Sejarah seluruh umat
manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Kalimat singkat dan padat yang
terdapat di pembukaan Manifesto Komunis ini bisa dibilang merupakan intisari
dari tesis Marx tentang masyarakat. Tesis ini menegaskan bahwa masyarakat
sebenarnya adalah kelas-kelas yang saling bertentangan dan tidak terdamaikan.
Masyarakat terdiri dari kelas yang berkuasa-yang dikuasai; menindas-tertindas;
dst. Melihat dari fakta sejarah, terutama sejarah perkembangan masyarakat
Eropa, maka tesis ini menemukan pembuktiannya. Di zaman romawi kuno, kita
mengenal kelas-kelas dalam masyarakat seperti bangsawan, ksatria, rakyat biasa
dan budak. Di era abad pertengahan, masyarakat Eropa terbagi dalam kelas
feodal, petani dan borjuasi. Begitu pula di era saat ini, di era kapitalisme kelas
yang tidak terdamaikan dan saling bertentangan terlihat sangat jelas: borjuasi
dan proletar.
Perjuangan kelas dan transformasi
masyarakat ini terjadi ketika kekuatan produktif tidak mampu lagi ditampung
oleh organisasi sosial yang ada, bahkan menjadi penghambat. Contohnya, di alam
feodalisme dimana kepemilikan tanah dan hamba tani sebagai coraknya, sudah
tidak lagi sesuai dengan perkembangan kekuatan produktif dari kelas borjuasi
seperti penggunaan mata uang dan transaksi dagang yang semakin menyeluruh, maka
corak feodalisme pun akan tergantikan dengan sistem kapitalisme, dimana sistem
ini lebih sesuai dengan kekuatan produktif yang disebut demikian. Lebih jauh,
menurut Marx dalam Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap
Ekonomi Politik (1959),
“Tidak ada tata
sosial pernah lenyap sebelum semua kekuatan produktif yang bisa ditampungnya
telah berkembang semuanya dan hubungan-hubungan produksi baru yang lebih tinggi
tidak akan pernah timbul sebelum kondisi-kondisi materiel bagi eksistensinya
telah matang di dalam kandungan masyarakat lama”
Apa konsekuensi dari ini?
Konsekuensinya adalah bahwa kita mengerti di dalam sebuah sistem terkandung
antagonisme dari sistem itu sendiri, yang suatu saat akan menggantikan sistem
itu ketaraf yang lebih tinggi dari sebelumnya. Jika dalam sistem feodalisme
kelas borjuasilah kaum revolusionernya, bagaimana dengan sistem kapitalisme
saat ini? Siapakah ‘kelas revolusioner’nya? Kira-kira ihwal itulah yang akan
coba dijawab dalam esai ini..
Apa itu Kapitalisme?
Kapitalisme tumbuh
ketika tatanan lama –feodalisme, runtuh. Orde ini ditandai dengan, diantaranya,
meluasnya penggunaan uang sebagai alat tukar, tumbuhnya pasar, perbankan,
kredit, hingga ilmu pengetahuan yang berkembang pesat. Adalah Marx dan Engels,
menurut Eric Hobsbawn (1997), yang pertama kali menggunakan istilah kapitalisme
ini setelah sebelumnya ilmuan-ilmuan lain macam Adam Smith menamainya merchant-society atau Hegel dengan civil-society memaknai tatanan
masyarakat yang baru ini. Meskipun orde yang baru ini dicirikan oleh banyak
hal, tetapi menurut tafsir Howard dan King (1985) tentang definisi kapitalisme
dari Marx, kapitalisme dapat dilihat dari empat ciri utamanya: pertama, kapitalisme
dicirikan oleh produksi komoditi (production
of commodities); kedua, adanya kerja-upahan (wage-labour); ketiga, kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas
(acquisitiveness); dan keempat,
kapitalisme dicirikan oleh organisasi yang rasional.
Produksi komoditas
sebenarnya bukan khas dari kapitalisme, namun kapitalisme hanyalah salah satu
bentuk khusus dari produksi komoditi. Yang membedakannya dari sistem lain lain
adalah kapitalisme menempatkan pasar sebagai dominan. Peran pasar adalah
sebagai tempat bertukarnya komoditi dari sebuah aktivitas ekonomi oleh
agen-agen yang independen. Namun, ciri pertama ini belum cukup untuk
menggambarkan kapitalisme, ciri pertama selalu berkaitan dengan ciri kedua,
yaitu karekter kerja-upahan. kapitalisme menempatkan pekerja/buruh hanya
sebagai salah satu faktor produksi disamping mesin dan bahan mentah. Hal ini
terjadi karena kapitalisme mensyaratkan terkonsentrasinya faktor produksi
ditangan segelintir orang. Akibatnya, orang yang tidak memiliki faktor produksi
hanya mampu mengandalkan tenaganya saja untuk bertahan hidup. Tenaga kerja
inilah yang nantinya akan dijual di pasar kepada para kapitalis. Inilah
pengertian kebebasan dalam konteks saat itu, si buruh bebas untuk menjual
tenaga kerjanya kepada kapitalis manampun yang ia suka –yang membayar paling
tinggi, dan si kapitalis pun bebas untuk mempekerjakan si buruh, atau tidak.
Lebih dalam mengenai hubungan
kerja-upahan, ternyata di titik inilah kita bisa memulai bagaimana melihat
sistem kapitalisme sebagai sistem yang eksploitatif terhadap buruh. Sebagaimana
dijelaskan, bahwa komoditas yang siap dijual ke pasar merupakan hasil kerja
dari buruh. Di dalam komoditas tersebut terdapat suatu nilai baru yang hanya
mampu diciptakan buruh dari faktor-faktor produksi yang lain (mesin dan bahan
mentah), nilai baru inilah yang dirampas dari buruh ke tangan kapitalis sebagai
keuntungan bagi mereka. Sebagai gantinya, si buruh, akibat dari kontrak kerja
yang disepakati oleh mereka (yang tentu tidak dalam derajat yang setara) hanya
mendapat upah yang “cukup agar si buruh di keesokan harinya masih mampu untuk
pergi ke pabrik dan mengulang proses yang sama dan melakukan reproduksi
calon-calon buruh baru”. Hal ini penting mengingat di dalam sistem ini pun para
kapitalis saling bersaing untuk memperebutkan pasar. Tentu, komoditas dengan
harga termurahlah yang akan laku di pasaran.
Dalam cirinya yang
ketiga, yaitu kehendak untuk menumpuk kekayaan tanpa batas atau akumulasi
kapital tanpa henti, ini merupakan motivasi utama dari kapitalis. Marx dalam
Kapital I Chapter IV menjelaskan bahwa,
“Ekspansi nilai
….menjadi tujuan subyektif seorang kapitalis, dan motif utama ini hanya berlaku
sejauh ia memperoleh lebih dan lebih banyak lagi kekayaan dalam fungsinya
sebagai seorang kapitalis…. Nilai-guna, dengan demikian, tidak bisa dilihat
sebagai tujuan utama seorang kapitalis.”
Ciri ketiga ini
secara sederhana dirumuskan dalam U-K-U’ (U=uang dan K=Komoditas) dimana
kapitalis memulainya dengan membelanjakan uang yang dia miliki menjadi
komoditas, atau sampai pada tahap ini disebut dengan kapital pendahuluan.
Pemroduksian komoditas ini, dalam didtem kapitalisme, bukan untuk dinikmati
nilai pakainya, namun agar mampu dijual lagi dengan harga yang lebih mahal.
Proses ini terjadi terus menerus sampai terjadinya kelebihan produksi/krisis. Komentar
Marx,
“Kebutuhan untuk
senantiasa memperluas pasar bagi barang-barang yang diproduksinya, merupakan
dorongan di kalangan kaum borjuasi untuk merengkuh seluruh muka bumi dengan
barang-barangnya. Ia harus berada di mana-mana, bertempat di mana-mana, dan
menjalin hubungan di mana-mana”
Yang harus menjadi
catatan, dalam poin ini tidaklah relevan untuk melihat kapitalisme dari sisi
moral. Kehendak untuk menumpuk kekayaan/akumulasi kapital tanpa batas merupakan
konsekuensi logis dari persaingan antar kapitalis. Karenanya, sistem
kapitalisme, dengan persaingan bebas yang mereka tuhankan, sebenarnya
mengandung kontradiksi di dalam dirinya sendiri, yaitu tersingkirkannya
kapitalis yang kalah dalam persaingan dan terjadinya prolerariatisasi. Bumi
hanya tinggal menyisakan dua kelas, kapitalis yang semakin sedikit namun
kapitalnya makin terkonsentrasi, dan buruh yang makin banyak dan sadar akan
tugas sejarahnya. Disinilah kita telah mencium bau revolusi ala Marx.
Ciri terakhir dari
kapitalisme adalah kebutuhan sebuah organisasi secara rasional. Kapitalisme
membutuhkan kondisi-kondisi tertentu yang digunakan untuk memastikan akumulasi kapital
berjalan sebaik-baiknya, apalagi dengan berbagai macam kontradiksi yang telah
dipaparkan sebelumnya. Melalui pendekatan materialisme historis, maka
organisasi rasional untuk melanggengkan kapitalisme adalah semua aspek yang
non-ekonomi (suprastruktur) seperti politik dan hukum. Dan keduanya berada
dalam otoritas bernama negara. Maka tidak heran Marx berkata bahwa negara
hanyalah kepanjangan tangan kaum borjuasi.
Revolusi Di Tangan Proletar
Perkembangan kapitalisme
yang membawa kemelaratan bagi kelas proletar, (khsusunya di Inggris sebagai
embrio sosialisme ilmiah selengkapnya dapat dibaca melalui buku Condition of Working Class in England milik
Engels), menghasilkan beberapa perlawanan, bahkan ketika proletar belum
berkembang penuh[1].
Tercatat perlawanan seperti gerakan kaum Leveller dan Digger yang menentang
eksploitasi atas kaum miskin. Seiring berjalan, ada orang-orang yang sudah
mampu untuk memproyeksikan bayangannya tentang masyarakat masa depan, seperti
Owen dan Fourier. Namun, karena kedua orang ini mendasarkan diri pada ‘idealita’
dan tidak mampu membangun teoretisasi atas masyarakat dimana mereka akan
membangun sosialisme, gerakan mereka gagal. Owen bereksperimen untuk membangun
koloni kominis untuk menyelesaikan penderitaan masyarakat Irlandia. Usaha Owen
adalah bagaimana kekayaan yang berlimpah yang dimiliki individu dapat menjadi
milik publik. Sedangkan Saint Simon menganggap kaum tak berpunya tidak memiliki
kapasitas memimpin dan harapannya terhadap kaum borjuis Perancis dapat menjadi
pejabat publik yang baik. Sebuah pendekatan moral yang keliru. Proyeksi
masyarakat masa depan yang coba dibangun mereka, namun tanpa basis yang jelas,
dikemudian hari disebut sosialisme utopis.
Berbeda dengan dua kameradnya,
Marx (juga Engels), mampu untuk mengembangkan basis teoritis dari sejarah
perkembangan masyarakat yang dikenal dengan sosialisme ilmiah. Marx dan Engels
mampu untuk melihat kontradiksi internal di dalam tubuh kapitalisme dan
menggunakan analisa historical
materialism untuk melihat perkembangan masyarakat (yang artinya kemungkinan
revolusi).
Revolusi terjadi
bukan karena kelas tertentu memiliki gagasan tentang perubahan, keadilan, atau
semacamnya, kemudian disebarkan dalam masyarakat. Bukan, itu merupakan
pemikiran seorang idealis. Bagi seorang materialis seperti Marx, perubahan
hanya dapat disandarkan pada sesuatu yang real, yang kongkret, dan itu
ditemukan dalam corak ekonomi (produksi dan pertukaran). Adapun gagasan-gagasan
tentang perubahan, ketidak adilan, merupakan ekspresi dari perubahan corak
ekonomi yang sudah tidak sesuai dengan organisasi sosial yang ada. Cara
menghilangkan kontradiksi yang ada, ada di dalam cara produksi yang berubah
itu, bukan mempertahankan organisasi sosial yang ada. Contohnya, ketika
kapitalisme baru merupakan kuncup ditengah padang feodalisme, maka kapitalisme
(dengan adanya kebebasan dan kepemilikan pribadi) berkontradiksi dengan
organisasi sosial yang ada seperti privilege
tuan tanah. Begitu juga dengan organisasi sosial kapitalisme yang ada saat ini,
maka antitesis yang paling tepat dari kapitalisme adalah sosialisme, dimana
alat produksi yang ada di tangan kapitalis disosialisasikan menjadi milik
anggota masyarakat; anarkisme pasar diganti dengan produksi sesuai dengan
kebutuhan; individualisme diganti dengan kolektivisme.
Dengan paragraf di
atas sebenarnya sudah jelas siapa kelas yang paling mampu untuk menuntaskan
revolusi. Bahwa untuk menyelesaikan kontradiksi yang tidak terdamaikan di dalam
tubuh kapitalisme, satu-satunya jalan hanyalah dengan mengganti sistem ekonomi
yang merupakan negasi atasnya. Begitu pula kelas-kelas yang mensyaratkan adanya
kapitalisme. Mengapa kelas proletarlah yang menjadi kelas revolusioner yang
mampu untuk menghancurkan kapitalisme? Karena, kelas inilah yang berkontradiksi
langsung dan memiliki relasi saling mensyaratkan dengan kelas kapital bagi
keberadaan kapitalisme. Dengan adanya penyelesaian kontradiksi kapitalisme itu,
artinya, kelas proletar juga sedang mengemansipasi dirinya dalam arti
menghapuskan dirinya juga sebagai kelas proletar. Namun satu yang harus
diingat: kapitalisme tidak menganal batas teritori negara, ia ada dimana-mana untuk
mengeruk keuntungan. Perjuangan proletar pun tidak mengenal batas negara, ia
mendunia. Maka pesan Marx: “Buruh Sedunia, Bersatulah!”
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada tahun 1917
secara mengejutkan Sovyet mampu membentuk kediktatoran proletariat pertama di dunia
di bawah kepemimpinan V. I. Lenin. Tidak seperti tesis Marx tentang
perkembangan masyarakat bahwa untuk mencapai kediktatoran proletar harus
mencapai tahap kapitalisme matang, bahkan Sovyet membangun pemerintahan buruh ketika
usia kapitalisme di negeri itu masih sangat muda. Hal inii menjadi bukti bahwa sejarah
tidak berlangsung secara gradual dan berangsur-angsur namun penuh dengan
lompatan yang tidak terduga. Selain itu, dibanding Marx yang hanya menekankan
pada kelas proletar sebagai agen revolusi, Lenin menekankan pada kelas buruh
dan tani –yang dilengkapi oleh Trotsky dengan “pemerintahan buruh yang didukung
tani”nya , sebagai agen revolusi yang akan membawa pada sosialisme. Apa yang
bisa didapat dari ini?
Bahwa analisis Marx
tentang sejarah tidak bisa dibaca secara tekstual. Marxisme merupakan filsafat
materalisme dialektis yang dengan itu tidak bisa dilihat secara kaku. Begitu pula
ketika mencoba menjawab pertanyaan “siapakah kelas revolusioner”, kita tidak
bisa serta merta mencap bahwa kaum buruhlah kelas yang dimaksud tanpa melakukan
analisis terhadap basis materil dimana ruang yang dimaksud dilihat.
Sistem neoliberal
saat ini tentu menyisakan kemiskinan, bukan hanya pada buruh, namun juga pada
pada petani yang kehilangan ladangnya karena direbut oleh perusahaan sawit, para
nelayan yang tidak bisa melaut karena BBM mahal, ibu-ibu yang tidak mampu
membuat ngebul dapurnya karena harga sembako tinggi, juga rakyat miskin kota yang
tidak bisa mendapatkan kerja yang layak. Semua lapisan sosial inilah yang
termiskinkan, si kaum marhaen kata Sukarno. Dalam konstelasi seperti ini, dan
kerangka besarnya di dalam sistem ekonomi politik kapitalisme, maka seluruh
golongan inilah yang seharusnya berkonfrontasi dengan para borjuasi dan membentuk
pemerintahan rakyat, sebuah revolusi sosialis yang berisi orang-orang tertindas,
yang berisi kelas-kelas paling bawah dalam stratifikasi sosial.
Siapakah kelas
terdepan dalam revolusi sosialis ini? Tentu karena perebutan superstruktur ini
sebagai sebuah reaksi balik untuk mengubah basis ekonomi, dan yang
berkontradiksi langsung dengan kapitalisme dan borjuasinya adalah buruh, maka
buruhlah yang harus memimpin. Kepemimpinan buruh harus diartikan sebagai
kepemimpinan rakyat secara keseluruhan karena agenda-agenda buruh adalah sama
dengan agenda rakyat paling tertindas lain. Pun dengan pengalaman materil
perlawanan terhadap sistem –setidaknya yang saya amati- kelas buruh pula lah
yang terdepan. Meskipun selama ini ada kecenderungan bahwa gerakan buruh hanya
memperjuangkan masalah ekonomisme –naik upah, tolak kerja kontrak, tolak pemberangusan
serikat, dll, tetapi masih ada kesempatan yang luas untuk terus menerus menginjeksikan
kesadaran kepada buruh. Menginjeksikan kesadaran bahwa mereka tidak lagi bisa
menggantungkan nasib kepada kaum borjuasi yang sudah jelas tidak berpihak. Kelas
buruh harus sadar, dan kaum tertindas lain, bahwa perbaikan nasibnya hanya bisa
dilakukan melalui usahanya sendiri dan dari tangannya sendiri.
[1] Patut dicatat bahwa
gerakan buruh telah ada sebelum marxisme lahir. Marxisme datang kemudian untuk memasukkan
basis teoritis terhadap gerakan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar