Pembangunan gedung-gedung mewah a’la politik mercusuar Sukarno sedang berjalan di kampusku, Universitas Indonesia . Terbilang ada 4 gedung mewah yang akan segera tegak berdiri menghiasi kampus ‘yang katanya milik rakyat’ ini. Gedung baru Fasilkom (Fakultas Ilmu Komputer), gedung Vokasi, gedung kesenian, dan yang terakhir adalah perpustakaan UI, perpustakaan yang akan menjadi perpustakaan terbesar di Asia Tenggara.
Khusus untuk perpustakaan UI, banyak hal-hal yang membuat pembangunan gedung ini mendapat banyak kritikan hingga berujung penolakan. Pertama, pembangunan perpustakaan ini satu tahun yang lalu tidak berdasarkan sosialisasi yang massiv, yang mengakibatkan banyak civitas academica UI tidak mengetahui hal ini (pembangunannya), hal ini saya tahu dari salah satu senior angkatan 2007. Apakah ini suatu bentuk kesengajaan untuk menghindari penolakan para mahasiswa? tak tahulah. Selain itu, menurut dosen-dosen saya di jurusan (saya adalah mahasiswa jurusan ilmu perpustakaan), pembanguan gedung baru ini tanpa kerjasama dengan ahli-ahli yang ada. Ketika hal ini saya tanyakan kepada pihak terkait (manajer kemahasiswaan, kepala perpustakaan FIB, dan manajer fasilitas) jawaban mereka adalah “dosen-dosen ilmu perpustakaan hanya memiliki kewenangan dibidang akademik, sedangkan untuk hal ini mereka tidak memiliki otoritas” begitu kira-kira. Akal sehat kita akan menolak hal ini, bagaimana tidak? banyak ahli mengenai perpustakaan di UI tapi para ahli itu tidak dilibatkan sama sekali dalam perencanaan? Saya jadi teringat pada salah satu hadits bahwa semua hal yang tidak diserahkan pada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya, dan saya percaya akan hal itu.
Kedua, tidak adanya laporan keuangan tentang pembangunan perpustakaan ini yang dapat diakses oleh semua orang, tidak hanya itu, bahkan laporan keuangan tahunan UI pun sulit diakses padahal di republik ini ada undang-undang KIP, bukan?
Ketiga, sejatinya perpustakaan adalah lembaga pemberi jasa yang wajib dekat dengan penggunanya (konsumen), dalam hal ini mahasiswa. Jelaslah bahwa rektor kita telah menyalahi hal ini. Jika rektor mengatasnamakan pembangunan gedung ini untuk mengakselarasi UI menuju World Class University kenapa tidak memperbaiki fasilitas perpustakaan yang telah ada tanpa menghambur-hamburkan uang untuk membuat perpustakaan baru? Hal ini lebih urgent tentunya. Konsep World Class Unversity menurut saya adalah perbaikan infrastruktur yang ada, perbaikan dan kejelasan nasib para pegawainya (baik itu dosen atau pegawai lainnya), dan terus membuat kampus ini sebagai kampus rakyat, bukan dengan politik mercusuar yang anda jalankan sekarang yang semakin mencitrakan UI sebagai kampus menara gading yang tidak terjangkau oleh golongan miskin. Terlebih lagi perpustakaan UI ini akan dilengkapi dengan berbagai macam fasilitas mewah yang akan membuat para mahasiswa akan semakin individualistis dan hedonis.
Keempat, terjadinya suatu intimidasi dari pihak rektor kepada dekan-dekan yang menentang pembangunan perpustakaan baru ini. Hal ini saya ketahui dari kepala perpustakaan FIB melalui teman saya yang sempat mewawancarainya. Rektor mengatakan bahwa dekan-dekan yang tidak setuju tentang perpustakaan baru ‘diperbolehkan’ mengundurkan diri. Akhirnya semua dekan manggut-manggut saja dengan sikap rektor ini. Akan tetapi setelah hal ini lagi-lagi saya konfirmasi kepada pihak terkait, mereka mengingkarinya. Busuk.
Tuntutan saya, tidak ada kata lain selain menolak pemindahan koleksi (khususnya FIB). Silahkan kalau bapak (rektor) mau memenuhi perpustakaan baru itu dengan buku-buku yang baru pula, bukan buku-buku yang dirampas dari tangan kami, pak. Untuk perpustakaan UI, selamat telah menjadi perpustakaan terbesar se-Asia Tenggara, semoga tetap tegak berdiri, salam.
Rio Apinino
Mahasiswa semester 2 FIB UI
Program Studi Ilmu Perpustakaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar