Jumat, 02 Desember 2011

Perjalanan Hidup Si Mata Nyalang

Nama kecilnya hanyalah Ibrahim, nama Tan Malaka didapat ketika dia dirasa telah dewasa oleh adat daerah tempat ia dilahirkan. Nama lengkapnya ialah Sutan Datuk Ibrahim Tan Malaka. Tan Malaka dilahirkan di daerah Suliki, Minangkabau, Sumatra Barat. Di daerah ini adat Islam masih sangat kental terasa, dan, Tan Malaka hidup ditengah kondisi seperti ini yang sangat mempengaruhi hidupnya hingga akhir hayat. Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim dalam bukunya Kematian Tan Malaka.


Adat Minang sangat dinamis yang menjadikan posisi rantau sebagai simbol dinamisnya kehidupan sangat penting. Rantau adalah tanda seorang anak telah tumbuh dewasa dan telah mampu untuk ‘melihat’ dunia. Selain itu, rantau juga bertujuan untuk memecahkan masalah-masalah yang tidak terpecahkan ketika seseorang masih berada di kampung halamannya. Rantau dijadikan alat untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan diharapkan masalah-masalah yang tidak terpecahkan sebelum merantau akan terpecahkan ketika seseorang kembali dan membawa ilmu dan pengalaman yang dapat membuat seseorang semakin bijak menghadapi masalah.

Dengan latar belakang tersebut, Tan akhirnya memutuskan untuk pergi merantau ke negeri Belanda. Selain untuk merantau, kepergian ke Belanda juga untuk menyelesaikan pendidikan sebagai Hoofde Acte (guru kepala). Semasa di Sekolah Guru Belanda, ia menonjol dalam ilmu pasti sehingga guru-gurunya kerap memberi pujian. Ketika pecahnya Revolusi Rusia (1917), ia menjadi berminat terhadap buah pikiran Marx-Engels, sehingga sering mengikuti pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam. Selain itu, di negeri Belanda ini Tan juga mulai mempelajari filsafat Nietzsche.

Kehidupan politik Tan Malaka dimulai ketika dia gagal dua kali dalam menempuh ujian guru kepala. Tan bertemu dengan tiga serangkai (Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat) yang ketika itu sedang menjalankan hukuman pembuangan. Dengan melihat semangat menggelora plus kecerdasan intelektual dari Tan, tiga serangkai ini memutuskan untuk menjadikan dia sebagai perwakilan dalam National Indische Partij. Otomatis inilah momen pertama Tan mengawali sepak terjangnya di dunia politik.

Karena aktivitasnya yang (dianggap) menggangu keamanan, Tan dipindahkan oleh petinggi Belanda untuk mengurusi bidang pendidikan saja. Tan dikirim kembali ke Indonesia untuk mengajar ‘anak-anak kontrak’ di perkebunan tembakau Sanembah Mij, Sumatera Timur. Namun, seorang revolusioner dimanapun berada tidaklah mampu diberhentikan. Nyatanya, tetap saja di perusahaan ini Tan masih dianggap berbahaya. Pada Februari 1921 Tan dibuang ke pulau Jawa. Di Yogya Tan mulai mengenal tokoh-tokoh pergerakan nasional macam HOS Tjokroaminoto, Semaun, hingga Darsono.

Melihat track record Tan Malaka, Semaun tertarik untuk menjadikan orang yang sewaktu kecilnya gemar mendengarkan musik cello dan bermain bola ini sebagai guru untuk anak-anak anggota Sarekat Islam (SI) Yogyakarta. Pada waktu itu, SI Surabaya dibawah pimpinan Pak Tjokro dan SI Semarang di bawah komando Semaun sedang berada dalam konflik ideologis. Tan Malaka tampil kemuka untuk meredakan konflik tersebut.

Desember 1921, Tan terpilih menjadi ketua PKI menggantikan Semaun yang pergi ke Sovyet, namun hal ini hanya berlangsung sangat singkat. Karena sebuah pidato yang dianggap melecehkan pemerintahan kolonial tahun 1922, Tan dibuang kembali ke negeri Belanda (atas pilihannya sendiri) dan baru kembali ke Indonesia tahun 1942 pada masa pemerintahan militer Jepang. Saat pemerintahan militer Jepang, Tan sama sekali tidak tampil kemuka dan melakukan bergerakan bawah tanah. Menurut Harry A. Poeze, Tan sibuk pada kegiatan di Bayah menjadi seorang mandor Romusha.

Terhitung, telah 89 ribu kilometer atau setara dengan dua kali mengelilingi bumi telah Tan Malaka lalui dalam masa perantauannya. 11 negara telah ia datangi (Indonesia, Belanda, Jerman, Rusia, Filipina, Singapura, Thailand, Cina, Hongkong, Burma, dan Malaysia. Mempunyai 23 nama samaran dalam perantauannya. 13 penjara pernah Tan masuki. Dan ada 8 bahasa yang Tan kuasai (Minang, Indonesia, Belanda, Rusia, Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog)

Menurut autobiografinya, Dari Penjara ke Penjara II (hlm. 159) pada tanggal 15 Agustus s/d 1 Oktober 1945 dia ada di Jakarta, tinggal di rumah Sukarni dan menyamar sebagai Ilyas Husein. Tanggal 9 September 1945, Tan bertemu muka untuk pertama kali dengan Sukarno, saat inilah muncul testamen yang sempat membuahkan kontroversi. Sukarno menjanjikan “kalau saya kehilangan kemampuan bertindak, akan saya serahkan pimpinan revolusi kepada anda”. 1 Oktober 1945 Tan meninggalkan Jakarta, dan tidak pernah kembali hingga ajal menjemput.

Setelah mempelajari situasi dan melihat kesiapan republik menghadapi revolusi, Tan mendirikan Persatuan Perjuangan di Surakarta pada 15-16 Januari 1945. Agenda dari Persatuan Perjuangan ini adalah mendesak pemerintah -yang ketika itu perdana menterinya Sutan Sjahrir- untuk melaksanakan minimun program yang terdiri dari 7 pasal.

Dalam hal berpolitik, Tan Malaka adalah salah seorang penganut paham kemerdekaan 100% (yang se-visi, diantaranya oleh Jendral Sudirman) dan samasekali tidak menyetujui apapun bentuk politik diplomasi. Padahal, ketika itu pemegang pucuk pemerintahan adalah orang-orang yang mengetengahkan politik diplomasi ketimbang perang terbuka. Praktis, Tan melawan empat singa sekaligus: Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Amir. 3 nama yang disebutkan pertama adalah penganut paham diplomasi, sedangkan Amir (selain juga diplomasi) adalah musuh Tan semenjak pecahnya perjanjian Prambanan yang membuat Tan dicap pemberontak oleh PKI hingga Komitern.

Tanggal 17 Maret, Tan bersama 46 tokoh Persatuan Perjuangan ditangkap pemerintahan Amir-Sjahrir. Menurut Moh. Yamin, penangkapan tersebut karena Persatuan Perjuangan dianggap sangat radikal dan dianggap kaum ekstrim.

Tan baru keluar penjara pada 16 September 1948. Setelah keluar, Tan diminta rehat sejenak dari percaturan politik karena alasan keamanan oleh Laskar Jawa Barat. Namun, karena desakan berbagai pihak pula, Tan kembali ‘bermain’ dalam panggung politik dan mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Keluarnya Tan dan pendirian partai Murba ini membuat petinggi Republik merasa terancam. Di tengah kondisi dalam negeri yang masih semrawut, ingatan rakyat teringat kembali pada sosok satu ini. Tan untuk pertama kalinya berpidato di depan corong RRI setelah ditahan dan menyerukan rakyat semesta untuk tidak mempercayai semua bentuk perundingan/diplomasi. Sontak pidato Tan di RRI itu membuat dirinya dicap sebagai perebut kekuasaan oleh para oposisinya.

Tindakan tegas mulai dilakukan untuk membendung pergerakan Tan Malaka. 1 Desember 1948 Hatta memberangus koran partai Murba di Solo dan menghentikan izin mengudara radio Partai Murba. 15 Desember 1948, Nasution atas komando dari Hatta mulai melucuti senjata kelompok militer yang loyal terhadap Tan (kelompok militer non-reguler yang dibentuk atas inisiatif rakyat).

Menurut Sekretariat Urusan Agitasi-Propaganda Dewan Partai Murba tanggal 19 Februari 1957, pasukan Tan ditipu habis-habisan. Berita dari tentara resmi, Belanda akan menyerang besar-besaran ke daerah Mrican dan Glogol, sontak mendengar berita itu tentara non-reguler yang berada di sekeliling Tan langsung berangkat sebanyak 3 batalyon, otomatis mereka meninggalkan Tan dan satu batalyon tentara dengan sedikit senjata. Yang terjadi adalah, mereka yang bertahan di tempat malah dilucuti oleh tentara resmi dan disekap dalam sebuah rumah dekat sungai Brantas.

Menurut Djamaluddin Tamim, Tan ditembak mati pada 19 Februari 1949 di pinggir sungai Brantas, desa Mojo, 10 KM selatan kota Kediri oleh dan atas perintah Letkol Surachmat (Kepala Staf) dan Kolonel Sungkono (Panglima dan Gubernur Jawa Timur). Lebih jauh, dia menjelaskan bahwa Mohammad Hatta-lah yang mengatur insiden berdarah ini. Mudahnya seperti ini: Pemerintah Sukarno-Hatta mengintruksikan Nasution melucuti senjata Tan - Nasution memerintahkan otoritas Jatim, kolonel Sungkono untuk membereskan Tan Malaka - Sungkono menunjuk Letkol Surachman sebagai pengeksekusi - Acara pun selesai dengan terbuangnya nafas Tan Malaka. Pernyataan Tamin ini dibenarkan juga oleh Manuel Kaisepo dan Leslie Palmer.


Beberapa Karya
Tan Malaka adalah seorang pemikir besar. Bahkan Tan Malaka telah menggagas sebuah pemikiran tentang bentuk negara republik jauh sebelum tokoh nasional lain sempat memikirkannya. Hal ini tertuang dalam buah pikirnya Naar de Republiek Indonesia (1924). Selain itu, tercatat ada 26 karya yang menjadi buah pikir Tan Malaka, diantaranya Dari Penjara ke Penjara (yang terdiri dari 3 jilid), Massa Aksi (1926), Gerpolek (1948), hingga karya terbesarnya Madilog (1943).

Madilog: Warisan Terbesar
Di desa Rawaajati, daerah Kalibata, Jakarta, dalam sepetak ruang seluas 15 meter persegi terciptalah sebuah mahakarya peninggalan Tan Malaka yang dibuat ketika Tan dalam persembunyian dari Kempetai atau polisi rahasia Jepang yang sangat mahsyur dan orisinil, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).

Mahakarya yang diciptakan sejak 15 Juli 1942 dan rampung pada 30 Maret 1943 atau selama delapan bulan dengan rata rata penulisan tiga jam setiap hari ini menurut sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, merupakan bentuk pikiran yang telah mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.

Tidak seperti buku lainnya, Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama seluruhnya dituliskan berdasarkan ingatannya. “Tan ingin menunjukkan kesan bahwa Madilog sepenuhnya buah pemikirannya” kata Poeze. Istilah Madilog sendiri merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Inti dari Madilog adalah penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis.

Tan membawa naskah Madilog ke Bayah, Banten Selatan ketika dia menyamar menjadi seorang romusha. Madilog juga dibawanya berpetualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru memperkenalkan Madilog setelah tiga tahun kemunculannya. Tan menulis “Kepada mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak, berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya”

Buku ini menguraikan tiga hal yang menjadi pokok persoalan, yaitu tentang Materialisme, Dialektika, dan Logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Sebaliknya, dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celcius.

Dalam pandangan Marx-Engels, bukan ide yang menetukan keadaan masyarakat dan kedudukan seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang menentukan ide. Dengan pemikiran ini jelaslah mengapa Tan mencoba merekonstruksi keadaan masyarakat agar tidak lagi terjerat akan ide-ide mitos yang sangat tidak memberikan perkembangan kearah sintesisnya. Salah satu caranya tentunya membuat Madilog ini sendiri dan merevolusionerkan rakyat Murba (atau dalam termilogi Marx disebut kaum Proletar dan Sukarno menyebutnya kaum Marhaen).

Tan menginginkan Madilog sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel. Sebuah pemikiran hasil Barat yang mencoba mengikis nilai-nilai feodalisme, mental budak, dan kultur tahayul yang diidap rakyat Indonesia ketika itu. Namun, selain dari pemikiran Barat sendiri, Madilog adalah sebuah sintesa dari seseorang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini terlihat dari pemikiran Madilog yang mencoba ‘membumi’ dengan alam Indonesia.

Madilog lahir melalui sintesa antara dua kutub filsafat yang sangat bertentangan yaitu aliran Hegel dan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektis (thesa, antitesa, dan sintesa) dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui perkembangan dinamis. Hegel berpendapat bahwa bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak, pemikiran lebih penting daripada materi.

Sementara itu, bagi Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah materi melalui revolusi perpindahan kelas mayoritas menjadi kelas yang sesungguhnya, yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi, materi menurut Marx-Engels lebih penting daripada ide atau pemikiran. Nah, melalui Madilog inilah Tan mencoba mensintetiskan kedua pemikiran ini untuk mengubah budaya masyarakat yang berlandaskan mitos menjadi masyarakat yang berdasarkan sains –sebuah beban dari alam pemikiran mistis-. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus dirubah, logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi sehingga tercipta susunan masyarakat baru berlandaskan Madilog. Sebuah masyarakat baru yang terbebas dari mitos-mitos kuno.

Sebagai sintesa hasil perantauannya, madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan malaka. Ia bukan dogma yang biasa ditelan begitu saja. Menurut dia, justru kaum dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum yang bermental budak/pasif yang sebenarnya. Disinilah filsafat Idealisme dan Materialisme ala barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka.

Lembar demi lebar ditulisnya di dalam suasana kemiskinan, menjadi buron, penderitaan, dan kesepian yang begitu ekstrim. Namun, Madilog-lah yang menjadi puncak kualitas orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dalam Haarlem, Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rajawati (1943).

DAFTAR PUSTAKA
Hery, Yunior Hafidh. 2007. Tan Malaka Dibunuh!: Meneropong Krisis Politik 1945- 1949.Yogyakarta: Resist Book

“Macan dari Lembah Suliki”. [Artikel]. Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2008, h. 77

“Naskah dari Rawajati”. [Artikel]. Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2008, h. 50


Tidak ada komentar:

Posting Komentar