Rabu, 22 Juni 2011

Apakah masih bisa mempercayai BEM UI?

Menjadi mahasiswa bukanlah sebatas menjadi seseorang yang mengenyam pendidikan di sekolah tinggi. Menjadi mahasiswa sejatinya menjadi manusia yang memasuki fase hidup baru yang seharusnya memiliki kontribusi nyata dalam masyarakat. Menurut Bagus Takwin[1], definisi mahasiswa salah satunya adalah calon pembaharu, pembaharu dalam kehidupan bermasyarakat maupun dalam lini kehidupan lainnya.


Jika kita hubungkan dengan kondisi Indonesia dewasa ini, seharusnya mahasiswa memiliki kontribusi yang lebih besar di tengah carut marutnya perikehidupan bangsa. Jiwa-jiwa pembaharu yang harusnya dimiliki mahasiswa sepertinya hanyalah menjadi semboyan tanpa arti. Mahasiswa sebagai kontrol sosial, seharusnya setia mengontrol segala kebijakan-kebijakan pemerintah. Seperti yang dikatakan Arief Budiman dalam bukunya, The Student Movement in Indonesia, gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral adalah gerakan yang menolak segala kepentingan di dalam kekuasaan, kritik yang didasarkan pada pertimbangan moral dan bukan kepentingan politik. Sayangnya, gerakan moral dari mahasiswa, khususnya Universitas Indonesia, dewasa ini seperti mati suri.

Badan Eksekutif Mahasiswa Unversitas Indonesia (BEM UI) yang seharusnya menjadi penggerak dalam gerakan moral ini sampai sekarang -dalam pendangan saya- sama sekali belum menjalankan tugas sebagaimana semestinya. Banyak indikator yang membuat saya berkesimpulan sebagai berikut. Diantaranya:

Pertama, kondisi bangsa dengan isu-isunya yang saling susul-menyusul tanpa penyelesaian yang jelas belum juga membuat BEM UI tergerak untuk melakukan eksekusi nyata dalam bentuk demonstrasi. Isu-isu yang ‘berseliweran’ dewasa ini diantaranya kasus Nazaruddin, kasus ini menunjukkan bahwa korupsi masih menjadi budaya di elit-elit politik. Juga kasus Ruyati yang dieksekusi kerajaan Arab Saudi menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam melindungi warganya, ini juga berarti ketidakmampuan negara mengemban amanah konstitusi yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 ‘melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia’.

Terhitung sejak kepengurusan BEM UI 2011 (hingga tengah tahun) demonstrasi yang dilakukan baru 3 kali, demonstrasi yang dilakukan adalah aksi menentang gedung baru DPR (yang dengan congkak dipajang di baliho depan stasiun UI, juga tidak ada follow up nya sampai sekarang), aksi peringatan reformasi (yang prematur, dibubarkan polisi tanpa perlawanan, padalah sebelumnya Maman sudah mewanti-wanti bahwa kita akan chaos, dan massa aksi menyanggupi, namun semua hanya omong belaka), hingga aksi hari pendidikan (yang massa aksinya tidak seberapa). Demonstrasi haruslah berjalan beriringan dengan diplomasi, bukan mengesampingkan salah satu diantaranya, dan menurut saya, BEM UI lebih mengetengahkan diplomasi. Berkaca pada tahun 2008 dengan ketua BEM UI saat itu Bang Edwin, BEM tahun itu melakukan demonstrasi 22 kali. Sedangkan tahun lalu dengan Imad melakukan 13/14 kali demonstrasi. Dengan intensitas seperti itu, kepengurusan BEM UI tahun sekarang bukanlah apa-apa.

Ketiga, ketidak konsistentan BEM UI menggarap isu-isu yang sudah disepakati sebelumnya dalam Rembug UI. Terhitung ada 4 isu inti yang menjadi concern, yaitu: RUU PT, RAPBN, efektifitas penegakkan hukum, dan restrukturisasi kebijakan kampus. Saya, sebagai ‘orang luar’ dari sistem yang ada, melihat bahwa keempat isu ini belumlah digarap secara serius, padahal, masa kepengurusan BEM UI tinggal setengah tahun. Saya pesimis bahwa empat isu ini dapat digarap sebagaimana mestinya.

Isu terakhir yang saya sebutkan di atas, restrukturisasi kebijakan kampus, bisa dibilang nol besar. Bukan rahasia umum lagi bahwa Universitas Indonesia bukanlah lagi kampus rakyat. Berbagai macam pembangunan a’la politik mercusuar Sukarno mewarnai kampus ini yang membuat UI semakin mencirikan kampus menara gading. Biaya kuliah yang mahal malah membuat para mahasiswa memaklumi dengan segala ‘tipu muslihat’ rektorat yang bernama student unit cost. Sebagai perbandingan, Universitas Airlangga yang rektoratnya berencana menaikkan SP3 (semacam BOPB) menjadi 1.500.000 (sebelumnya 500 ribu) ditentang mati-matian oleh para mahasiswanya. Perlawanan para mahasiswa sangat massiv, bahkan mereka mendirikan posko keprihatinan di dalam kampus. UI? dengan biaya kuliah setinggi langit? Ah, para mahasiswanya diam-diam saja bahkan memaklumi. Belum lagi sering telatnya beasiswa-beasiswa untuk mahasiswa, DKFM yang tidak jelas dialokasikan kemana, bayangkan, 100.000x4000 (total mahasiswa FIB) = 400.000.000. Fantastis. Semua hal ini berujung pada satu isu, transparasi anggaran, yang merupakan penyakit akut di bawah kepemimpinan Gumilar. Kita tidak tahu kemana uang-uang yang disedot dari dompet orang tua kita! Kita tidak tahu pula kemana uang DKFM yang bisa mencapai bermilyar-milyar! Apalagi bunga-bunga beasiswa yang ditibun direkening UI! dan BEM UI yang salah satu isu utamanya restrukturisasi kebijakan kampus, sampai sekarang diam-diam saja. Patut dipertanyakan.

Keempat, faktor kepemimpinan dalam BEM UI itu sendiri. Jika faktor kepemimpinan di Indonesia dan SBY sebagai sentralnya dianggap gagal oleh berbagai kalangan, maka saya beranggapan begitu juga dengan kepemimpinan di BEM UI. Saya teringat ketika masa kampanye dengan bangganya pasangan ini menyatakan sebagai pasangan yang ‘lahir dari rahim gerakan’, namun setelah setengah tahun masa kepengurusan, saya mempertanyakan lagi ucapan mereka waktu masa kampanye dulu. Pasangan ini dalam pandangan saya layaknya para politisi di luar sana yang hanya manis dalam masa kampanye namun nol besar dalam realisasinya. Lebih parah salah satu petinggi BEM pernah berkata bahwa organ ekstra kampus sebagai oli, organ ekstra dan organ intra bagaikan oli dengan air! sungguh pelecehan terhadap gerakan mahasiswa, tak heran sampai saat ini gerakan mahasiswa belum dapat bersatu, toh petingginya saja seperti itu. Secara pribadi saya menghormati orang-orang yang bercokol di sana, namun tidak untuk apa yang telah mereka lakukan.

Teringat pada aksi demonstrasi menentang gedung baru DPR bersama rekan-rekan Brigade UI beberapa waktu lalu. Saat itu rekan-rekan Brigade tidak mendapatkan ‘restu’ dari para petingginya, padahal salah satu latar belakang kami (Panda FIB dan Brigade UI) melakukan demonstrasi saat itu adalah kelambanan BEM UI dalam menyikapi suatu isu. Apakah tidak sopan, kami, organ taktis, melangkahi kalian dalam hal ini ketika kalian yang harusnya menjadi penggerak tak juga mau bergerak, padahal rakyat sudah menjerit di luar sana? Apakah kami salah, bergerak melangkahi kalian ketika kalian tidak dapat diharapkan? Bagi kami, seperti kata Gie, lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan.

Gerakan mahasiswa membutuhkan orang-orang yang menjadi penggerak dan konsisten dalam perjuangannya. BEM UI sebagai penggerak intra kampus dan memiliki otoritas resmi sudah seharusnya mengambil peranan yang lebih besar, tidak seperti sekarang yang dalam hemat saya masih sangat ‘minimalis’. Kedzoliman sudah di depan mata, apakah kita masih mau hanya berdiam diri dan hanya menggerutu? Melawan dengan hati adalah selemah-lemahnya iman, bukan?

Prasangka-prasangka saya di atas nampaknya akan tetap terpelihara sebelum BEM UI mengubah wajahnya yang sekarang, mengesampingkan berjuta proker dan memprioritaskan pergerakan. Sesuai dengan kata-kata manis dalam masa kampanye, lahir dari rahim gerakan. Kata yang tidak main-main, kata yang membutuhkan realisasi nyata. Semoga.

Hidup Mahasiswa!
Hidup Rakyat!




[1] Dosen Fakultas Psikologi UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar