Tugas gerakan mahasiswa saat ini adalah mendefinisikan ulang diri mereka
sendiri dan posisi mereka dalam relasi antar masyarakat. Hal ini menjadi
penting mengingat gerakan mahasiswa
semakin kehilangan esensinya dalam iklim demokrasi liberal seperti saat ini. Proses
pendefinisian ulang inipun termasuk membongkar mitos-mitos yang telah berakar dalam
diri mahasiswa itu sendiri. Penyambung lidah rakyat, agen perubahan, pemimpin
masa depan, atas nama rakyat, serta berbagai macam jargon-jargon yang telah
kita terima bahkan ketika baru menginjakkan kaki di kampus adalah hal-hal yang
patut dikritisi bersama. Bagi penulis, tujuan akhir dari proses pendefinisian ulang ini adalah kesadaran
kolektif mahasiswa dalam relasi antarmasyarakat dan bagaimana melakukan gerakan
dalam kesadaran kolektif yang telah didefinisikan ulang tersebut.
Mitos yang menjadi titik tolak dari pembahasan ini adalah posisi
kita dalam struktur masyarakat. Mahasiswa selalu berteriak lantang bahwa apa
yang dilakukannya, entah itu demonstrasi atau proses advokasi lain, adalah “atas
nama rakyat”. Pertanyaan besarnya mengapa bisa muncul slogan atas nama rakyat itu yang berarti mengamini bahwa kita memang
kelas tersendiri dari masyarakat umum. Hal ini bisa dianalisis dari
uraian-uraian sejarah yang dibaca secara kritis.
Uraian sejarah selalu mengatakan bahwa motor penggerak perubahan adalah
pemuda, hal ini disimbolkan dalam simbol-simbol angka seperti angkatan ’08 angkatan
’28 dst. Proses konstruksi sejarah yang seperti ini terus dilanggengkan di era
pemerintahan Sukarno dengan maksud membentuk ‘karakter bangsa’. Doktrin seperti
ini lah yang kemudian menjadi kesadaran kolektif bagi angkatan ’66 yang dikenal
sebagai angkatan yang menumbangkan otoritarian Sukarno. Selain sejarah dimasa
lalu, satu faktor lagi yang membuat kesadaran subjektif mahasiswa di
negara-negara dunia ketiga adalah gaung
gerakan mahasiswa internasional yang secara general bergerak untuk menumbangkan
rezim otoriter juga.
Selanjutnya seperti sebagaimana kita ketahui gerakan mahasiswa kembali
menantang rezim Suharto yang kemudian memang turun dari jabatannya secara
paksa. Meskipun di sini tersedia ruang debat yang luas untuk mempertanyakan
seberapa signifikan gerakan-gerakan saat itu, tapi toh gerakan ‘98 pun merupakan
gerakan yang dilakukan ‘atas nama rakyat’ dan tidak ada yang memproblematisasinya.
Ada satu hal yang harus kita sadari dari catatan-catatan sejarah tersebut.
‘Atas nama rakyat’ bukanlah slogan berasal dari kesadaran rakyat keseluruhan
yang memang merasa terwakili oleh golongan ini kemudian mahasiswa
meng-amini-nya, namun hal ini merupakan hasil konstruksi/doktrinasi dari orde
baru. Atau dengan kata lain negara orde baru lah yang kemudian menciptakan panggung
bagi gerakan mahasiswa. Mengapa orde baru melakukan hal ini?
Proses transisi rezim yang terjadi dengan cara kudeta mau tidak mau membutuhkan
semacam alat legitimasi. Maka kemudian muncullah mahasiswa-mahasiswa di jalanan
dengan Tritura-nya. Penulis tidak ingin berkata bahwa mahasiswa digerakkan,
atau minimal dimanfaatkan oleh militer yang kemudian memfatwa bahwa proses
pergantian rezim diingini oleh massa rakyat (yang diwakili mahasiswa). Kemudian
setelah rezim jatuh para mahasiswa mendeklarasikan perjuangan di jalanan telah
berakhir dan harus dilanjutkan di jalan lain, termasuk membangun orde baru yang
telah mereka buat pondasinya.
Mitologisasi tentang gerakan mahasiswa terus dilanjutkan oleh orba dengan
terus memberikan panggung bagi mereka dan mengizinkan gerakan mahasiswa ‘tampil’
dengan juga terus-menerus mengatasnamakan rakyat. Hal ini diperkuat dengan
ditampilkannya mahasiswa sebagai agen modernisasi dan pembangunan disamping
militer dan juga teknokrat. Dengan menyediakan panggung bagi gerakan mahasiswa
dan sama sekali tidak menyediakan panggung bagi gerakan rakyat lain setidaknya orde
baru menghasilkan dua hal. Pertama, negara orde baru dalam kacamata dunia internasional
akan dianggap sebagai negara demokratis (meskipun kenyataannya tidak sama
sekali) dengan bukti mereka memiliki ‘semi oposisi’ yaitu mahasiswa. Kedua,
dengan diizinkannya mahasiswa ‘tampil’ maka mitos ‘atas nama rakyat’ semakin
menemukan bentuk dan pembenarannya.
Setelah reformasi dan keran demokrasi dibuka selebar-lebarnya, maka
menjadi keniscayaan pula bahwa mitos ini harusnya hilang dengan sendirinya. Namun
kenyataannya tidak begitu. Mitos-mitos ini terus ada/dilanggengkan/dibiarkan,
bahkan saat kita baru menginjakkan kaki di kampus mitos-mitos inilah yang
pertama kali kita dengar. Bagi penulis, hal ini sengaja dilakukan oleh
orang-orang yang berkepentingan untuk melemahkan gerakan mahasiswa itu sendiri.
Maksudnya adalah, ketika mitos-mitos ini yang terlebih dahulu masuk ke kepala
kita (sebagaimana teori gelas kosong dimana apapun yang pertama kali dimasukkan
akan menjadi identitas mereka seterusnya) maka mahasiswa akan menemuka
kesenjangan yang luar biasa antara teori dan praktik yang dalam kenyatannya
mahasiswa semakin tercerabut dari basis masyarakat. Namun bukan melakukan refleksi
dan konstruksi ulang atasnya, mahasiswa cenderung akan menjadi apatis. Hal ini
tentu ditambah dengan beban akademis yang semakin berat yang membuat mahasiswa
semakin terasing, bahkan dengan dirinya sendiri.
Setelah menyadari hal ini, maka tugas konstruksi ulang posisi mahasiswa di
dalam relasi sosial masyarakat akan menjadi lebih jelas. Kita bukan lagi ‘aktor
tunggal’ dalam panggung yang disediakan negara, kita adalah bagian dari ‘aktor-aktor
lain’ yang juga berada di panggung yang sama. Pertanyaannya kemudian adalah
bagaimana menempatkan mahasiswa dan relasinya dengan ‘aktor-aktor lain’ seperti
gerakan buruh, tani dan gerakan rakyat lainnya. Apakah kemudian ‘aktor-aktor’
ini bergerak sendiri-sendiri dan menghasilkan ‘pementasan’ yang buruk dan tidak
terarah, atau bergabung bersama ‘aktor’ lainnya.
Satu-satunya cara untuk keluar dari mitologi ini adalah memeriksa kembali
posisi mahasiswa. Menurut Suryadi (1991) ketidakjelasan posisi mahasiswa
dikarenakan oleh struktur kelasnya yang memang tidak jelas. Mahasiswa tidak
secara langsung berhubungan dengan produksi namun (karena sistem pendidikan
yang neoliberalis) mereka juga ada
dilembaga yang mereproduksi kapitalisme, maka dia bukanlah kelas borjuis maupun
kelas proletar, atau lebih tepatnya mahasiswa adalah pra-kelas dalam struktur
masyarakat. Maka, pilihannya menjadi
dua, menjadi intelektual tradisional yang asyik dengan dunianya sendiri namun
tetap terus ‘atas nama rakyat’, ataukah melakukan bunuh diri kelas dengan menjadi
intelektual organik yang bergabung bersama rakyat dan melakukan
pengorganisiran-pengorganisiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar