Keberadaan
buruh sebagai hasil dari sistem kapitalistik yang dianggap oleh golongan kiri
merupakan agen penghancur dari sistem kapitalisme itu sendiri dewasa ini
semakin meningkat ke arah yang semakin tinggi tingkat kesadaran dan
militansinya. Berdasarkan uraian historis, kelas buruh menunjukkan beberapa
kemenangan besar yang pernah dicatat (tentu disamping kekalahan-kekalahan yang
juga tidak kalah banyaknya). Kemenangan tersebut diantaranya dicatat dalam peristiwa
Komune Paris hingga perjuangan pengurangan jam kerja. Untuk kemenangan yang
disebutkan terakhir (pengurangan jam kerja), perjuangan buruh patut diberikan
apresiasi karena penncapaian ini merupakan hasil rentetan panjang perjuangan
kelas selama ratusan tahun. Keberhasilan kaum buruh dalam mengurangi jam kerja
hingga 8 jam (yang buruh saat ini nikmati) menjadi momentum dan kemudian
diperingati sebagai peritiwa Mayday.
Kapitalisme
yang lahir berbarengan dengan revolusi industri, abad ke-18, menghasilkan suatu
sistem penindasan dimana keuntungan yang didapat kaum kapitalis berasal dari
nilai lebih yang dihasilkan buruh. Penindasan yang dilakukan kaum kapitalis
saat itu bukanlah masalah moral maupun humanisme. Penindasan yang dilakukan
kapitalis terhadap buruh merupakan konsekuensi logis sistem kapitalistik yang
menghendaki perputaran modal dengan terus bersaing antar satu kapitalis dengan
kapitalis lain. Agar barang yang dihasilkan kapitalis laku/terjual dipasar,
tentu barang tersebut harus semurah mungkin. Dengan tesis tersebut, maka
kapitalis mau tidak mau untuk memperkecil upah bagi para buruh ataupun
memperpanjang jam kerja mereka. Maka, tercatat dalam sejarah, penindasan
kapitalis terhadap buruh pada awal mula sistem ini ada di muka bumi ditandai dengan
upah yang murah, kondisi pemukiman, sandang dan pangan yang buruk, serta jam
kerja yang tidak manusiawi (uraian tentang kondisi kelas pekerja di Inggris,
sebagai negara asal revolusi industri, dapat dibaca lebih lanjut dalam laporan
Friedrich Engels, The Condition of
Working Class in England).
Adalah Karx
Marx yang membuat beberapa karya monumental, terutama karya yang terkait dengan
kritiknya terhadap sistem kapitalistik seperti Manifesto Komunis maupun Kapital
yang membuat kesadaran buruh meningkat dan melakukan perlawanan terhadap
kapitalis. Perjuangan ini terus dilakukan buruh sedunia sampai pada tahun 1886
buruh menemui kemenangan dengan memaksa kapitalis untuk mengurangi jam kerja
hingga 8 jam dari sebelumnya buruh bekerja sampai 12-16 jam sehari. Aksi-aksi
ini terutama terjadi di Chicago. Momentum inilah yang kemudian diperingati
buruh sedunia sebagai Mayday.
Di Indonesia,
peringatan Mayday pertama kali dilakukan pada tahun 1920, ini tercatat sebagai
peringatan Mayday pertama yang dilakukan oleh buruh di Asia. Bahkan, pemerintah
Sukarno dengan UU Kerja No 12 tahun 1948 dalam pasal 15 ayat 2 menyebutkan
“pada hari 1 Mei buruh dibebaskan dari kewajiban kerja”. Orde baru kemudian
melarang peringatan Mayday karena dianggap sebagai gerakan yang subversif dan
mengganggu ketertiban umum, bahkan seringkali diidentikkan dengan komunis.
Namun, pada tanggal 1 Mei 1994 Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI)
merayakan aksi Mayday pertama kali dalam sejarah orde baru, aksi dilakukan di
Medan. Satu tahun berselang, aksi Mayday kembali dilakukan oleh Pusat
Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) bersama Serikat Mahasiswa Indonesia untuk
Demokrasi (SMID) pada tahun berikutnya. Aksi saat itu ditujukan kepada kantor
Departemen Tenaga Kerja dan Kantor Gubernur Jawa Tengah sebagai simbol dari
kekuasaan. Pasca orde baru jatuh dan kebebasan berserikat dan mengeluarkan
pendapat secara penuh kita nikmati, gerakan buruh semakin bebas dalam melakukan
konsolidasi dan gerakan. Tidak pernah luput setiap tanggal 1 Mei para buruh turun
ke jalan dengan tuntutan memberbaiki kehidupan mereka (jaminan sosial, hapus
outsourcing, tolak upah murah) maupun tuntutan yang lebih ideologis seperti
hancurkan kapitalisme dan sebagainya.
Mahasiswa adalah Calon Buruh
Lantas,
apakah hubungan antara Mayday dan mahasiswa? Dalam tulisan ini penulis mencoba memberikan
pandangan terkait sistem kapitalistik yang ada saat ini beserta buruh sebagai
komponen pembentuknya, dengan mahasiswa sebagai salah satu bagian dari
masyarakat dimana sistem kapitalistik itu berdiri. Tesis dari hal ini adalah
mahasiswa pun merupakan bagian tidak langsung dari sistem produksi kapitalisme,
dimana sistem kapitalisme saat ini membuat institusi pendidikan yang ada tidak
lain sebagai salah satu bagian dari pelanggeng sistem.
Menurut Marx,
kapitalisme seharusnya runtuh akibat kontradiksi yang ada di dalam tubuhnya
sendiri. Maksudnya adalah, sistem kapitalisme menghasilkan anarkisme pasar (hal
ini berangkat dari tesis bahwa teori keseimbangan yang dihasilkan dari sistem
penawaran dan permintaan tidak berlaku) yang membuat krisis berkala,
pengkonsentrasian kapital kepada segelintir orang dan menghasilkan
proletariatisasi, hal ini pada akhirnya menghasilkan revolusi kelas dan
menghasilkan tatanan baru. Namun, setelah beberapa abad kapitalisme ada di muka
bumi, kontradiksi yang dimaksud tidak terjadi, malah timbul kecenderungan
kapitalisme tetap resisten dari perubahan. Hal ini tentu menjadi misteri bagi
kalangan marxian. Adalah Gramsci yang menjawab mengapa hal ini bisa terjadi
melalui teori hegemoninya. Kapitalisme terus bertahan tidak lain karena
kesadaran kaum buruh telah dikonstruksi sedemikian rupa sehingga buruh
menganggap tatanan yang ada saat ini adalah sesuatu yang alami. Althusser
menambahkan teori ini dengan ideological
state aparatus dan represif state
aparatus-nya. Represif state aparatus
adalah institusi kekerasan yang dibuat untuk melanggengkan kapitalisme,
sedangkan ideological state aparatus
adalah seperangkat sistem yang juga ditujukan untuk membuat kesadaran palsu
massa. Yang termasuk dalam kategori ini diantaranya media massa dan institusi
pendidikan.
Melalui
institusi pendidikan, kapitalis yang telah berselingkuh dengan negara membuat
seperangkan kurikulum yang tujuannya mengilusi student dengan ‘kebenaran’ dari kapitalisme. Bahwa kapitalisme
adalah sejarah terakhir umat manusia, ia adalah kebenaran, tidak ada lagi
setelahnya. Begitu kira kira idiom yang diberikan. Selain dari kurikulum,
institusi pendidikan pun dibuat bukan lagi sebagai sarana reproduksi
intelektual dan ilmu, melainkan sebagai sarana untuk mencetak buruh murah dan
siap pakai. Dewasa ini, hal tersebut secara nyata ada dalam seperangkat aturan
yang dikenal sebagai UU Pendidikan Tinggi yang berefek pada pendidikan yang
semakin mahal dan sulit dijangkau oleh semua golongan. Hal ini juga ditambah
dengan semakin laku dan berjamurnya bidang studi yang sifatnya praxis dan
berdampak langsung terhadap langgengnya sistem kapitalisme. Sering pula kita
mendengar ucapan dosen yang mengatakan “nanti kalau kalian kerja…bla..bla”
semakin mengukuhkan bahwa mahasiswa adalah kelas calon-calon buruh. Hal ini
juga jelas dalam pernyataan salah satu inisiator UU Pendidikan Tinggi, Joko
Santoso, dalam sidang JR UU Pendidikan Tinggi beberapa hari lalu, bahwa
“institusi pendidikan dan mahasiswa yang berada di dalamnya disiapkan untuk
memenuhi kebutuhan industri nasional”. Ini bukan berarti bahwa saya anti
terhadap kerja, bahkan saya sepakat bahwa kerja adalah sarana aktualisasi diri
manusia. Namun kerja yang dimaksud tentu bukanlah orientasi utama dalam
institusi pendidikan dan reproduksi ilmu dinomorsekiankan.
Apakah kita
sepakat bahwa mahasiswa adalah calon buruh? Saya, ya. Terlepas dari kenyataan
bahwa beberapa mahasiswa bercita-cita menjadi wiraswasta/borjuis kecil,
kenyataan yang kita lihat saat ini adalah banyak para lulusan yang
berbondong-bondong memasuki dunia kerja. Yang beruntung akan mendapat kerja
cepat setelah mereka lulus, ada yang menunggu agak lama, dsb. Tentu kita tidak
bisa menafikkan kenyataan tersebut. Salah besar jika masyarakat umum menganggap
mahasiswa adalah kelas borjuasi, karena dalam struktur kapitalisme, term
borjuasi merujuk pada mereka yang memiliki kapital sebagai sarana akumulasi
modal. Disatu sisi, mahasiswa pun bukan (belum) lah buruh/proletar karena
mereka belum memberikan tenaga mereka kepada kapitalis sebagai salah satu
faktor produksi secara langsung. Maka, yang paling tepat, mahasiswa, merujuk
pada definisi Suryadi Radjab (1991) adalah masyarakat pra-kelas. Apa yang
mahasiswa lakukan saat ini adalah bagaimana mereka memposisikan diri mereka
akan menjadi bagian yang mana setelah mereka lulus. Maka, jika ada mahasiswa
yang berlagak layaknya borjuasi, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang
tersesat.
Memang, dalam
kenyataanya mahasiswa setelah lulus akan menjadi buruh yang ‘agak berbeda’
dengan buruh-buruh pabrik. Mahasiswa akan menjadi ‘buruh berdasi’ yang tentu
mendapat beberapa keistimewaan karena mereka menempuh pendidikan tinggi
sebelumnya. Namun substansi dari hal ini adalah sama. Selama mereka bekerja
kepada orang lain dan mendapat upah atas kerjanya dan hal ini dilakukan sebagai
sarana akumulasi kapital bagi para boss, mereka adalah buruh.
Bergerak Bersama
Lantas,
berangkat dari realitas tersebut, bagaimanakah posisi mahasiswa seharusnya
dalam menanggapi gerakan buruh yang ada saat ini. Bagi penulis, mahasiswa
bukanlah entitas/kelas tersendiri dalam struktur masyarakat. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, mahasiswa adalah masyarakat pra-kelas, apa-apa yang
mereka lakukan dalam kondisi mereka saat itu mencerminkan apa cita-cita mereka
kelak. Dan ketika sistem pendidikan yang ada saat ini membuat mahasiswa menjadi
calon-calon buruh, maka seyogyanya perilaku mahasiswa mencerminkan hal
tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi gerakan mahasiswa yang saat ini
cenderung independen. Independen dalam hal ini artinya berdiri di atas menara
gading dan melakukan gerakan konyol
dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai ‘penyambung lidah rakyat’
tanpa tau rakyat mana yang dimaksud. Pun dengan labelisasi seperti ‘agent of
change’ ‘moral force’ ‘iron stock’ dsb semakin membuat gerakan mahasiswa hidup
dalam mitos-mitos. Di sini independensi harus dipahami sebagai independen dari
kelas dominan, kelas penguasa, bukan independen dari gerakan rakyat yang lain,
termasuk gerakan buruh.
Dalam
peringatan Mayday tahun ini, mahasiswa harusnya mengambil momentum dengan
bergabung, atau minimal mendukung, gerakan buruh menuntut perubahan. Sekali
lagi, hal ini merupakan konsekuensi bahwa kita adalah calon buruh dalam sistem
pendidikan yang kapitalistik dan sebagai refleksi gerakan mahasiswa yang
sejatinya tidak bebas nilai dan harus memilih kemana harus mencondongkan diri.
Tentu, momentum ini tentu bukan hanya aktivisme mahasiswa dan gerakan buruh,
namun gerakan rakyat secara keseluruhan. Karena mahasiswa bukanlah kelas
tersendiri di masyarakat, mereka adalah bagian dari masyarakat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar