Jumat, 13 April 2012

Demonstrasi Setengah Hati

Demonstrasi merupakan salah satu cara yang sering digunakan dalam menyampaikan aspirasi. Kebebasan demonstrasi ini, sebagaimana kita ketahui, tidaklah dapat dirasakan ketika kita masih berada pada zaman otoriter Suharto dengan UU Subversiv-nya. Namun ketika Suharto lengser dan reformasi bergulir, maka iklim demokrasi dibuka seluas-luasnya, selebar-lebarnya. Memang, keadaan ini selain membawa dampak yang sangat baik namun juga membawa implikasi terselubung, diantaranya tidak hanya mahasiswa saja yang bisa melakukan demonstrasi. Buruh, tani, LSM, semua berlomba-lomba melakukan demostrasi menyauarakan aspirasinya asalkan mereka memiliki masa. Akhirnya muncullah demonstran bayaran, demonstrasi titipan, dll.


Saya sendiri masih amat percaya bahwa hal-hal negatif seperti itu (demonstrasi bayaran/titipan) amatlah jauh dari apa yang dilakukan mahasiswa. Mahasiswa masih bergerak berdasarkan moralitas dan intelektualitas mereka untuk memperjuangkan rakyat yang mereka bela. Tidak kurang, tidak lebih. Namun, seperti yang telah saya sebutkan bahwa tidak hanya mahasiswa yang dapat melakukan demonstrasi saat ini, maka amatlah penting untuk melakukan demonstrasi yang matang dan membedakan mahasiswa dengan elemen lainnya.

Diantara hal yang membedakan tersebut adalah kajian yang dilakukan mahasiswa sebelum bergerak. Demonstrasi yang dilakukan harusnya bukan hanya berdasarkan semangat tinggi saja namun harus ditopang oleh kajian mendalam. Namun, menjadi aneh ketika kajian yang dilakukan belum dilakukan/belum rampung malah membuat mahasiswa enggan untuk bergerak. Harusnya, garis tegas yang dilakukan mahasiswa -pertama-tama- adalah melihat kondisi real masyarakat. Ketika suatu kebijakan telah nyata-nyata menindas/merugikan rakyat maka saat itu pulalah mahasiswa harusnya bergerak, sekali lagi, bukan menunggu kajian terlebih dahulu! Pun, kajian yang dilakukan harus berorientasi pada rakyat, bagaimana kajian tersebut menjadi linier dengan kepentingan rakyat, bukan kajian yang tanpa orientasi dan semata mata mengandalkan kemampuan akademis saja dan menghilangkan sisi moralitas atau keberpihakan pada rakyat.

Selanjutnya, sebagaimana esensi demonstrasi, maka kekuatan demonstrasi adalah jumlah massa yang banyak dan aspirasi yang disuarakan. Jumlah demonstran ini tentunya berkaitan dengan agitasi dan propaganda yang dilakukan untuk membumikan isu dan menyadarkan mahasiswa lainnya untuk bergerak. Tentu ini harus ditopang oleh mahasiswa-mahasiswa yang concern pada bidang pergerakan, sebutlah ketua-ketua lembaga yang memiliki otoritas pada konstituennya masing-masing. Kalaupun ketua lembaga yang bersangkutan tidak menyetujui sebuah demonstrasi yang akan dilakukan, maka itu bukanlah alasan untuk tidak membumikan isu kepada konstituennya. Toh tidak mungkin semua konstituen memiliki alur pikir yang sama seperti ketua lembaga tersebut. Pada akhirnya jika agitasi dan propaganda telah dilaksanakan, maka keputusan untuk bergerak atau tidak kembali kepada pribadi masing-masing.

Tujuan demonstrasi adalah mempengaruhi kebijakan agar kebijakan yang diambil sesuai dengan kehendak rakyat. Maka ketika di lapangan, mau tidak mau aspirasi kita harus sampai pada si pembuat kebijakan tersebut. Katakanlah ketika kita melakukan demonstrasi ke DPR untuk menentang sebuah RUU karena nyata-nyata sangat merugikan rakyat, maka adalah keharusan goal dari demonstrasi ini adalah aspirasi yang kita bawa sampai pada para anggota dewan. Sangat lucu ketika kita melakukan demonstrasi hanya sekadar orasi atau teatrikal, misalnya, tanpa adanya anggota dewan yang menyerap aspirasi yang kita bawa. Memang hal ini seringkali diliput oleh media, namun sekali lagi, demonstrasi bukanlah untuk diliput oleh media, bukan untuk menjadi tenar, bukan untuk dipampang dalam headline surat kabar!

Kita sendiri pun tahu ciri dari media di Indonesia adalah 'good news is bad news'. Aksi anarkis yang dilakukan oknum mahasiswa lebih menarik ketimbang aspirasi yang dibawakannya. Hal ini pula yang tidak bisa kita pungkiri memberikan opini umum kepada masyarakat bahwa gerakan mahasiswa tidak lain adalah sebuah bentuk anarkisme.

Kembali kepada aspirasi yang wajib diserap oleh para anggota dewan. Adalah lucu dan menggelikan ketika kita berdemonstrasi dan tidak ada satupun wakil rakyat yang mau menemui kita untuk mendengarkan aspirasi dari kita, kita malah mengakhiri demonsntrasi tanpa ada suatu usaha sama sekali! Dengan alasan kita pasti akan berdemonstrasi lagi untuk meminta para anggota dewan untuk mendengar aspirasi kita, maka saat itu pulalah para wakil rakyat juga tidak akan mau untuk sekadar meluangkan waktunya. Akhirnya mahasiswa semakin dikecilkan perannya dan tidak akan pernah dianggap sama sekali sebagai oposisi abadi pemerintah.

Ketika itu terjadi, maka semboyan bahwa mahasiswa adalah kaum militan, mahasiswa memiliki semangat perlawanan tinggi, semangat juang tinggi, itu semua hanya akan menjadi pepesan kosong belaka! Tentu kita harus membuat batas tegas antara anarkis dan militan untuk memperjuangkan aspirasi yang kita bawa agar didengarkan. Ketika tidak ada satupun anggota dewan yang sudi menemui kita, maka caranya tidak lain adalah membuat mereka mau tidak mau mendengarkan kita. Dengan cara apa? Bukan anarkis, bukan bakar-membakar, rusak-merusak, namun dengan menunjukkan bahwa kita adalah kaum militan! Pantang mundur dari medan laga sebelum aspirasi kita didengarkan langsung oleh telinga mereka!

Sekali lagi, yang dibutuhkan adalah sikap militan, bukan anarkis! Dan memilih untuk tidak mengakhiri demonstrasi ketika belum didengarkan adalah bagian dari itu!

Bayangkan saja apa yang akan terjadi pada gerakan mahasiswa jika hal-hal ini masih saja dipertahankan. Ketika kajian sudah tidak lagi berorientasi pada rakyat, keengganan agitasi dan propaganda, demonstrasi yang sekadar membuat telinga polisi panas dan menjadi cenderung seremonial, mundur dari medan laga sebelum goal tercapai dengan alasan remeh-temeh (padahal untuk menegakkan demokrasi pun mahasiswa dahulu rela tertembak peluru!), mungkin demonstrasi mahasiswa sedang menggali kuburannya sendiri saat ini…

***

2 komentar: