Gerakan perlawanan mahasiswa Universitas
Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rektorat yang sempat hangat beberapa
waktu silam meredup. Gerakan #SaveUI yang dipelopori lembaga formal kampus
berawal dari ketidakberesan pengelolaan Universitas yang dianggap tidak
transparan dan akuntabel. Ketidak transparanan dan akuntabilitas ini berdampak
langsung pada tata kelola Universitas yang merugikan sivitas akademika secara
keseluruhan. Pembangunan mercusuar-mercusuar baru yang kurang memperhatikan
konsep kebutuhan dan urgensitas, sentralisasi keuangan dan sentralisasi
kekuasaan, juga banyak permasalahan lain adalah latar belakang mahasiswa (juga
sivitas akademika lain) melakukan perlawanan.
Belumlah terlihat ujung pangkal dari
semua permasalahan ini, tergerus waktu dan lobi-lobi kepentingan (mungkin),
juga ketidak siapan mahasiswa melakukan pergerakan membuat pihak rektorat
keluar dengan kepala mendongak sebagai pemenang. Padahal, jika melihat realitas
yang terjadi pada kampus ini, sebenarnya saat ini perlawanan seharusnya tetap
dilakukan.
Mengapa Hilang?
Timbul pertanyaan yang mungkin juga
adalah pertanyaan dari banyak mahasiswa lain, mengapa isu #SaveUI hilang
ditelan bumi? Secara pribadi yang berada di luar lingkaran lembaga formal
kemahasiswaan, saya mencoba menganalisa perlawanan yang meredup ini. Menurut
asumsi saya, ada beberapa faktor yang menyebabkan gerakan perlawanan ini hilang
bahkan sebelum sampai pada tujuannya. Pertama, memang adanya ketidak siapan
dari mahasiswa itu sendiri untuk melakukan perlawanan. Kedua, terjadinya
lobi-lobi politik. Ketiga, ada pihak dibelakang layar yang telah mendapatkan
apa yang diinginkan. Dalam esai kali ini saya akan memfokuskan pada faktor
ketidak siapan mahasiswa dalam melakukan perlawanan.
Ketidaksiapan Mahasiswa
Semua terjadi begitu cepat, dan memang
begitu. Berawal dari pemberian gelar kehormatan bagi Raja Arab, ketidak
setujuan datang bertubi-tubi dari berbagai pihak khususnya untuk Rektor UI yang
memberikan gelar tersebut. Isu yang bahkan sempat menjadi isu nasional ditengah
maraknya TKI yang dihukum mati di negeri Arab sana menjadi pintu masuk
terbukanya kebobrokan yang selama ini tertutupi.
Tidak Adanya Grand Issue dan Renstra
Meskipun isu ini bergulir begitu cepat
dan sulit diprediksi apa yang terjadi setelahnya, harusnya mahasiswa, khususnya
BEM UI yang (katanya) merupakan penggerak gerakan mahasiswa, sudah
mempersiapkan jauh-jauh hari jika hal ini terjadi. Bukankah ketidakberesan tata
kelola kampus sudah menjadi rahasia umum lagi dikalangan mahasiswa? Dan
bukankah hal itu juga telah berlangsung sekian lama, tepatnya di era
kepemimpinan rektor sekarang ini? Harusnya dengan tempo waktu seperti itu sudah
disiapkan langkah-langkah strategis dan konkret untuk melakukan perlawanan, ini
adalah bukti BEM UI tidak memiliki renstra dalam pergerakannya dan cenderung
bergerak berdasarkan isu.
Mengapa saya berkata seperti itu?
Seseorang/lembaga yang memiliki renstra sudah mengetahui apa yang akan dilakukan
dalam masa kepengurusannya. Renstra itu secara hierarkis berada di bawah grand
issue, yaitu tema utama yang akan diperjuangkan. Misal, sebuah lembaga,
katakanlah itu BEM UI, jika dia memiliki grand issue, misalnya tata kelola
kampus, maka secara hierarkis dia juga akan membuat renstra, apa yang akan
dilakukannya satu tahun kedepan. Dia akan tahu apa yang akan dilakukan bulan
Januari, Februari, Maret, dsb. Hal ini akan membuat pergerakan menjadi terarah
dan tidak reaksioner (tergantung isu). Kita analogikan grand issue ini sebagai
perjalanan serang musafir. Seorang musafir yang memiliki tujuan yang jelas,
misal, menuju Aceh, akan tahu kemana langkah kakinya akan berjalan, kendaraan
apa yang akan dipakai, dan rute apa yang akan dilewati. Meskipun dalam perjalanannya
seorang muusafir itu tertarik untuk singgah di Yogyakarta, bandung, atau
Jakarta, dia akan tetap memiliki tujuan akhir, Aceh. Berbeda dengan musafir
yang tidak memiliki tujuan yang jelas, dia akan berjalan kemana angin
menuntunnya.
Inilah yang saya lihat terjadi di BEM
UI. Tidak adanya grand issue dan renstra membuat gerakan menjadi reaksioner dan
kesiapan pun tidak sempurna. Ketergantungan pada isu terlihat dari perlawanan
yang dilakukan berawal dari pemberian gelar kehoratan pada raja Arab. Saya
yakin, kalaupun pemberian gelar tersebut tidak pernah ada, BEM UI tidak akan
pernah melakukan perlawanan aksi masa.
Tidak Pandai Mengolah isu
Masalah yang saya pikir juga adalah
turunan dari ketiadaan grand issue dan renstra adalah ketidak cakapan mengolah
isu. Jika sebelumnya saya jelaskan bahwa dengan adanya renstra gerakan dapat
tertata dengan rapi, maka yang terjadi sekarang adalah ketiadaan renstra
membuat sulitnya mengolah isu. Masih teringat ketika isu #SaveUI silam, dua
minggu berturut-turut selalu ada agenda perlawanan yang dilakukan. Bukan hanya
mahasiswa tapi juga paguyuban pekerja hingga para dosen senior. Setelah dua
minggu itu, kekaburan dan kebingungan jelas terlihat. Layaknya mahasiswa
angkatan ‘98 kebingungan, apa yang mesti dilakukan pasca Suharto turun, itulah
yang terjadi pada mahasiswa UI ketika itu. Akhirnya, ditelan waktu isu inipun
menguap diterik mentari. Sayangnya, setelah beberapa bulan, terlihat tidak adanya upaya untuk
menghidupkan kembali isu ini.
Kaderisasi yang Tidak Berjalan Optimal
Adapun kaitan ketidak beresan tata
kelola Universitas yang terjadi khususnya di era kepemimpinan rektor sekarang
dengan ketidak siapan mahasiswa untuk melakukan perlawanan adalah kaderisasi
yang tidak berjalan optiimal. Memang, regenerasi tetap ada dan akan selalu
berjalan tiap tahunnya. Namun, yang perlu diingat adalah, apakah regenerasi itu
juga membawa nilai-nilai kaderisasi pada pemimpin selanjutnya? Karena nyatalah
kaderisasi dan regenerasi itu amatlah berbeda. Regenerasi adalah sekedar
suksesi, sedangkan kaderisasi lebih dalam dari itu. Penanaman nilai-nilai
pergerakan, sejarah di masa lampau, dan berbagai soft skill dilakukan dalam
proses kaderisasi.
Contoh kecil, apakah mahasiswa-mahasiswa
baru itu tahu siapa itu gumilar? dari mana asal dia? dan yang paling penting
adalah janji-janji manis gumilar ketika baru saja menjabat sebagai rektor? Ya,
hanya segelintir mahasiswa baru yang mengetahui apa itu TriHama. Tiga harapan
mahasiswa kepada gumilar ketika dia baru terpilih sebagai rektor kala itu.
Pertama, jadikan UI tetap kampus rakyat, kedua tidak memudahkan tiap kegiatan
mahasiswa, dan ketiga tidak menaikkan biaya kuliah. Contoh kecil ini
menggambarkan kemacetan jalannya kaderisasi. Padahal, melakukan kaderisasi
adalah melakukan pekerjaan untuk masa depan. Kaderisasi yang tidak berjalan
membuat api semangat gerakan yang diwariskan dari pada senior makin meredup dan
pada akhirnya hilang.
Akhir Masa jabatan?
Ini asumsi saya yang paling frontal dan
semoga tidak benar. Jika dalam skala nasional para tokoh sudah gencar melakukan
pencitraan menjelang pemilu 2014 dan mengabaikan apa yang seharuusnya mesti
mereka kerjakan, maka mejelang akhir masa kepengurusannya para ketua lembaga
ini (mungkin) sudah lelah dan membebankan apa yang belum selesai pada masa
jabatannya kepada penerusnya tahun depan. Sekali lagi, ini asumsi saya yang
paling frontal dan semoga tidak benar.
Namun, memang seharusnya jika garis
pergerakan dari satu masa pengurusan ke masa pengurusan lainnya ada sebuah
kesinambungan dan tidak terputus sama sekali. Sebagai contoh, perlawanan
terhadap liberalisasi pendidikan sudah dilakukan sejak tahun 2000 (ketika
kampus beruunah menjadi Badan Usaha). Perlawanan ini berkesinambungan dan pada
akhirnya UU BHP sebagai legitimasi badan hukum dalam dunia pendidikan dicabut.
Dalam skala UI, artinya ketika masa kepengurusan tahun ini diganti dengan tahun
setelahnya, maka wajib hukumnya meneruskan perlawanan terhadap pihak kampus
yang sewenang-wenang. Sampai akhir, sampai tuntas.
Tuntaskan!
Akhirnya, genderang perang sudah
terlanjur ditabuhkan. Sudah saatnya mahasiswa melawan. Perlawanan ini tentunya
juga harus memiliki syarat-syarat agar tidak ‘mati muda’ dan hilang sebelum
terbilang. Pertama, grand issue dan renstra wajib dibuat sebagai bekal
perlawanan yang bertahap dan tersusun. Kedua, pandai-pandailah dalam mengolah
isu. Dan ketiga, untuk jangka panjang perbaikan dalam sistem kaderisasi harus
dilakukan.
Tuntaskan! Tuntaskan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar