Jumat, 01 Februari 2013

Reason in Revolt: Revolusi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan Modern



“Ketika kita merenungi alam atau sejarah umat manusia atau aktivitas intelektual kita sendiri, pertama-tama kita melihat satu gambar yang terdiri dari jaring-jaring hubungan yang tiada ujung-pangkalnya, dimana tidak sesuatupun yang tinggal tetap, dimana dan sebagaimana adanya, tapi segala sesuatu bergerak, berubah, lahir dan mati…”


Buku yang dibuat oleh Ted Grant dan Alan Woods berjudul asli Reason in Revolt: Marxism  and Modern Science ini mencoba membuktikan bahwa marxisme bukanlah persoalan ekonomi  dan politik saja. Di dalam marxisme tersebut tersimpan satu filsafat materialisme-dialektik, satu aliran filsafat yang merupakan metode berpikir dalam memandang alam secara keseluruhan beserta perkembangan-perkembangannya.

Materialisme dialektik secara sederhana dapat dicirikan dengan perkembangan yang terus menerus, sebagaimana dialektika Hegel, melalui proses tesis-antitesis-sintesis -dan perkembangan ini  dapat digambarkan dengan model spiral, model menuju perkembangan tertinggi-. Perbedaan antara dialektika Hegel dan Marx (juga Engels) adalah Hegel menganggap dialektika ini terjadi di dunia ide, sedangkan realitas hanya merupakan cerminan dari apa yang ada di dunia ide tersebut, maka dari itu dialektika Hegel adalah dialektika-idealis. Hal ini bertolak belakang dengan Marx yang menyandarkan perkembangan masyarakat pada apa yang benar-benar terjadi, pada realitas, pada dunia materi. Maka muncullah hukum yang tenar itu “bukan kesadaran yang menentukan keadaan, sebaliknya, keadaanlah yang menentukan kesadaran”.

Materialisme-dialektis inilah metode berpikir yang coba dibuktikan dalam buku ini, bahwa materialisme-dialektis merupakan satu-satunya metode berpikir yang dapat dengan memuaskan menjelaskan proses kehidupan. Melalui bab-babnya yang membuat kening berkerut, kita diantarkan pada kenyataan bahwa sejarah perkembangan alam ini, dari terciptanya alam semesta, kehidupan sederhana sel tunggal hingga kompleksitas perkembangan ras manusia merupakan proses yang dialektis, proses yang terus menerus namun tidak gradual sebagaimana teori darwin melainkan penuh dengan gejolak dan perubahan yang mendadak. Mari kita simak satu contoh kasus dalam bab ini, yaitu perkembangan umat manusia.

Dalam teori darwin, umat manusia (homo sapien sapien) merupakan hasil dari evolusi, hasil dari seleksi alam yang berlangsung selama jutaan tahun. Sepintas lalu teori darwinisme ini cocok dengan penjelasan materialisme bahwa segala sesuatu bermula dari materi, yang ada pasti berasal dari yang ada dan tidak mungkin berasal dari ketiadaan. Namun, ada perbedaan yang mencolok dari kedua teori ini. Darwinisme menganggap bahwa seleksi alam terjadi secara gradual, perlahan dan linier. Sedangkan materialisme-dialektik mengangggap sejarah perkembangan umat manusia merupakan suatu proses yang revolusioner dengan lompatan disana-sini. Kemudian, materialisme-dialektis, khususnya Engels dalam Anti Duhring-nya menjelaskan bahwa darwinisme  masih sangat terpengaruh ajaran idealisme dan maltuhusisme. Dengan meyakini darwinisme, berarti mendukung gerakan perbudakan yang mayoritas merupakan kulit hitam karena dalam proses evolusi mereka hanya satu tingkat dibawah hewan (dimana kulit putih menduduki kasta tertinggi).

Bagaimana umat manusia dapat berkembang menjadi mahluk yang sangat kompleks seperrti saat ini?  Tarik menarik penjelasan adalah antara paham materialisme dan idealisme. Menurut kaum idealis, umat manusia sudah diberkahi  ‘otak yang cerdas’ dari sang pencipta (dan ini didukung oleh kaum agamawan), dengan ‘otak yang cerdas’ tersebut mereka mampu untuk menciptakan alat yang paling sederhana seperti kapak untuk menguliti hewan dan menemukan api. Hal yang bertolak belakang dijelaskan oleh para materialis, bahwa perkembangan umat manusia pada awalnya adalah ketika kera tidak lagi hidup di pohon dan memutuskan hidup di atas tanah dengan kedua kakinya, sehingga, hal ini berakibat pada lebih leluasanya penggunaan tangan untuk bekerja. Demikianlah, perkembangan manusia bukan karena dia diberkahi pikiran yang cerdas, namun keadaan merekalah (terutama kerja pembuatan alat), yang beradaptasi dengan lingkungannya, membuat lompatan lompatan revolusioner. Dalam proses ini mulai dikenallah pembagian kerja antara laki laki dan perempuan, hingga kemampuan berbahasa. Proses-proses ini dibarengi dengan peningkatan volume otak, dan telah dibuktikan secara ilmiah. Sekali lagi, bukan kesadaran yang menentukan keadaan, sebaliknya, keadaanlah yang menentukan kesadaran, dan hukum materialisme-dialektis ini telah dibuktikan dalam perkembangan umat manusia.

Menariknya, hukum-hukum materialisme-dialektis, lebih khususnya, apa yang ditulis Engels dalam Anti Duhring makin kesini makin terbukti secara ilmiah. Satu contoh yang paling mencengangkan adalah teori chaos,  yaitu teori yang mencoba menerangkan alam ini dari perspektif ketidakteraturan. Hukum dialektis yang menerangkan bahwa terjadi perubahan kuantitas menjadi kualitas (dan sebaliknya) memainkan peran utama dalam teori chaos, bahwa satu sistem yang kompleks sekalipun memiliki titik-titik instabilitas, titik dimana dorongan yang kecil saja dapat menghasilkan konsekuensi yang besar.

Yang paling menakjubkan dari kemiripan antara teori chaos yang dipelopori ilmuwan alam dengan materialisme-dialektis adalah kebanyakan dari mereka tidak memiliki pengetahuan sedikitpun, bahkan tidak pernah membaca tulisan-tulisan Marx dan Engels, bahkan juga Hegel! Dalam makna tertentu, hal ini memberikan pembenaran yang paling tegas mengenai kebenaran materialisme-dialektis.

Bab terakhir dari buku ini, kembali mengajak kita berefleksi (juga berlawan) atas sistem kapitalistik dan pasar bebasnya yang telah menguasai dunia tanpa ampun. Dimana akibat dari motif pencarian keuntungan, disatu belahan dunia pasokan bahan makanan tersimpan begitu saja, bahkan hingga membusuk dan kemudian dibakar, karena tidak ada yang membeli. Sedangkan dibelahan dunia lain, khususnya di negera dunia ketiga kelaparan hampir setiap saat dapat kita jumpai. Belum lagi masalah masalah lain yang sudah menjadi kebiasaan seperti wabah penyakit, pengangguran, kriminalitas, kerusakan alam, dan berbagai masalah lain akibat dari sistem yang menuhankan perputaran modal ini. Ini bukan soal menyangkal teknologi, tapi perlawanan penyalahgunaan teknologi demi keuntungan pribadi yang menghancurkan lingkungan dan menciptakan neraka di dunia. Dibutuhkan suatu perekonomian terencana yang dijalankan secara demokratik agar potensi dari ilmu dan teknologi dapat ditempatkan sebagai alat bantu manusia, bukan sebaliknya. Dan inilah tugas sentral umat manusia di abad ke 21 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar