Aku bergegas menuju kampus FIB UI pukul
11 lewat. Sudah tersusun rencana yang sangat rapi apa yang akan aku karjakan
nanti. Mengambil bank soal, mengatur mentoring Pandu Budaya, menyelesaikan
mengunduh film, dan mengerjakan tugas kuliah tentunya. Lama aku menunggu bis
kuning datang di halte kukusan. 15 menit kemudian, bis pun datang, tidak
terlalu penuh.
Didalam bis, aku melihat empat anak yang
wajahnya sudah tidak asing lagi bagiku. Mereka adalah penjual koran, namun kali
ini mereka menjual tissu. Didalam bis kuning, mereka asyik bermain, melepas
segala penat dari beban mencari uang yang sudah terlanjur ditumpukkan pada
pundak mungil mereka. Aku yakin, beban hidup mereka teramat berat dibanding
para mahasiswa-mahasiswa yang sering mereka sebut ‘kakak’ dengan teramat
hormat. Beban mencari rupiah mereka pastilah lebih berat ketimbang beban-beban
para ‘kakak’ yang hanya setumpuk tugas dan kegiatan organisasi.
Satu anak mengenakan kemeja biru, kedua
kaos hitam, dan yang ketiga kaos hitam namun kebesaran. Ketiga anak ini tidak
bisa duduk tenang di dalam bis kuning. Tiap pemberhentian di halte, yang mereka
lakukan adalah berdiri di pintu masuk. Layaknya penjaga pintu di sebuah istana,
ketika para mahasiswa masuk bis kuning, mereka memberikan senyum terindah, amat
manis. Namun, anak keempat yang mengenakan kaos biru bergaris hitam putih dan
mengenakan topi hitam bergambar naruto terlihat berbeda. Yang dia lakukan
hanyalah melihat kearah teman-temannya yang sedang bermain sambil sesekali
tersenyum. Adakah yang kau rasakan sungguh berat, Dik? Ataukan tissu yang kau
peluk sedari tadi menjadi saksi betapa ‘kakak-kakak’ yang kau harapkan
mengeluarkan sedikit recehnya untukmu malah memberikan mimik merendahkan?
Dik, kampus perjuangan ini memang sudah
berbeda dari apa yang ayah atau ibumu kenal berpuluh tahun lalu. Kampus yang
katanya kampus rakyat ini hanyalah omong kosong. Lihatlah, sekelilingmu
mercusuar-mercusuar baru mulai memperlihatkan kecongkakkannya. Lihat pula
‘kakak-kakak’ itu, betapa mereka hidup diawang-awang, menikmati berbagai
fasilitas yang diberikan orang tua mereka seakan-akan itu adalah miliki mereka.
Mereka lupa bahwa masih ada kalian, masih ada rakyat yang menangis tiap malam,
masih ada rakyat yang tinggal di kolong jembatan, dan masih ada kau, Dik.
Mungkin kau adalah anak-anak
terpinggirkan zaman, anak yang aku yakin kau tidak ingin menanggung beban
sebesar itu dimasa kecilmu. Namun percayalah dik, aku selalu yakin bahwa kau
adalah penerus bangsa yang sejati. Bukan ‘kakak-kakak’ yang kau hormati itu!
Yakinlah, ketika suatu saat nanti kau memegang tempat sebagai petinggi negeri
ini, kau akan menjalankan amanah rakyat dengan sepenuh jiwa. Kau pernah
merasakan kesusahan, kemiskinan, kemelaratan. Maka, ketika kau menjadi orang
besar kelak, ingatlah dik, kau pernah berada di bawah.
Bis kuning pun berehenti di halte FIB.
Aku turun dengan berjuta pengharapan kepada keempat anak tadi. Mereka? Masih
melanjutkan perjalanan kehidupan mereka yang tentu masih teramat panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar