Partai
Rakyat Demokratik (selanjutnya disingkat PRD) memiliki sejarah penbentukan yang cukup singkat.
Dengan latarbelakang kondisi sosial politik represif zaman orde baru PRD lahir
sbagai gerakan radikal dengan mengusung asas sosial demokrasi[1]
dengan salahsatu pendirinya yaitu Budiman Sujatmiko[2].
Menurut Miftahuddin (2004: 75), secara kronologis sejarah PRD dapat dibagi
dalam enam tahap. Pertama, pembangunan perlawanan terhadap rezim. Kedua,
penyatuan organisasi perlawanan. Ketiga, pembentukan Persatuan Rakyat
Demokratik. Keempat, dideklarasikannya PRD. Tahap kelima, perjuangan bawah
tanah. Dan tahap keenam, perjuangan parlementer.
Sejak
awal berdiri, PRD sudah mendeklarasikan bahwa mereka adalah oposisi
pemerintahan orde baru. Menifesto 22
Juli 1996 yang dideklarasikan partai ini menghantam orde baru dengan
kebijakannya yang tidak prorakyat, kental dengan aroma korupsi dan kolusi,
serta pemerintahan yang tidak demokratis. Untuk memobilisasi massa, PRD
memiliki beberapa organisasi underbow
yaitu Serikat Tani Nasional (STN), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PBBI),
jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Beberapa underbow ini memiliki tujuan untuk menyatukan gerakan grassroot agar terjadinya gerakan
berskala nasional dan menyatu.
Tentu
dengan pergerakan yang begitu radikal (dilihat dari konteks saat itu) dan
perumbuhan partai yang pesat membuat rezim orde baru sangat ketar-ketir.
Berbagai macam cara dilakukan untuk meredam pergerakan PRD. Banyak orang yang
terlibat PRD saat itu menerima berbagai intimidasi, penangkapan, penculikan
hingga penyiksaan. Orang yang ditangkap tersebut kemudian dipaksa untuk mengaku
bersalah hingga dapat dijerat dengan aturan subversif. Intelijen-intelijen
disusupkan ke dalam kantong-kantong massa yang diduga terdapat PRD, bahkan
pernah pula kantor pusat PRD diserang oleh gerombolan orang tidak dikenal.
PRD
memang radikal pada masanya. Bahkan partai ini disanjung setinggi langit oleh
seorang sastrawan besar, Pramoedya Ananta Toer,
“...perjuangan PRD menyamai agungnya
angkatan 1908, 1928 dan 1945. Bahkan dengan memahami istilah
‘angkatan-angkatan’ sebagai proses kemajuan bukan sebagai tonggak-tonggak
perjuangan kekeluargaan, dibandingkan angkatan-angkatan tersebut perjuangan PRD
mempunyai kualitas dengan nilai lebih.”
KERANGKA
TEORI: MOBILISASI SUMBER DAYA
Ada berbagai perspektif yang digunakan untuk menganalisa suatu gerakan sosial. Menurut Tarrow (1998: 14-18), terdapat empat perspektif yang dapat digunakan dalam pendekatan gerakan sosial, yaitu: (1) perilaku kolektif/collective behavior (2) mobilisasi sumber daya/resource mobilization (3) proses politik/political process dan (4) gerakan sosial baru/new social movement. Atau menurut McAdam (1996; 2) yang membedakan gerakan sosial berdasarkan faktor utama yang memungkinkan kemunculan gerakan sosial, yaitu (1) mobilisasi sumberdaya/resource mobilization (2) peluang politik/political opportunity (3) proses pembingkaian/framing. Untuk membahas kasus dalam makalah ini, penulis melakukan pendekatan mobilisasi sumberdaya/resource mobilization karena dianggap paling relevan.
Dari sudut pandang mobilisasi sumberdaya ini, gerakan sosial muncul karena kesadaran bahwa masalah selalu melekat dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu mengapa ada suatu gerakan sosial. Gerakan sosial dari sudut pandang ini, dianggap sebagai konsekuensi dari permasalahan hidup bersama dan untuk itu diperjuangkan bersama. Namun, hal ini bukan berarti individu-per-individu saja yang berpartisipasi dalam gerakan, tapi juga kelompok dan organisasi. Partisipan/individu berada dalam konteks struktural dan kultural dari sebuah gerakan sosial. Konteks struktural dalam gerakan sosial inilah yang diwadahi oleh organisasi gerakan.
Peran sentral organisasi gerakan selain sebagai wadah struktural individu melakukan gerakan namun juga sebagai basis kaderisasi, artinya, dalam organisasi gerakan sosial ini juga melingkupi motif individual, keyakinan ideologis, penanaman nilai-nilai dan kalkulasi rasional dalam pergerakan. Kalkulasi rasional yang dimaksud adalah mobilisasi sumberdaya ini sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya material (seperti uang dan jasa) dan sumberdaya nonmaterial (seperti kepercayaan diantara tiap anggota) dalam organisasi tersebut, termasuk di dalamnya besarnya partisipan, dana, publikasi media, dukungan opini publik dan elit (Porta dan Diani, 1999:8).
Selain sebagai sarana gerakan, organisasi gerakan ini juga dapat membuat sebuah identitas kolektif/kelompok. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan mobilisasi sumberdaya lahir karena memang pada dasarnya permasalahan selalu melekat dalam masyarakat. Organisasi yang memiliki fungsi melakukan konstruksi dan rekonstruksi pemikiran pada masyarakat ini akan membentuk sebuah konstruksi berpikir yang serangam dalam masyarakat dan akan melahirkan perasaan senasib sepenanggungan (atau semacamnya). Hal ini (identitas kelompok) selain menjadi dasar/prasyarat dalam gerakan sosial namun juga ternyata dapat terbentuk dari organisasi gerakan. Lebih lengkap fungsi organisasi gerakan bagi mobilisasi sumber daya menurut Klandermans (2005; 25) adalah untuk (1) konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif; (2) mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif; dan (3) mempertahankan komitmen terhadap gerakan.
Teori resource mobilization selain digunakan sebagai salahsatu sudut pandang dalam mengkaji gerakan sosial, juga digunakan untuk menjawab masalah pendompleng bebas/free-rider. Teoritikus mobilisasi sumberdaya ini mengatakan bahwa masalah free-rider dapat diatasi dengan apa yang disebut “wirausahawan politik” (political entrepreneur) dengan insentif-insentif tertentu. Selain itu, teori resource mobilization ini dikritik sebagian orang karena melulu melihat dari sudut pandang internal tanpa mengindahkan apa yang terjadi di luar. Hal ini dianggap sebagai pengabaian serius dan harus dimasukkan ke dalam analisis. Maka, para teoritikus gerakan sosial membuat teori baru yang berkaitan dengan ‘luaran’ yaitu political opportunity structure/POS yang hanya akan kita bahas secara singkat nanti.
Ada berbagai perspektif yang digunakan untuk menganalisa suatu gerakan sosial. Menurut Tarrow (1998: 14-18), terdapat empat perspektif yang dapat digunakan dalam pendekatan gerakan sosial, yaitu: (1) perilaku kolektif/collective behavior (2) mobilisasi sumber daya/resource mobilization (3) proses politik/political process dan (4) gerakan sosial baru/new social movement. Atau menurut McAdam (1996; 2) yang membedakan gerakan sosial berdasarkan faktor utama yang memungkinkan kemunculan gerakan sosial, yaitu (1) mobilisasi sumberdaya/resource mobilization (2) peluang politik/political opportunity (3) proses pembingkaian/framing. Untuk membahas kasus dalam makalah ini, penulis melakukan pendekatan mobilisasi sumberdaya/resource mobilization karena dianggap paling relevan.
Dari sudut pandang mobilisasi sumberdaya ini, gerakan sosial muncul karena kesadaran bahwa masalah selalu melekat dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu mengapa ada suatu gerakan sosial. Gerakan sosial dari sudut pandang ini, dianggap sebagai konsekuensi dari permasalahan hidup bersama dan untuk itu diperjuangkan bersama. Namun, hal ini bukan berarti individu-per-individu saja yang berpartisipasi dalam gerakan, tapi juga kelompok dan organisasi. Partisipan/individu berada dalam konteks struktural dan kultural dari sebuah gerakan sosial. Konteks struktural dalam gerakan sosial inilah yang diwadahi oleh organisasi gerakan.
Peran sentral organisasi gerakan selain sebagai wadah struktural individu melakukan gerakan namun juga sebagai basis kaderisasi, artinya, dalam organisasi gerakan sosial ini juga melingkupi motif individual, keyakinan ideologis, penanaman nilai-nilai dan kalkulasi rasional dalam pergerakan. Kalkulasi rasional yang dimaksud adalah mobilisasi sumberdaya ini sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya material (seperti uang dan jasa) dan sumberdaya nonmaterial (seperti kepercayaan diantara tiap anggota) dalam organisasi tersebut, termasuk di dalamnya besarnya partisipan, dana, publikasi media, dukungan opini publik dan elit (Porta dan Diani, 1999:8).
Selain sebagai sarana gerakan, organisasi gerakan ini juga dapat membuat sebuah identitas kolektif/kelompok. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendekatan mobilisasi sumberdaya lahir karena memang pada dasarnya permasalahan selalu melekat dalam masyarakat. Organisasi yang memiliki fungsi melakukan konstruksi dan rekonstruksi pemikiran pada masyarakat ini akan membentuk sebuah konstruksi berpikir yang serangam dalam masyarakat dan akan melahirkan perasaan senasib sepenanggungan (atau semacamnya). Hal ini (identitas kelompok) selain menjadi dasar/prasyarat dalam gerakan sosial namun juga ternyata dapat terbentuk dari organisasi gerakan. Lebih lengkap fungsi organisasi gerakan bagi mobilisasi sumber daya menurut Klandermans (2005; 25) adalah untuk (1) konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif; (2) mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif; dan (3) mempertahankan komitmen terhadap gerakan.
Teori resource mobilization selain digunakan sebagai salahsatu sudut pandang dalam mengkaji gerakan sosial, juga digunakan untuk menjawab masalah pendompleng bebas/free-rider. Teoritikus mobilisasi sumberdaya ini mengatakan bahwa masalah free-rider dapat diatasi dengan apa yang disebut “wirausahawan politik” (political entrepreneur) dengan insentif-insentif tertentu. Selain itu, teori resource mobilization ini dikritik sebagian orang karena melulu melihat dari sudut pandang internal tanpa mengindahkan apa yang terjadi di luar. Hal ini dianggap sebagai pengabaian serius dan harus dimasukkan ke dalam analisis. Maka, para teoritikus gerakan sosial membuat teori baru yang berkaitan dengan ‘luaran’ yaitu political opportunity structure/POS yang hanya akan kita bahas secara singkat nanti.
ANALISIS
KASUS
Kemunculan Partai Rakyat Demokratik tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial politik di Indonesia. Salahsatu faktor yang memungkinkan terbentuknya PRD adalah kebijakan orde baru untuk mendepolitisasi kampus melalui kebijakan NKK BKK. Secara mendasar NKK merupakan kebijakan untuk menormalisasi/meredefinisi kehidupan dikampus yang saat itu sarat dengan pemikiran-pemikiran politik melalui organisasi formal yang ada seperti Dewan Mahasiswa. sedangkan BKK merupakan badan struktural yang membantu rektor untuk merencanakan kegiatan mahasiswa baik kegiatan kurikuler maupun ekstrakulikuler. Tindakan ini membawa dampak tidak adanya lagi lembaga formal mahasiswa yang independen dalam melakukan kegiatan-kegiatan politik yang juga pada akhirnya mereduksi gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa saat itu.
Disis lain, normalisasi kampus membawa dampak hidupnya kembali ruang-ruang diskusi mahasiswa. Mengutip Daniel Dhakhidae, grup-grup diskusi ini seperti menghidupkan kembali idealisme pemuda-pemuda khas tahun 20an. Grup diskusi ini tentunya juga menghidupkan kembali wacana perlawanan terhadap rezim, yang tentu yang paling menonjol adalah dari PRD ini. Dalam hal ini, PRD merupakan manifestasi keresahan para mahasiswa yang telah memiliki kesadaran kolektif dan identitas bersama yang telah dibangun lama lewat ruang-ruang diskusi tersebut. Terhitung sejak tahun 1990an di berbagai kampus telah terbentuk komite-komite aksi dan puncaknya pda November 1992 diadakan pertemuan mahasiswa yang melahirkan sebuah organisasi nasional bernama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang akan menjadi cikal bakal PRD.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori mobilisasi sumberdaya, terbentuknya PRD inipun tidak lepas dari manuver-manuver yang dilakukannya untuk memobilisasi sumberdaya potensial di masyarakat. Salahsatu aspek dari mobilisasi sumberdaya ini adalah peran partai yang berfungsi bukan hanya wadah struktural individu namun juga sebagai organisasi kaderisasi masyarakat. Kekhasan dari partai pada masa orde baru adalah partai-partai saat itu sebenarnya tidak memiliki basis masa di bawah. Berdasarkan UU No 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, maka partai hanya diizinkan sampai pada Daerah Tingkat Ii (kabupaten/kotamadya). Partai dan pendukungnya hanya dipertemukan secara seremonial melalui Pemilu lima tahun sekali. Artinya, pada zaman orde baru begitu banyak massa mengambang (floating mass). Partai yang tidak dekat dengan rakyat dan banyaknya massa mengambang inilah celah yang diambil oleh PRD.
Menurut Klandermans (2005; 25) fungsi organisasi gerakan adalah untuk (1) konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif; (2) mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif; dan (3) mempertahankan komitmen terhadap gerakan. Dalam konteks PRD, ketiga fungsi ini coba dilakukan secara maksimal. Saat itu, meskipun belum resmi bernama PRD, para mahasiswa kiri telah mengorganisir suatu gerakan sosial yang benar-benar menyatu dengan rakyat seperti Serikat Tani Nasional (STN), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) atau Sarekat Rakyat Indonesia (SRI). Sebelumnya, salahsatu pendiri PRD, Budiman Sujatmiko yang sejak SMP telam membaca buku-buku Sukarno dan Mao Tse Dong mulai benar-benar mendedikasikan diri untuk melakukan gerakan sosial. Sejak sekitar tahun 1989, terjadi pergeseran orientasi gerakan mahasiswa yang pada awalnya hanya dikonsolidasikan diinternal mahasiswa itu sendiri menjadi sebuah gerakan yang mengikutsertakan rakyat. Saat itu, pola interaksi intinya adalah melakukan penguatan posisi politik rakyat dengan cara mengorganisir mereka, merancang format organisasi perjuangan kaum tani, melatih kemampuan untuk berkampanye dan melakukan tekanan terhadap pemerintah, dan akhirnya melahirkan kader-kader perjuangan dari kaum tani itu sendiri[3]. Saat itu keterlibatan budiman bukan hanya melakukan rekonstruksi pemikiran para kaum tani dan mentransformasikannya dalam gerakan kolektif namun juga melakukan pendidikan politik bagi para mahasiswa sendiri.
Dalam konteks mobilisasi sumber daya, pembentukan organisasi-organisasi seperti yagn disebutkan di atas sangat penting. Pertama, sebagai pembelajaran politik masyarakat. Kedua, sebagai pembelajaran gerakan sosial. Ketiga, dan yang paling mendasar, sebagai basis kaderisasi. Kaderisasi disini sangat penting sebagai pembentukan motif individual, keyakinan ideologis, serta penanaman nilai-nilai dan kalkulasi rasional dalam pergerakan. Setelah organisasi-organisasi ini dinilai berhasil dalam membangun suatu kesadaran dalam masyarakat dalam struktur pekerjaannya, maka kemudia PRD melakukan tahap selanjutnya yaitu pembentukan persatuan rakyat demokratik sebagai wadah perjuangan bersama secara nasional tanpa lagi melihat kelas sosialnya. Dalam pada itu, kemajuan-kemajuan dalam perlawanan terhadap rezim sudah cukup berarti (Miftahuddin, 2006: 80) . Pertama, makin luasnya sentimen anti Suharto. Kedua, keberanian rakyat makin tinggi. Ketiga, jaringan gerakan sosial makin banyak tumbuh di berbagai kota. Keempat, watak kerakyatan dalam perjuangan telah muncul. Pada tahun 1996 dimana perlawanan terhadap rezim makin meluas dan terbuka, maka PRD yang tadinya hanya merupakan sebuah organisasi gerakan professional (professiona movement organization) mentransformasikan organisasi menjadi sebuah partai.
Pada dasarnya, filsafat dasar dari PRD adalah sosial demokrasi. Kondisi ini tidak lain merupakan buah dari kebijakan orde baru yang sangat tidak kondusif bagi perbedaan pemikiran di kalangan masyarakat. Namun karena itulah para pendiri PRD terbuka atanya untuk melihat kesadaran pollitik saat pengekangan terjadi dimana-mana. PRD dapat dinilai sukses dalam memobilisasi massa yang besar pada zaman orde baru tidak lain karena PRD menawarkan ‘sesuatu’ yg lain yang berbeda dengan partai kebanyakan. Aspek keradikalan PRD dapat dengan jelas dilihat dalam rencana program, strategi dan taktik perjuangan mereka. Disana disebutkan bahwa tuga PRD adalah meradikalisasi-memilitankan-memprofesionalkan aksi-aksi kaum buruh, terutama buruh industri manufaktur. Sebagaimana diketahui politik orde baru menempatkan stabilitas nasional diatas segalanya, maka tidak heran jika terkesan ada penyeragaman pemikiran yang dilakukan. Buruh yang dihisap oleh sistem kapitalistik menerima begitu saja sebagaimana adanya. Letak PRD disini adalah menyadarkan, sekali lagi, melakukan sebuah pendidikan politik dan dekonstruksi pemikiran yang selama ini dihalang-halangi oleh penguasa. Meskipun saat itu banyak gerakan yang telah dilakukan, PRD menyadari bahwa gerakan itu masih bersifat spontan. PRD kemudian merumuskan sebuah permasalahan yang diangkat, yang menjadi permasalahan bersama dan menjadi identitas kelompok tersebut. Pertama-tama PRD mengangkat isu kepentingan ekonomi buruh seperti upah yang rendah, tidak adanya jaminan terhadap pemilikan tanah dan permasalahan lainnya. Bersamaan juga selain mengorganisir buruh, PRD pun mengorganisir sebuah perlawanan aktif dari kalangan mahasiswa, tani, nelayan dan rakyat miskin kota.
Kesimpulannya, melihat PRD dalam pisau resources mobilization, maka kita akan menemukan faktor mengapa PRD dapat berhasil menggalang suatu gerakan sosial yang besar, setidaknya sampai orde baru jatuh. Faktor ini tidak lain adalah kemampuan PRD sebagai organisasi gerakan profesional untuk (1) konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif; (2) mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif; dan (3) mempertahankan komitmen terhadap gerakan.
Kemunculan Partai Rakyat Demokratik tidak bisa dipisahkan dari konteks sosial politik di Indonesia. Salahsatu faktor yang memungkinkan terbentuknya PRD adalah kebijakan orde baru untuk mendepolitisasi kampus melalui kebijakan NKK BKK. Secara mendasar NKK merupakan kebijakan untuk menormalisasi/meredefinisi kehidupan dikampus yang saat itu sarat dengan pemikiran-pemikiran politik melalui organisasi formal yang ada seperti Dewan Mahasiswa. sedangkan BKK merupakan badan struktural yang membantu rektor untuk merencanakan kegiatan mahasiswa baik kegiatan kurikuler maupun ekstrakulikuler. Tindakan ini membawa dampak tidak adanya lagi lembaga formal mahasiswa yang independen dalam melakukan kegiatan-kegiatan politik yang juga pada akhirnya mereduksi gerakan sosial yang dilakukan mahasiswa saat itu.
Disis lain, normalisasi kampus membawa dampak hidupnya kembali ruang-ruang diskusi mahasiswa. Mengutip Daniel Dhakhidae, grup-grup diskusi ini seperti menghidupkan kembali idealisme pemuda-pemuda khas tahun 20an. Grup diskusi ini tentunya juga menghidupkan kembali wacana perlawanan terhadap rezim, yang tentu yang paling menonjol adalah dari PRD ini. Dalam hal ini, PRD merupakan manifestasi keresahan para mahasiswa yang telah memiliki kesadaran kolektif dan identitas bersama yang telah dibangun lama lewat ruang-ruang diskusi tersebut. Terhitung sejak tahun 1990an di berbagai kampus telah terbentuk komite-komite aksi dan puncaknya pda November 1992 diadakan pertemuan mahasiswa yang melahirkan sebuah organisasi nasional bernama Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) yang akan menjadi cikal bakal PRD.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori mobilisasi sumberdaya, terbentuknya PRD inipun tidak lepas dari manuver-manuver yang dilakukannya untuk memobilisasi sumberdaya potensial di masyarakat. Salahsatu aspek dari mobilisasi sumberdaya ini adalah peran partai yang berfungsi bukan hanya wadah struktural individu namun juga sebagai organisasi kaderisasi masyarakat. Kekhasan dari partai pada masa orde baru adalah partai-partai saat itu sebenarnya tidak memiliki basis masa di bawah. Berdasarkan UU No 3 tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, maka partai hanya diizinkan sampai pada Daerah Tingkat Ii (kabupaten/kotamadya). Partai dan pendukungnya hanya dipertemukan secara seremonial melalui Pemilu lima tahun sekali. Artinya, pada zaman orde baru begitu banyak massa mengambang (floating mass). Partai yang tidak dekat dengan rakyat dan banyaknya massa mengambang inilah celah yang diambil oleh PRD.
Menurut Klandermans (2005; 25) fungsi organisasi gerakan adalah untuk (1) konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif; (2) mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif; dan (3) mempertahankan komitmen terhadap gerakan. Dalam konteks PRD, ketiga fungsi ini coba dilakukan secara maksimal. Saat itu, meskipun belum resmi bernama PRD, para mahasiswa kiri telah mengorganisir suatu gerakan sosial yang benar-benar menyatu dengan rakyat seperti Serikat Tani Nasional (STN), Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) atau Sarekat Rakyat Indonesia (SRI). Sebelumnya, salahsatu pendiri PRD, Budiman Sujatmiko yang sejak SMP telam membaca buku-buku Sukarno dan Mao Tse Dong mulai benar-benar mendedikasikan diri untuk melakukan gerakan sosial. Sejak sekitar tahun 1989, terjadi pergeseran orientasi gerakan mahasiswa yang pada awalnya hanya dikonsolidasikan diinternal mahasiswa itu sendiri menjadi sebuah gerakan yang mengikutsertakan rakyat. Saat itu, pola interaksi intinya adalah melakukan penguatan posisi politik rakyat dengan cara mengorganisir mereka, merancang format organisasi perjuangan kaum tani, melatih kemampuan untuk berkampanye dan melakukan tekanan terhadap pemerintah, dan akhirnya melahirkan kader-kader perjuangan dari kaum tani itu sendiri[3]. Saat itu keterlibatan budiman bukan hanya melakukan rekonstruksi pemikiran para kaum tani dan mentransformasikannya dalam gerakan kolektif namun juga melakukan pendidikan politik bagi para mahasiswa sendiri.
Dalam konteks mobilisasi sumber daya, pembentukan organisasi-organisasi seperti yagn disebutkan di atas sangat penting. Pertama, sebagai pembelajaran politik masyarakat. Kedua, sebagai pembelajaran gerakan sosial. Ketiga, dan yang paling mendasar, sebagai basis kaderisasi. Kaderisasi disini sangat penting sebagai pembentukan motif individual, keyakinan ideologis, serta penanaman nilai-nilai dan kalkulasi rasional dalam pergerakan. Setelah organisasi-organisasi ini dinilai berhasil dalam membangun suatu kesadaran dalam masyarakat dalam struktur pekerjaannya, maka kemudia PRD melakukan tahap selanjutnya yaitu pembentukan persatuan rakyat demokratik sebagai wadah perjuangan bersama secara nasional tanpa lagi melihat kelas sosialnya. Dalam pada itu, kemajuan-kemajuan dalam perlawanan terhadap rezim sudah cukup berarti (Miftahuddin, 2006: 80) . Pertama, makin luasnya sentimen anti Suharto. Kedua, keberanian rakyat makin tinggi. Ketiga, jaringan gerakan sosial makin banyak tumbuh di berbagai kota. Keempat, watak kerakyatan dalam perjuangan telah muncul. Pada tahun 1996 dimana perlawanan terhadap rezim makin meluas dan terbuka, maka PRD yang tadinya hanya merupakan sebuah organisasi gerakan professional (professiona movement organization) mentransformasikan organisasi menjadi sebuah partai.
Pada dasarnya, filsafat dasar dari PRD adalah sosial demokrasi. Kondisi ini tidak lain merupakan buah dari kebijakan orde baru yang sangat tidak kondusif bagi perbedaan pemikiran di kalangan masyarakat. Namun karena itulah para pendiri PRD terbuka atanya untuk melihat kesadaran pollitik saat pengekangan terjadi dimana-mana. PRD dapat dinilai sukses dalam memobilisasi massa yang besar pada zaman orde baru tidak lain karena PRD menawarkan ‘sesuatu’ yg lain yang berbeda dengan partai kebanyakan. Aspek keradikalan PRD dapat dengan jelas dilihat dalam rencana program, strategi dan taktik perjuangan mereka. Disana disebutkan bahwa tuga PRD adalah meradikalisasi-memilitankan-memprofesionalkan aksi-aksi kaum buruh, terutama buruh industri manufaktur. Sebagaimana diketahui politik orde baru menempatkan stabilitas nasional diatas segalanya, maka tidak heran jika terkesan ada penyeragaman pemikiran yang dilakukan. Buruh yang dihisap oleh sistem kapitalistik menerima begitu saja sebagaimana adanya. Letak PRD disini adalah menyadarkan, sekali lagi, melakukan sebuah pendidikan politik dan dekonstruksi pemikiran yang selama ini dihalang-halangi oleh penguasa. Meskipun saat itu banyak gerakan yang telah dilakukan, PRD menyadari bahwa gerakan itu masih bersifat spontan. PRD kemudian merumuskan sebuah permasalahan yang diangkat, yang menjadi permasalahan bersama dan menjadi identitas kelompok tersebut. Pertama-tama PRD mengangkat isu kepentingan ekonomi buruh seperti upah yang rendah, tidak adanya jaminan terhadap pemilikan tanah dan permasalahan lainnya. Bersamaan juga selain mengorganisir buruh, PRD pun mengorganisir sebuah perlawanan aktif dari kalangan mahasiswa, tani, nelayan dan rakyat miskin kota.
Kesimpulannya, melihat PRD dalam pisau resources mobilization, maka kita akan menemukan faktor mengapa PRD dapat berhasil menggalang suatu gerakan sosial yang besar, setidaknya sampai orde baru jatuh. Faktor ini tidak lain adalah kemampuan PRD sebagai organisasi gerakan profesional untuk (1) konstruksi dan rekonstruksi keyakinan kolektif; (2) mentransformasikan ketidakpuasan ke dalam aksi kolektif; dan (3) mempertahankan komitmen terhadap gerakan.
KRITIK
TEORI RESOURCES MOBILIZATION
Teori resources mobilization dipandang oleh beberapa kritikus memiliki beberapa kelemahan. Menurut kritikus, mobilisasi sumberdaya ini melulu melihat dari sudut pandang internal tanpa mengindahkan apa yang terjadi di luar. Hal ini dianggap sebagai pengabaian serius dan harus dimasukkan ke dalam analisis. Maka, para teoritikus gerakan sosial membuat teori baru yang berkaitan dengan ‘luaran’ yaitu political opportunity structure/POS. Memang, dalam kenyataannya dalam mengkaji gerakan sosial harus dilihat dari berbagai sudut pandang. McAdam (1996; 2) mengemukakan bahwa gerakan sosial harus dilihat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu (1) mobilisasi sumberdaya/resource mobilization (2) peluang politik/political opportunity (3) proses pembingkaian/framing.
Dalam kasus PRD, jika hanya melihat dari aspek mobilisasi sumber daya tentu organisasi gerakan ini terhitung sangat sukses. Padahal, dalam konteks orde baru, keberhasilan PRD berhasil karena struktur politik saat itu memungkinkan jika adanya suatu partai radikal akan langsung mendapat simpati masyarakat. Hal ini tidak lain karena keberadaan partai politik yang ada (Golkar, PDI dan PPP) tidak merepresentasikan rakyat. Mereka (Partai dan rakyat) hanya dipertemukan lima tahun sekali lewat pemilu, hal ini tentu hanya merupakan demokrasi prosedural semata.
Dalam teori Political Opportunity Structure, gerakan sosial memungkinkan terjadi karena struktur politik yang ada. Dalam model curvilinier, kemungkinan akan adanya gerakan sosial akan terjadi ketika POS sangat rendah (secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan represif, otoriter, dan tidak demokratis), sebaliknya, jika POS tinggi, kemungkinan adanya gerakan sosial yang besar akan semakin kecil. Hal inilah yang terjadi dalam PRD dan tidak terangkum jika kita mengkaji hanya dari sudut pandang teori mobilisasi sumberdaya saja. Memang, secara mobilisasi sumberdaya, PRD terhitung organisasi gerakan yang berhasil, namun kita juga tidak bisa melupakan keberhasilan itu karena PRD menjadi radikal dalam struktur politik yang sebenarnya tidak memungkinkan hal tersebut. Contoh yang lebih nyata adalah apa yang terjadi ketika orde baru tumbang dan reformasi bergulir. Ketika reformasi bergulir, maka secara cepat struktur politik berubah 180 derajat. Indonesia menjadi negara yang benar-benar demokratis, POS terbuka sangat besar, hingga munculnya partai-partai baru bagai jamur dimusim hujan. PRD yang berada ditengah-tengah pusaran demokrasi tersebut lambat laun kehilangan perannya sebagai organisasi radikal.
Teori resources mobilization dipandang oleh beberapa kritikus memiliki beberapa kelemahan. Menurut kritikus, mobilisasi sumberdaya ini melulu melihat dari sudut pandang internal tanpa mengindahkan apa yang terjadi di luar. Hal ini dianggap sebagai pengabaian serius dan harus dimasukkan ke dalam analisis. Maka, para teoritikus gerakan sosial membuat teori baru yang berkaitan dengan ‘luaran’ yaitu political opportunity structure/POS. Memang, dalam kenyataannya dalam mengkaji gerakan sosial harus dilihat dari berbagai sudut pandang. McAdam (1996; 2) mengemukakan bahwa gerakan sosial harus dilihat setidaknya dalam tiga aspek, yaitu (1) mobilisasi sumberdaya/resource mobilization (2) peluang politik/political opportunity (3) proses pembingkaian/framing.
Dalam kasus PRD, jika hanya melihat dari aspek mobilisasi sumber daya tentu organisasi gerakan ini terhitung sangat sukses. Padahal, dalam konteks orde baru, keberhasilan PRD berhasil karena struktur politik saat itu memungkinkan jika adanya suatu partai radikal akan langsung mendapat simpati masyarakat. Hal ini tidak lain karena keberadaan partai politik yang ada (Golkar, PDI dan PPP) tidak merepresentasikan rakyat. Mereka (Partai dan rakyat) hanya dipertemukan lima tahun sekali lewat pemilu, hal ini tentu hanya merupakan demokrasi prosedural semata.
Dalam teori Political Opportunity Structure, gerakan sosial memungkinkan terjadi karena struktur politik yang ada. Dalam model curvilinier, kemungkinan akan adanya gerakan sosial akan terjadi ketika POS sangat rendah (secara sederhana dapat diartikan sebagai pemerintahan represif, otoriter, dan tidak demokratis), sebaliknya, jika POS tinggi, kemungkinan adanya gerakan sosial yang besar akan semakin kecil. Hal inilah yang terjadi dalam PRD dan tidak terangkum jika kita mengkaji hanya dari sudut pandang teori mobilisasi sumberdaya saja. Memang, secara mobilisasi sumberdaya, PRD terhitung organisasi gerakan yang berhasil, namun kita juga tidak bisa melupakan keberhasilan itu karena PRD menjadi radikal dalam struktur politik yang sebenarnya tidak memungkinkan hal tersebut. Contoh yang lebih nyata adalah apa yang terjadi ketika orde baru tumbang dan reformasi bergulir. Ketika reformasi bergulir, maka secara cepat struktur politik berubah 180 derajat. Indonesia menjadi negara yang benar-benar demokratis, POS terbuka sangat besar, hingga munculnya partai-partai baru bagai jamur dimusim hujan. PRD yang berada ditengah-tengah pusaran demokrasi tersebut lambat laun kehilangan perannya sebagai organisasi radikal.
DAFTAR PUSTAKA
Irawati. (2012). Identitas Kultural dan Gerakan Politik Kerapatan Adat Kurai Dalam
Representasi Poitik Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 3 (1 Februari
2012).
Miftahuddin. (2004). Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani. Depok:
DESANTARA
Porta, Donatella Della dan Mario Diani.
(2006). Social Movement: an Introduction
Oxford: Blackwell Publishing.
[1]
Sosial demokrasi merupakan salahsatu turunan dari ideologi sosialisme, sering
juga disebut kiri moderat.
[2]
Lahir di Cilacap, Jawa Tengah, 10 Maret 1970;pernah menjadi mahasiswa fakultas
ekonomi UGM; pernah dijebloskan ke penjara karena dianggap sebagai dalang
penyerangan kantor PDI pada 27 Juli
1996. Sekarang Budiman Sudjatmiko adalah anggota DPR 2009 - 2014 dari
Partai PDI Perjuangan.
[3]
Miftahuddin. Radikalisasi Pemuda: PRD
Melawan Tirani. Hlm. 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar