penggerak perubahan adalah pemuda, hal ini disimbolkan dalam simbol-simbol angka seperti angkatan ’08 angkatan ’28 dst. Proses konstruksi sejarah yang seperti ini terus dilanggengkan di era pemerintahan Sukarno dengan maksud membentuk ‘karakter bangsa’. Doktrin seperti ini lah yang kemudian menjadi kesadaran kolektif bagi angkatan ’66 yang dikenal sebagai angkatan yang menumbangkan otoritarian Sukarno. Selain sejarah dimasa lalu, satu faktor lagi yang membuat kesadaran subjektif mahasiswa di negara-negara dunia  ketiga adalah gaung gerakan mahasiswa internasional yang secara general bergerak untuk menumbangkan rezim otoriter juga. 

Selanjutnya seperti sebagaimana kita ketahui gerakan mahasiswa kembali menantang rezim Suharto yang kemudian memang turun dari jabatannya secara paksa. Meskipun di sini tersedia ruang debat yang luas untuk mempertanyakan seberapa signifikan gerakan-gerakan saat itu, tapi toh gerakan ‘98 pun merupakan gerakan yang dilakukan ‘atas nama rakyat’ dan tidak ada yang memproblematisasinya. 

Ada satu hal yang harus kita sadari dari catatan-catatan sejarah tersebut. ‘Atas nama rakyat’ bukanlah slogan berasal dari kesadaran rakyat keseluruhan yang memang merasa terwakili oleh golongan ini kemudian mahasiswa meng-amini-nya, namun hal ini merupakan hasil konstruksi/doktrinasi dari orde baru. Atau dengan kata lain negara orde baru lah yang kemudian menciptakan panggung bagi gerakan mahasiswa. Mengapa orde baru melakukan hal ini? 

Proses transisi rezim yang terjadi dengan cara kudeta mau tidak mau membutuhkan semacam alat legitimasi. Maka kemudian muncullah mahasiswa-mahasiswa di jalanan dengan Tritura-nya. Penulis tidak ingin berkata bahwa mahasiswa digerakkan, atau minimal dimanfaatkan oleh militer yang kemudian memfatwa bahwa proses pergantian rezim diingini oleh massa rakyat (yang diwakili mahasiswa). Kemudian setelah rezim jatuh para mahasiswa mendeklarasikan perjuangan di jalanan telah berakhir dan harus dilanjutkan di jalan lain, termasuk membangun orde baru yang telah mereka buat pondasinya.

Mitologisasi tentang gerakan mahasiswa terus dilanjutkan oleh orba dengan terus memberikan panggung bagi mereka dan mengizinkan gerakan mahasiswa ‘tampil’ dengan juga terus-menerus mengatasnamakan rakyat. Hal ini diperkuat dengan ditampilkannya mahasiswa sebagai agen modernisasi dan pembangunan disamping militer dan juga teknokrat. Dengan menyediakan panggung bagi gerakan mahasiswa dan sama sekali tidak menyediakan panggung bagi gerakan rakyat lain setidaknya orde baru menghasilkan dua hal. Pertama, negara orde baru dalam kacamata dunia internasional akan dianggap sebagai negara demokratis (meskipun kenyataannya tidak sama sekali) dengan bukti mereka memiliki ‘semi oposisi’ yaitu mahasiswa. Kedua, dengan diizinkannya mahasiswa ‘tampil’ maka mitos ‘atas nama rakyat’ semakin menemukan bentuk dan pembenarannya. 

Setelah reformasi dan keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya, maka menjadi keniscayaan pula bahwa mitos ini harusnya hilang dengan sendirinya. Namun kenyataannya tidak begitu. Mitos-mitos ini terus ada/dilanggengkan/dibiarkan, bahkan saat kita baru menginjakkan kaki di kampus mitos-mitos inilah yang pertama kali kita dengar. Bagi penulis, hal ini sengaja dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan untuk melemahkan gerakan mahasiswa itu sendiri. Maksudnya adalah, ketika mitos-mitos ini yang terlebih dahulu masuk ke kepala kita (sebagaimana teori gelas kosong dimana apapun yang pertama kali dimasukkan akan menjadi identitas mereka seterusnya) maka mahasiswa akan menemuka kesenjangan yang luar biasa antara teori dan praktik yang dalam kenyatannya mahasiswa semakin tercerabut dari basis masyarakat. Namun bukan melakukan refleksi dan konstruksi ulang atasnya, mahasiswa cenderung akan menjadi apatis. Hal ini tentu ditambah dengan beban akademis yang semakin berat yang membuat mahasiswa semakin terasing, bahkan dengan dirinya sendiri.

Setelah menyadari hal ini, maka tugas konstruksi ulang posisi mahasiswa di dalam relasi sosial masyarakat akan menjadi lebih jelas. Kita bukan lagi ‘aktor tunggal’ dalam panggung yang disediakan negara, kita adalah bagian dari ‘aktor-aktor lain’ yang juga berada di panggung yang sama. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana menempatkan mahasiswa dan relasinya dengan ‘aktor-aktor lain’ seperti gerakan buruh, tani dan gerakan rakyat lainnya. Apakah kemudian ‘aktor-aktor’ ini bergerak sendiri-sendiri dan menghasilkan ‘pementasan’ yang buruk dan tidak terarah, atau bergabung bersama ‘aktor’ lainnya.

Satu-satunya cara untuk keluar dari mitologi ini adalah memeriksa kembali posisi mahasiswa. Menurut Suryadi (1991) ketidakjelasan posisi mahasiswa dikarenakan oleh struktur kelasnya yang memang tidak jelas. Mahasiswa tidak secara langsung berhubungan dengan produksi namun (karena sistem pendidikan yang neoliberalis) mereka juga  ada dilembaga yang mereproduksi kapitalisme, maka dia bukanlah kelas borjuis maupun kelas proletar, atau lebih tepatnya mahasiswa adalah pra-kelas dalam struktur masyarakat.  Maka, pilihannya menjadi dua, menjadi intelektual tradisional yang asyik dengan dunianya sendiri namun tetap terus ‘atas nama rakyat’, ataukah melakukan bunuh diri kelas dengan menjadi intelektual organik yang bergabung bersama rakyat dan melakukan pengorganisiran-pengorganisiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar