“Ketika kita merenungi alam atau sejarah umat manusia atau
aktivitas intelektual kita sendiri, pertama-tama kita melihat satu gambar yang
terdiri dari jaring-jaring hubungan yang tiada ujung-pangkalnya, dimana tidak
sesuatupun yang tinggal tetap, dimana dan sebagaimana adanya, tapi segala
sesuatu bergerak, berubah, lahir dan mati…”
Buku yang dibuat oleh Ted
Grant dan Alan Woods berjudul asli Reason
in Revolt: Marxism and Modern Science
ini mencoba membuktikan bahwa marxisme bukanlah persoalan ekonomi dan politik saja. Di dalam marxisme tersebut
tersimpan satu filsafat materialisme-dialektik, satu aliran filsafat yang
merupakan metode berpikir dalam memandang alam secara keseluruhan beserta
perkembangan-perkembangannya.
Materialisme dialektik
secara sederhana dapat dicirikan dengan perkembangan yang terus menerus,
sebagaimana dialektika Hegel, melalui proses tesis-antitesis-sintesis -dan
perkembangan ini dapat digambarkan
dengan model spiral, model menuju perkembangan tertinggi-. Perbedaan antara
dialektika Hegel dan Marx (juga Engels) adalah Hegel menganggap dialektika ini
terjadi di dunia ide, sedangkan realitas hanya merupakan cerminan dari apa yang
ada di dunia ide tersebut, maka dari itu dialektika Hegel adalah
dialektika-idealis. Hal ini bertolak belakang dengan Marx yang menyandarkan
perkembangan masyarakat pada apa yang benar-benar terjadi, pada realitas, pada
dunia materi. Maka muncullah hukum yang tenar itu “bukan kesadaran yang
menentukan keadaan, sebaliknya, keadaanlah yang menentukan kesadaran”.
Materialisme-dialektis
inilah metode berpikir yang coba dibuktikan dalam buku ini, bahwa
materialisme-dialektis merupakan satu-satunya metode berpikir yang dapat dengan
memuaskan menjelaskan proses kehidupan. Melalui bab-babnya yang membuat kening
berkerut, kita diantarkan pada kenyataan bahwa sejarah perkembangan alam ini,
dari terciptanya alam semesta, kehidupan sederhana sel tunggal hingga kompleksitas
perkembangan ras manusia merupakan proses yang dialektis, proses yang terus
menerus namun tidak gradual sebagaimana teori darwin melainkan penuh dengan
gejolak dan perubahan yang mendadak. Mari kita simak satu contoh kasus dalam
bab ini, yaitu perkembangan umat manusia.
Dalam teori darwin, umat
manusia (homo sapien sapien) merupakan hasil dari evolusi, hasil dari seleksi
alam yang berlangsung selama jutaan tahun. Sepintas lalu teori darwinisme ini
cocok dengan penjelasan materialisme bahwa segala sesuatu bermula dari materi,
yang ada pasti berasal dari yang ada dan tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Namun,
ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Darwinisme menganggap bahwa
seleksi alam terjadi secara gradual, perlahan dan linier. Sedangkan
materialisme-dialektik mengangggap sejarah perkembangan umat manusia merupakan
suatu proses yang revolusioner dengan lompatan disana-sini. Kemudian,
materialisme-dialektis, khususnya Engels dalam Anti Duhring-nya menjelaskan bahwa darwinisme masih sangat terpengaruh ajaran idealisme dan
maltuhusisme. Dengan meyakini darwinisme, berarti mendukung gerakan perbudakan
yang mayoritas merupakan kulit hitam karena dalam proses evolusi mereka hanya
satu tingkat dibawah hewan (dimana kulit putih menduduki kasta tertinggi).
Bagaimana umat manusia dapat
berkembang menjadi mahluk yang sangat kompleks seperrti saat ini? Tarik menarik penjelasan adalah antara paham
materialisme dan idealisme. Menurut kaum idealis, umat manusia sudah
diberkahi ‘otak yang cerdas’ dari sang
pencipta (dan ini didukung oleh kaum agamawan), dengan ‘otak yang cerdas’
tersebut mereka mampu untuk menciptakan alat yang paling sederhana seperti
kapak untuk menguliti hewan dan menemukan api. Hal yang bertolak belakang
dijelaskan oleh para materialis, bahwa perkembangan umat manusia pada awalnya
adalah ketika kera tidak lagi hidup di pohon dan memutuskan hidup di atas tanah
dengan kedua kakinya, sehingga, hal ini berakibat pada lebih leluasanya
penggunaan tangan untuk bekerja. Demikianlah, perkembangan manusia bukan karena
dia diberkahi pikiran yang cerdas, namun keadaan merekalah (terutama kerja
pembuatan alat), yang beradaptasi dengan lingkungannya, membuat lompatan
lompatan revolusioner. Dalam proses ini mulai dikenallah pembagian kerja antara
laki laki dan perempuan, hingga kemampuan berbahasa. Proses-proses ini
dibarengi dengan peningkatan volume otak, dan telah dibuktikan secara ilmiah.
Sekali lagi, bukan kesadaran yang menentukan keadaan, sebaliknya, keadaanlah
yang menentukan kesadaran, dan hukum materialisme-dialektis ini telah
dibuktikan dalam perkembangan umat manusia.
Menariknya, hukum-hukum
materialisme-dialektis, lebih khususnya, apa yang ditulis Engels dalam Anti Duhring makin kesini makin terbukti
secara ilmiah. Satu contoh yang paling mencengangkan adalah teori chaos,
yaitu teori yang mencoba menerangkan alam ini dari perspektif
ketidakteraturan. Hukum dialektis yang menerangkan bahwa terjadi perubahan
kuantitas menjadi kualitas (dan sebaliknya) memainkan peran utama dalam teori chaos, bahwa satu sistem yang kompleks
sekalipun memiliki titik-titik instabilitas, titik dimana dorongan yang kecil
saja dapat menghasilkan konsekuensi yang besar.
Yang paling menakjubkan dari
kemiripan antara teori chaos yang
dipelopori ilmuwan alam dengan materialisme-dialektis adalah kebanyakan dari
mereka tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, bahkan tidak pernah membaca
tulisan-tulisan Marx dan Engels, bahkan juga Hegel! Dalam makna tertentu, hal
ini memberikan pembenaran yang paling tegas mengenai kebenaran
materialisme-dialektis.
Bab terakhir dari buku ini,
kembali mengajak kita berefleksi (juga berlawan) atas sistem kapitalistik dan
pasar bebasnya yang telah menguasai dunia tanpa ampun. Dimana akibat dari motif
pencarian keuntungan, disatu belahan dunia pasokan bahan makanan tersimpan
begitu saja, bahkan hingga membusuk dan kemudian dibakar, karena tidak ada yang
membeli. Sedangkan dibelahan dunia lain, khususnya di negera dunia ketiga
kelaparan hampir setiap saat dapat kita jumpai. Belum lagi masalah masalah lain
yang sudah menjadi kebiasaan seperti wabah penyakit, pengangguran, kriminalitas,
kerusakan alam, dan berbagai masalah lain akibat dari sistem yang menuhankan
perputaran modal ini. Ini bukan soal menyangkal teknologi, tapi perlawanan
penyalahgunaan teknologi demi keuntungan pribadi yang menghancurkan lingkungan
dan menciptakan neraka di dunia. Dibutuhkan suatu perekonomian terencana yang
dijalankan secara demokratik agar potensi dari ilmu dan teknologi dapat
ditempatkan sebagai alat bantu manusia, bukan sebaliknya. Dan inilah tugas
sentral umat manusia di abad ke 21 ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar