Dalam era digital
seperti sekarang dimana segala sesuatu menjadi lebih mudah karena penggunaan
teknologi yang kian pesat, keberadaan perpustakaan konvensional yang sebagian
koleksinya terdiri dari koleksi tercetak menjadi dipertanyakan eksistensinya.
Dengan adanya internet, dimana kita dapat mencari informasi dengan sangat
mudah, tentu orang akan berpikir, untuk apa lagi ke perpustakaan dan mencari
buku dengan susah payah. Dengan kerangka berpikir seperti itu, tentu ke
depannya, keberadaan perpustakaan menjadi kurang dibutuhkan, atau mungkin tidak
dibutuhkan sama sekali. Benarkah demikian?
Pernah dalam suatu
iklan di televisi, seorang model dengan susah payah mencari informasi melalui
surat kabar yang menumpuk. Lalu seorang model yang lain menertawakannya dan menunjukkan
sebuah i-pad dengan fasilitas e-book. Model yang sedang membaca surat kabar
tersebut kemudian tertarik lalu membuang semua surat kabar yang menumpuk lalu
mengambil i-pad dengan fasilitas e-book tersebut. Memang, dewasa ini keberadaan
e-book sedang menjalar bagai jamur dimusim hujan. Namun, pertanyaannya, apakah
semua orang (terutama di Indonesia) mampu untuk membeli gadget tersebut? Tentu jawabannya adalah tidak bisa.
Selain itu, penggunaan teknologi yang ada akan berkembang terlalu cepat sehingga
hardware dan software yang ada belum tentu berbanding lurus.
Terdapat lima fungsi
utama dalam membangun sebuah perpustakaan, yaitu, pendidikan, penelitian,
pelestarian, informasi dan rekreasi. Lima fungsi ini disesuaikan dengan tempat
dimana perpustakaan itu dibangun. Dalam perpustakaan perguruan tinggi atau
perpustakaan sekolah, fungsi utamanya adalah pendidikan (juga penelitian).
Pelestarian adalah fungsi utama dari perpustakaan nasional, sedangkan untuk
perpustakaan umum memiliki fungsi informasi dan rekreasi. Dua fungsi yang
disebutkan terakhir adalah fungsi yang sangat erat berkaitan dengan pengabdian
pada masyarakat. Dapat kita bayangkan betapa sulitnya dua fungsi ini dijalankan
seandainya tidak ada koleksi tercetak dan hanya ada koleksi digital, apalagi
untuk masyarakat yang masih belum terlalu maju di Indonesia. Artinya disini
terdapat tanggung jawab sosial sebuah perpustakaan untuk menanamkan budaya
membaca kepada masyarakat Indonesia yang harus diakui dengan jujur bahwa budaya
membaca belumlah kuat disini.
Keberadaan internet
dengan google-nya menjadi semacam dinding penghalang antara eksistensi
perpustakaan dan kepunahan. Namun harus diakui bahwa informasi yang ada di
google tidak selamanya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sulitnya mencari
informasi dengan berjuta hasil ketika kita mengetikkan satu keyword tentu akan
sangat menyulitkan dan tidak mungkinlah kita memeriksanya satu persatu. Selain
itu, banyaknya informasi yang beredar di internet tidak selamanya dapat
dipercaya kebenarannya. Semua orang, baik itu orang awam hingga profesor dapat
menulis di internet, toh?
Berbeda dengan ketika
kita mencari informasi yang ada di perpustakaan. Koleksi yang ada di
perpustakaan tentunya dibuat oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya dan
informasi yang ada di dalamnya tentu terpercaya dan akurat. Selain itu, dengan
membaca sebuah koleksi, pastinya kita akan mendapatkan informasi lebih dari apa
yang kita inginkan.
Ilmu pengetahuan kita
harus kita akui berkiblat pada barat (Amerika Serikat dan Eropa), juga dalam
ilmu perpustakaan (library science), kita selalu mencontoh Library of Congress
(perpustakaan nasional Amerika) dalam berbagai hal. Amerkia, meskipun mereka
begitu maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka sangat memiliki
budaya membaca, baik itu kalangan tua maupun kalangan mudanya. Inilah yang
harus dimiliki oleh Indonesia jika ingin menjadi negara maju, masyarakat yang
memilliki budaya membaca yang baik adalah kunci untuk itu, dan perpustakaan
yang memiliki koleksi tercetak adalah 'gudang kuncinya'. Koleksi tercetak yang
dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan koleksi digital yang
hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang.
Dan juga yang harus
diingat, keberadaan Amerika dengan segala keunggulannya adalah hasil dari
sejarah yang mereka buat telah lebih dari abad ke 18 (setelah mereka merdeka
tahun 1700 sekian), artinya kita tertinggal sekitar dua abad (terhitung sejak
kemerdekaan) dari Amerika untuk membangun negara kita. Jika Amerika saja masih
tetap konstan memperlihatkan kemegahan Library of Congress dan budaya
membacanya yang kuat, apakah mungkin kita disini malah mewacanakan hilangnya
eksistensi sebuah perpustakaan?
Kondisi sosial
ekonomi masyarakat juga ikut menyumbangkan peran disini. Ketika masih banyak
masyarakat yang membutuhkan informasi dan tidak mampu untuk membeli buku di
toko buku (karena alasan prioritas) apalagi untuk membeli gatget hanya untuk
sebuah e-book, maka, di situlah peran
perpustakaan akan terus ada.
Tugas perpustakaan selanjutnya adalah bagaimana
menyebarkan informasi yang ada agar dapat dinikmati semua kalangan. Saat ini,
banyak perpustakaan yang berpuas diri setelah melakukan pengadaan dan
pengolahan koleksi. Kepuasan terjadi setelah sebuah koleksi telah tertata rapi
di rak. Padahal, esensi perpustakaan sendiri adalah bagaimana menyebarluaskan
koleksi yang ada agar dapat dimanfaatkan khalayak luas dan mengakarkan budaya
membaca. Tentu pola pikir ini harus dirubah. Banyak perpustakaan yang belum dapat
melakukan marketing perpustakaannya dengan baik sehingga masyakarat tidak
merasakan manfaatnya, jadi bukan berarti eksistensi perpustakaan konvensional
sudah tidak dibutuhkan, melainkan ketidakmampuan perpustakaan mempromosikan
dirinya. Sebuah pekerjaan rumah yang begitu berat.
Selain itu, faktor
lain yang saya rasa memiliki andil cukup besar adalah masalah psikologis dari
pembaca itu sendiri. Sensasi memegang buku, merasakan aromanya, suara ketika
lembar satu dan yang lain bergesekan, hingga pemandangan yang elok ketika
susunan buku tersimpan rapi di rak rumah adalah sesuatu yang tak dapat
dirasakan dan digantikan oleh koleksi digital. Kondisi seperti ini saya rasa
akan tetap berlangsung hingga waktu yang akan lama, yang artinya perpustakaan
konvensional pun akan tetap dibutuhkan.
Penyesuaian diri
untuk menghadapi era globalisasi seperti saat ini memang mutlak untuk sebuah
perpustakaan. Pengertian perpustakaan yang telah saya jelaskan di atas tidaklah
memiliki definisi rigid tentang koleksi yang hanya sebatas pada koleksi
tercetak saja, perpustakaan pada umumnya meskipun masih konvensional biasanya
tetap menyimpan koleksi berbentuk digital seperti koleksi CD, e-book, maupun
koleksi digital lainnya. Ini disebut perpustakaan hibrida. Kembali pada bahasan
awal tentang apakah perpustakaan konvensional akan hilang atau tidak di tengah
gerusan teknologi -dengan berbagai alasan yang telah saya kemukakan ataupun
yang alfa saya uraikan karena keterbatasan pengetahuan saya-, bagi saya hal ini
tidak akan terjadi, setidaknya dalam waktu yang lama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar