Selasa, 22 November 2011

Tentang Matinya Gerakan dalam Kampus

Gerakan perlawanan mahasiswa Universitas Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rektorat yang sempat hangat beberapa waktu silam meredup. Gerakan #SaveUI yang dipelopori lembaga formal kampus berawal dari ketidakberesan pengelolaan Universitas yang dianggap tidak transparan dan akuntabel. Ketidak transparanan dan akuntabilitas ini berdampak langsung pada tata kelola Universitas yang merugikan sivitas akademika secara keseluruhan. Pembangunan mercusuar-mercusuar baru yang kurang memperhatikan konsep kebutuhan dan urgensitas, sentralisasi keuangan dan sentralisasi kekuasaan, juga banyak permasalahan lain adalah latar belakang mahasiswa (juga sivitas akademika lain) melakukan perlawanan.

Belumlah terlihat ujung pangkal dari semua permasalahan ini, tergerus waktu dan lobi-lobi kepentingan (mungkin), juga ketidak siapan mahasiswa melakukan pergerakan membuat pihak rektorat keluar dengan kepala mendongak sebagai pemenang. Padahal, jika melihat realitas yang terjadi pada kampus ini, sebenarnya saat ini perlawanan seharusnya tetap dilakukan.

Mengapa Hilang?
Timbul pertanyaan yang mungkin juga adalah pertanyaan dari banyak mahasiswa lain, mengapa isu #SaveUI hilang ditelan bumi? Secara pribadi yang berada di luar lingkaran lembaga formal kemahasiswaan, saya mencoba menganalisa perlawanan yang meredup ini. Menurut asumsi saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan gerakan perlawanan ini hilang bahkan sebelum sampai pada tujuannya. Pertama, memang adanya ketidak siapan dari mahasiswa itu sendiri untuk melakukan perlawanan. Kedua, terjadinya lobi-lobi politik. Ketiga, ada pihak dibelakang layar yang telah mendapatkan apa yang diinginkan. Dalam esai kali ini saya akan memfokuskan pada faktor ketidak siapan mahasiswa dalam melakukan perlawanan.

Ketidaksiapan Mahasiswa 
Semua terjadi begitu cepat, dan memang begitu. Berawal dari pemberian gelar kehormatan bagi Raja Arab, ketidak setujuan datang bertubi-tubi dari berbagai pihak khususnya untuk Rektor UI yang memberikan gelar tersebut. Isu yang bahkan sempat menjadi isu nasional ditengah maraknya TKI yang dihukum mati di negeri Arab sana menjadi pintu masuk terbukanya kebobrokan yang selama ini tertutupi.

Tidak Adanya Grand Issue dan Renstra
Meskipun isu ini bergulir begitu cepat dan sulit diprediksi apa yang terjadi setelahnya, harusnya mahasiswa, khususnya BEM UI yang (katanya) merupakan penggerak gerakan mahasiswa, sudah mempersiapkan jauh-jauh hari jika hal ini terjadi. Bukankah ketidakberesan tata kelola kampus sudah menjadi rahasia umum lagi dikalangan mahasiswa? Dan bukankah hal itu juga telah berlangsung sekian lama, tepatnya di era kepemimpinan rektor sekarang ini? Harusnya dengan tempo waktu seperti itu sudah disiapkan langkah-langkah strategis dan konkret untuk melakukan perlawanan, ini adalah bukti BEM UI tidak memiliki renstra dalam pergerakannya dan cenderung bergerak berdasarkan isu.

Mengapa saya berkata seperti itu? Seseorang/lembaga yang memiliki renstra sudah mengetahui apa yang akan dilakukan dalam masa kepengurusannya. Renstra itu secara hierarkis berada di bawah grand issue, yaitu tema utama yang akan diperjuangkan. Misal, sebuah lembaga, katakanlah itu BEM UI, jika dia memiliki grand issue, misalnya tata kelola kampus, maka secara hierarkis dia juga akan membuat renstra, apa yang akan dilakukannya satu tahun kedepan. Dia akan tahu apa yang akan dilakukan bulan Januari, Februari, Maret, dsb. Hal ini akan membuat pergerakan menjadi terarah dan tidak reaksioner (tergantung isu). Kita analogikan grand issue ini sebagai perjalanan serang musafir. Seorang musafir yang memiliki tujuan yang jelas, misal, menuju Aceh, akan tahu kemana langkah kakinya akan berjalan, kendaraan apa yang akan dipakai, dan rute apa yang akan dilewati. Meskipun dalam perjalanannya seorang muusafir itu tertarik untuk singgah di Yogyakarta, bandung, atau Jakarta, dia akan tetap memiliki tujuan akhir, Aceh. Berbeda dengan musafir yang tidak memiliki tujuan yang jelas, dia akan berjalan kemana angin menuntunnya.

Inilah yang saya lihat terjadi di BEM UI. Tidak adanya grand issue dan renstra membuat gerakan menjadi reaksioner dan kesiapan pun tidak sempurna. Ketergantungan pada isu terlihat dari perlawanan yang dilakukan berawal dari pemberian gelar kehoratan pada raja Arab. Saya yakin, kalaupun pemberian gelar tersebut tidak pernah ada, BEM UI tidak akan pernah melakukan perlawanan aksi masa.

Tidak Pandai Mengolah isu
Masalah yang saya pikir juga adalah turunan dari ketiadaan grand issue dan renstra adalah ketidak cakapan mengolah isu. Jika sebelumnya saya jelaskan bahwa dengan adanya renstra gerakan dapat tertata dengan rapi, maka yang terjadi sekarang adalah ketiadaan renstra membuat sulitnya mengolah isu. Masih teringat ketika isu #SaveUI silam, dua minggu berturut-turut selalu ada agenda perlawanan yang dilakukan. Bukan hanya mahasiswa tapi juga paguyuban pekerja hingga para dosen senior. Setelah dua minggu itu, kekaburan dan kebingungan jelas terlihat. Layaknya mahasiswa angkatan ‘98 kebingungan, apa yang mesti dilakukan pasca Suharto turun, itulah yang terjadi pada mahasiswa UI ketika itu. Akhirnya, ditelan waktu isu inipun menguap diterik mentari. Sayangnya, setelah beberapa bulan,  terlihat tidak adanya upaya untuk menghidupkan kembali isu ini.

Kaderisasi yang Tidak Berjalan Optimal
Adapun kaitan ketidak beresan tata kelola Universitas yang terjadi khususnya di era kepemimpinan rektor sekarang dengan ketidak siapan mahasiswa untuk melakukan perlawanan adalah kaderisasi yang tidak berjalan optiimal. Memang, regenerasi tetap ada dan akan selalu berjalan tiap tahunnya. Namun, yang perlu diingat adalah, apakah regenerasi itu juga membawa nilai-nilai kaderisasi pada pemimpin selanjutnya? Karena nyatalah kaderisasi dan regenerasi itu amatlah berbeda. Regenerasi adalah sekedar suksesi, sedangkan kaderisasi lebih dalam dari itu. Penanaman nilai-nilai pergerakan, sejarah di masa lampau, dan berbagai soft skill dilakukan dalam proses kaderisasi.

Contoh kecil, apakah mahasiswa-mahasiswa baru itu tahu siapa itu gumilar? dari mana asal dia? dan yang paling penting adalah janji-janji manis gumilar ketika baru saja menjabat sebagai rektor? Ya, hanya segelintir mahasiswa baru yang mengetahui apa itu TriHama. Tiga harapan mahasiswa kepada gumilar ketika dia baru terpilih sebagai rektor kala itu. Pertama, jadikan UI tetap kampus rakyat, kedua tidak memudahkan tiap kegiatan mahasiswa, dan ketiga tidak menaikkan biaya kuliah. Contoh kecil ini menggambarkan kemacetan jalannya kaderisasi. Padahal, melakukan kaderisasi adalah melakukan pekerjaan untuk masa depan. Kaderisasi yang tidak berjalan membuat api semangat gerakan yang diwariskan dari pada senior makin meredup dan pada akhirnya hilang.

Akhir Masa jabatan?
 Ini asumsi saya yang paling frontal dan semoga tidak benar. Jika dalam skala nasional para tokoh sudah gencar melakukan pencitraan menjelang pemilu 2014 dan mengabaikan apa yang seharuusnya mesti mereka kerjakan, maka mejelang akhir masa kepengurusannya para ketua lembaga ini (mungkin) sudah lelah dan membebankan apa yang belum selesai pada masa jabatannya kepada penerusnya tahun depan. Sekali lagi, ini asumsi saya yang paling frontal dan semoga tidak benar.

Namun, memang seharusnya jika garis pergerakan dari satu masa pengurusan ke masa pengurusan lainnya ada sebuah kesinambungan dan tidak terputus sama sekali. Sebagai contoh, perlawanan terhadap liberalisasi pendidikan sudah dilakukan sejak tahun 2000 (ketika kampus beruunah menjadi Badan Usaha). Perlawanan ini berkesinambungan dan pada akhirnya UU BHP sebagai legitimasi badan hukum dalam dunia pendidikan dicabut. Dalam skala UI, artinya ketika masa kepengurusan tahun ini diganti dengan tahun setelahnya, maka wajib hukumnya meneruskan perlawanan terhadap pihak kampus yang sewenang-wenang. Sampai akhir, sampai tuntas.

Tuntaskan!
Akhirnya, genderang perang sudah terlanjur ditabuhkan. Sudah saatnya mahasiswa melawan. Perlawanan ini tentunya juga harus memiliki syarat-syarat agar tidak ‘mati muda’ dan hilang sebelum terbilang. Pertama, grand issue dan renstra wajib dibuat sebagai bekal perlawanan yang bertahap dan tersusun. Kedua, pandai-pandailah dalam mengolah isu. Dan ketiga, untuk jangka panjang perbaikan dalam sistem kaderisasi harus dilakukan.

Tuntaskan! Tuntaskan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar