Nama kecilnya
hanyalah Ibrahim, nama Tan Malaka didapat ketika dia dirasa telah dewasa oleh
adat daerah tempat ia dilahirkan. Nama lengkapnya ialah Sutan Datuk Ibrahim Tan
Malaka. Tan Malaka dilahirkan di daerah Suliki, Minangkabau, Sumatra Barat. Di
daerah ini adat Islam masih sangat kental terasa, dan, Tan Malaka hidup ditengah
kondisi seperti ini yang sangat mempengaruhi hidupnya hingga akhir hayat. Tak
ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya
penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 juni 1897, adalah
Djamaluddin Tamim dalam bukunya Kematian Tan Malaka.
Adat Minang sangat
dinamis yang menjadikan posisi rantau sebagai simbol dinamisnya kehidupan
sangat penting. Rantau adalah tanda seorang anak telah tumbuh dewasa dan telah
mampu untuk ‘melihat’ dunia. Selain itu, rantau juga bertujuan untuk memecahkan
masalah-masalah yang tidak terpecahkan ketika seseorang masih berada di kampung
halamannya. Rantau dijadikan alat untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya, dan
diharapkan masalah-masalah yang tidak terpecahkan sebelum merantau akan
terpecahkan ketika seseorang kembali dan membawa ilmu dan pengalaman yang dapat
membuat seseorang semakin bijak menghadapi masalah.
Dengan latar belakang
tersebut, Tan akhirnya memutuskan untuk pergi merantau ke negeri Belanda.
Selain untuk merantau, kepergian ke Belanda juga untuk menyelesaikan pendidikan
sebagai Hoofde Acte (guru kepala). Semasa di Sekolah Guru Belanda, ia menonjol
dalam ilmu pasti sehingga guru-gurunya kerap memberi pujian. Ketika pecahnya
Revolusi Rusia (1917), ia menjadi berminat terhadap buah pikiran Marx-Engels,
sehingga sering mengikuti pembicaraan politik kaum kiri di Amsterdam. Selain
itu, di negeri Belanda ini Tan juga mulai mempelajari filsafat Nietzsche.
Kehidupan politik Tan
Malaka dimulai ketika dia gagal dua kali dalam menempuh ujian guru kepala. Tan
bertemu dengan tiga serangkai (Cipto Mangunkusumo, Douwes Dekker, Suwardi
Suryaningrat) yang ketika itu sedang menjalankan hukuman pembuangan. Dengan
melihat semangat menggelora plus kecerdasan intelektual dari Tan, tiga serangkai
ini memutuskan untuk menjadikan dia sebagai perwakilan dalam National Indische
Partij. Otomatis inilah momen pertama Tan mengawali sepak terjangnya di dunia
politik.
Karena aktivitasnya
yang (dianggap) menggangu keamanan, Tan dipindahkan oleh petinggi Belanda untuk
mengurusi bidang pendidikan saja. Tan dikirim kembali ke Indonesia untuk
mengajar ‘anak-anak kontrak’ di perkebunan tembakau Sanembah Mij, Sumatera
Timur. Namun, seorang revolusioner dimanapun berada tidaklah mampu
diberhentikan. Nyatanya, tetap saja di perusahaan ini Tan masih dianggap
berbahaya. Pada Februari 1921 Tan dibuang ke pulau Jawa. Di Yogya Tan mulai
mengenal tokoh-tokoh pergerakan nasional macam HOS Tjokroaminoto, Semaun,
hingga Darsono.
Melihat track record
Tan Malaka, Semaun tertarik untuk menjadikan orang yang sewaktu kecilnya gemar
mendengarkan musik cello dan bermain bola ini sebagai guru untuk anak-anak
anggota Sarekat Islam (SI) Yogyakarta. Pada waktu itu, SI Surabaya dibawah
pimpinan Pak Tjokro dan SI Semarang di bawah komando Semaun sedang berada dalam
konflik ideologis. Tan Malaka tampil kemuka untuk meredakan konflik tersebut.
Desember 1921, Tan
terpilih menjadi ketua PKI menggantikan Semaun yang pergi ke Sovyet, namun hal
ini hanya berlangsung sangat singkat. Karena sebuah pidato yang dianggap
melecehkan pemerintahan kolonial tahun 1922, Tan dibuang kembali ke negeri
Belanda (atas pilihannya sendiri) dan baru kembali ke Indonesia tahun 1942 pada
masa pemerintahan militer Jepang. Saat pemerintahan militer Jepang, Tan sama
sekali tidak tampil kemuka dan melakukan bergerakan bawah tanah. Menurut Harry
A. Poeze, Tan sibuk pada kegiatan di Bayah menjadi seorang mandor Romusha.
Terhitung, telah 89
ribu kilometer atau setara dengan dua kali mengelilingi bumi telah Tan Malaka
lalui dalam masa perantauannya. 11 negara telah ia datangi (Indonesia, Belanda,
Jerman, Rusia, Filipina, Singapura, Thailand, Cina, Hongkong, Burma, dan
Malaysia. Mempunyai 23 nama samaran dalam perantauannya. 13 penjara pernah Tan
masuki. Dan ada 8 bahasa yang Tan kuasai (Minang, Indonesia, Belanda, Rusia,
Jerman, Inggris, Mandarin, Tagalog)
Menurut
autobiografinya, Dari Penjara ke Penjara II (hlm. 159) pada tanggal 15 Agustus
s/d 1 Oktober 1945 dia ada di Jakarta, tinggal di rumah Sukarni dan menyamar
sebagai Ilyas Husein. Tanggal 9 September 1945, Tan bertemu muka untuk pertama
kali dengan Sukarno, saat inilah muncul testamen yang sempat membuahkan
kontroversi. Sukarno menjanjikan “kalau saya kehilangan kemampuan bertindak,
akan saya serahkan pimpinan revolusi kepada anda”. 1 Oktober 1945 Tan
meninggalkan Jakarta, dan tidak pernah kembali hingga ajal menjemput.
Setelah mempelajari
situasi dan melihat kesiapan republik menghadapi revolusi, Tan mendirikan
Persatuan Perjuangan di Surakarta pada 15-16 Januari 1945. Agenda dari
Persatuan Perjuangan ini adalah mendesak pemerintah -yang ketika itu perdana
menterinya Sutan Sjahrir- untuk melaksanakan minimun program yang terdiri dari
7 pasal.
Dalam hal berpolitik,
Tan Malaka adalah salah seorang penganut paham kemerdekaan 100% (yang se-visi,
diantaranya oleh Jendral Sudirman) dan samasekali tidak menyetujui apapun
bentuk politik diplomasi. Padahal, ketika itu pemegang pucuk pemerintahan
adalah orang-orang yang mengetengahkan politik diplomasi ketimbang perang
terbuka. Praktis, Tan melawan empat singa sekaligus: Sukarno, Hatta, Sjahrir,
dan Amir. 3 nama yang disebutkan pertama adalah penganut paham diplomasi,
sedangkan Amir (selain juga diplomasi) adalah musuh Tan semenjak pecahnya
perjanjian Prambanan yang membuat Tan dicap pemberontak oleh PKI hingga
Komitern.
Tanggal 17 Maret, Tan
bersama 46 tokoh Persatuan Perjuangan ditangkap pemerintahan Amir-Sjahrir.
Menurut Moh. Yamin, penangkapan tersebut karena Persatuan Perjuangan dianggap
sangat radikal dan dianggap kaum ekstrim.
Tan baru keluar
penjara pada 16 September 1948. Setelah keluar, Tan diminta rehat sejenak dari
percaturan politik karena alasan keamanan oleh Laskar Jawa Barat. Namun, karena
desakan berbagai pihak pula, Tan kembali ‘bermain’ dalam panggung politik dan
mendirikan Partai Murba pada 7 November 1948 di Yogyakarta. Keluarnya Tan dan
pendirian partai Murba ini membuat petinggi Republik merasa terancam. Di tengah
kondisi dalam negeri yang masih semrawut, ingatan rakyat teringat kembali pada
sosok satu ini. Tan untuk pertama kalinya berpidato di depan corong RRI setelah
ditahan dan menyerukan rakyat semesta untuk tidak mempercayai semua bentuk
perundingan/diplomasi. Sontak pidato Tan di RRI itu membuat dirinya dicap
sebagai perebut kekuasaan oleh para oposisinya.
Tindakan tegas mulai
dilakukan untuk membendung pergerakan Tan Malaka. 1 Desember 1948 Hatta
memberangus koran partai Murba di Solo dan menghentikan izin mengudara radio
Partai Murba. 15 Desember 1948, Nasution atas komando dari Hatta mulai melucuti
senjata kelompok militer yang loyal terhadap Tan (kelompok militer non-reguler
yang dibentuk atas inisiatif rakyat).
Menurut Sekretariat
Urusan Agitasi-Propaganda Dewan Partai Murba tanggal 19 Februari 1957, pasukan
Tan ditipu habis-habisan. Berita dari tentara resmi, Belanda akan menyerang
besar-besaran ke daerah Mrican dan Glogol, sontak mendengar berita itu tentara non-reguler
yang berada di sekeliling Tan langsung berangkat sebanyak 3 batalyon, otomatis
mereka meninggalkan Tan dan satu batalyon tentara dengan sedikit senjata. Yang
terjadi adalah, mereka yang bertahan di tempat malah dilucuti oleh tentara
resmi dan disekap dalam sebuah rumah dekat sungai Brantas.
Menurut Djamaluddin
Tamim, Tan ditembak mati pada 19 Februari 1949 di pinggir sungai Brantas, desa
Mojo, 10 KM selatan kota Kediri oleh dan atas perintah Letkol Surachmat (Kepala
Staf) dan Kolonel Sungkono (Panglima dan Gubernur Jawa Timur). Lebih jauh, dia
menjelaskan bahwa Mohammad Hatta-lah yang mengatur insiden berdarah ini.
Mudahnya seperti ini: Pemerintah Sukarno-Hatta mengintruksikan Nasution
melucuti senjata Tan - Nasution memerintahkan otoritas Jatim, kolonel Sungkono
untuk membereskan Tan Malaka - Sungkono menunjuk Letkol Surachman sebagai
pengeksekusi - Acara pun selesai dengan terbuangnya nafas Tan Malaka.
Pernyataan Tamin ini dibenarkan juga oleh Manuel Kaisepo dan Leslie Palmer.
Beberapa Karya
Tan Malaka adalah
seorang pemikir besar. Bahkan Tan Malaka telah menggagas sebuah pemikiran
tentang bentuk negara republik jauh sebelum tokoh nasional lain sempat
memikirkannya. Hal ini tertuang dalam buah pikirnya Naar de Republiek Indonesia
(1924). Selain itu, tercatat ada 26 karya yang menjadi buah pikir Tan Malaka,
diantaranya Dari Penjara ke Penjara (yang terdiri dari 3 jilid), Massa Aksi
(1926), Gerpolek (1948), hingga karya terbesarnya Madilog (1943).
Madilog: Warisan
Terbesar
Di desa Rawaajati,
daerah Kalibata, Jakarta, dalam sepetak ruang seluas 15 meter persegi
terciptalah sebuah mahakarya peninggalan Tan Malaka yang dibuat ketika Tan
dalam persembunyian dari Kempetai atau polisi rahasia Jepang yang sangat
mahsyur dan orisinil, Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika).
Mahakarya yang
diciptakan sejak 15 Juli 1942 dan rampung pada 30 Maret 1943 atau selama
delapan bulan dengan rata rata penulisan tiga jam setiap hari ini menurut
sejarawan Belanda, Harry Albert Poeze, merupakan bentuk pikiran yang telah
mengendap bertahun-tahun dalam diri Tan Malaka. Tan merangkum pemikirannya dari
hasil bacaan selama pengembaraan di Belanda, Cina, hingga Singapura.
Tidak seperti buku
lainnya, Tan tidak mencantumkan sumber rujukan dalam Madilog. Jilid pertama
seluruhnya dituliskan berdasarkan ingatannya. “Tan ingin menunjukkan kesan
bahwa Madilog sepenuhnya buah pemikirannya” kata Poeze. Istilah Madilog sendiri
merujuk pada cara berpikir, bukan pandangan hidup. Inti dari Madilog adalah
penglihatan masa depan Indonesia yang merdeka dan sosialis.
Tan membawa naskah
Madilog ke Bayah, Banten Selatan ketika dia menyamar menjadi seorang romusha.
Madilog juga dibawanya berpetualang ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tan baru
memperkenalkan Madilog setelah tiga tahun kemunculannya. Tan menulis “Kepada
mereka yang sudi menerimanya. Mereka yang sudah mendapat minimum latihan otak,
berhati lapang dan saksama serta akhirnya berkemauan keras buat memahamkannya”
Buku ini menguraikan
tiga hal yang menjadi pokok persoalan, yaitu tentang Materialisme, Dialektika, dan
Logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi sebagai
dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat
materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradiksi. Prinsip
logika berbunyi: A tidak mungkin sama dengan yang bukan A. Sebaliknya,
dialektika menunjukkan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Air
adalah air dan bukan uap. Tapi dialektika menunjukkan perubahan air menjadi uap
setelah dipanaskan hingga 100 derajat Celcius.
Dalam pandangan
Marx-Engels, bukan ide yang menetukan keadaan masyarakat dan kedudukan
seseorang dalam masyarakat, melainkan sebaliknya, keadaan masyarakatlah yang
menentukan ide. Dengan pemikiran ini jelaslah mengapa Tan mencoba
merekonstruksi keadaan masyarakat agar tidak lagi terjerat akan ide-ide mitos
yang sangat tidak memberikan perkembangan kearah sintesisnya. Salah satu
caranya tentunya membuat Madilog ini sendiri dan merevolusionerkan rakyat Murba
(atau dalam termilogi Marx disebut kaum Proletar dan Sukarno menyebutnya kaum
Marhaen).
Tan menginginkan
Madilog sebagai panduan cara berpikir yang realistis, pragmatis, dan fleksibel.
Sebuah pemikiran hasil Barat yang mencoba mengikis nilai-nilai feodalisme,
mental budak, dan kultur tahayul yang diidap rakyat Indonesia ketika itu.
Namun, selain dari pemikiran Barat sendiri, Madilog adalah sebuah sintesa dari
seseorang berlatar belakang budaya Minangkabau. Ini terlihat dari pemikiran
Madilog yang mencoba ‘membumi’ dengan alam Indonesia.
Madilog lahir melalui
sintesa antara dua kutub filsafat yang sangat bertentangan yaitu aliran Hegel
dan Marx-Engels. Hegel dengan filsafat dialektis (thesa, antitesa, dan sintesa)
dengan kebenaran yang menyeluruh (absolute idea) hanya dapat tercapai melalui
perkembangan dinamis. Hegel berpendapat bahwa bahwa untuk mencapai kebenaran
mutlak, pemikiran lebih penting daripada materi.
Sementara itu, bagi
Marx-Engels, proses dialektika ini lebih cocok diterapkan dalam ranah materi
melalui revolusi perpindahan kelas mayoritas menjadi kelas yang sesungguhnya,
yaitu masyarakat tanpa kelas. Jadi, materi menurut Marx-Engels lebih penting
daripada ide atau pemikiran. Nah, melalui Madilog inilah Tan mencoba
mensintetiskan kedua pemikiran ini untuk mengubah budaya masyarakat yang berlandaskan
mitos menjadi masyarakat yang berdasarkan sains –sebuah beban dari alam
pemikiran mistis-. Melalui sains, mindset masyarakat Indonesia harus dirubah,
logika ilmiah dikedepankan, pikiran kreatif dieksplorasi sehingga tercipta
susunan masyarakat baru berlandaskan Madilog. Sebuah masyarakat baru yang
terbebas dari mitos-mitos kuno.
Sebagai sintesa hasil
perantauannya, madilog merupakan manifestasi simbol kebebasan berpikir Tan
malaka. Ia bukan dogma yang biasa ditelan begitu saja. Menurut dia, justru kaum
dogmatis yang cenderung mengkaji hafalan sebagai kaum yang bermental
budak/pasif yang sebenarnya. Disinilah filsafat Idealisme dan Materialisme ala
barat dan konsep rantau disintesiskan Tan Malaka.
Lembar demi lebar
ditulisnya di dalam suasana kemiskinan, menjadi buron, penderitaan, dan
kesepian yang begitu ekstrim. Namun, Madilog-lah yang menjadi puncak kualitas
orisinal pemikiran terbaik Tan Malaka yang dikumpulkannya dalam Haarlem,
Nederland (1913-1919), sampai kelahiran buah pikirnya itu di Rajawati (1943).
DAFTAR PUSTAKA
Hery, Yunior Hafidh. 2007. Tan
Malaka Dibunuh!: Meneropong Krisis Politik 1945- 1949.Yogyakarta: Resist Book
“Macan dari Lembah
Suliki”. [Artikel]. Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2008, h. 77
“Naskah dari
Rawajati”. [Artikel]. Tempo, Edisi 11-17 Agustus 2008, h. 50
Tidak ada komentar:
Posting Komentar