Sabtu, 18 Februari 2012

Masih Adakah Tempat Bagi Perpustakaan Konvensional ?

Dalam era digital seperti sekarang dimana segala sesuatu menjadi lebih mudah karena penggunaan teknologi yang kian pesat, keberadaan perpustakaan konvensional yang sebagian koleksinya terdiri dari koleksi tercetak menjadi dipertanyakan eksistensinya. Dengan adanya internet, dimana kita dapat mencari informasi dengan sangat mudah, tentu orang akan berpikir, untuk apa lagi ke perpustakaan dan mencari buku dengan susah payah. Dengan kerangka berpikir seperti itu, tentu ke depannya, keberadaan perpustakaan menjadi kurang dibutuhkan, atau mungkin tidak dibutuhkan sama sekali. Benarkah demikian?


Pernah dalam suatu iklan di televisi, seorang model dengan susah payah mencari informasi melalui surat kabar yang menumpuk. Lalu seorang model yang lain menertawakannya dan menunjukkan sebuah i-pad dengan fasilitas e-book. Model yang sedang membaca surat kabar tersebut kemudian tertarik lalu membuang semua surat kabar yang menumpuk lalu mengambil i-pad dengan fasilitas e-book tersebut. Memang, dewasa ini keberadaan e-book sedang menjalar bagai jamur dimusim hujan. Namun, pertanyaannya, apakah semua orang (terutama di Indonesia) mampu untuk membeli gadget  tersebut? Tentu jawabannya adalah tidak bisa. Selain itu, penggunaan teknologi yang ada akan berkembang terlalu cepat sehingga hardware dan software yang ada belum tentu berbanding lurus.

Terdapat lima fungsi utama dalam membangun sebuah perpustakaan, yaitu, pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi dan rekreasi. Lima fungsi ini disesuaikan dengan tempat dimana perpustakaan itu dibangun. Dalam perpustakaan perguruan tinggi atau perpustakaan sekolah, fungsi utamanya adalah pendidikan (juga penelitian). Pelestarian adalah fungsi utama dari perpustakaan nasional, sedangkan untuk perpustakaan umum memiliki fungsi informasi dan rekreasi. Dua fungsi yang disebutkan terakhir adalah fungsi yang sangat erat berkaitan dengan pengabdian pada masyarakat. Dapat kita bayangkan betapa sulitnya dua fungsi ini dijalankan seandainya tidak ada koleksi tercetak dan hanya ada koleksi digital, apalagi untuk masyarakat yang masih belum terlalu maju di Indonesia. Artinya disini terdapat tanggung jawab sosial sebuah perpustakaan untuk menanamkan budaya membaca kepada masyarakat Indonesia yang harus diakui dengan jujur bahwa budaya membaca belumlah kuat disini.

Keberadaan internet dengan google-nya menjadi semacam dinding penghalang antara eksistensi perpustakaan dan kepunahan. Namun harus diakui bahwa informasi yang ada di google tidak selamanya sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sulitnya mencari informasi dengan berjuta hasil ketika kita mengetikkan satu keyword tentu akan sangat menyulitkan dan tidak mungkinlah kita memeriksanya satu persatu. Selain itu, banyaknya informasi yang beredar di internet tidak selamanya dapat dipercaya kebenarannya. Semua orang, baik itu orang awam hingga profesor dapat menulis di internet, toh?

Berbeda dengan ketika kita mencari informasi yang ada di perpustakaan. Koleksi yang ada di perpustakaan tentunya dibuat oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya dan informasi yang ada di dalamnya tentu terpercaya dan akurat. Selain itu, dengan membaca sebuah koleksi, pastinya kita akan mendapatkan informasi lebih dari apa yang kita inginkan.

Ilmu pengetahuan kita harus kita akui berkiblat pada barat (Amerika Serikat dan Eropa), juga dalam ilmu perpustakaan (library science), kita selalu mencontoh Library of Congress (perpustakaan nasional Amerika) dalam berbagai hal. Amerkia, meskipun mereka begitu maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, mereka sangat memiliki budaya membaca, baik itu kalangan tua maupun kalangan mudanya. Inilah yang harus dimiliki oleh Indonesia jika ingin menjadi negara maju, masyarakat yang memilliki budaya membaca yang baik adalah kunci untuk itu, dan perpustakaan yang memiliki koleksi tercetak adalah 'gudang kuncinya'. Koleksi tercetak yang dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, bukan koleksi digital yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang.

Dan juga yang harus diingat, keberadaan Amerika dengan segala keunggulannya adalah hasil dari sejarah yang mereka buat telah lebih dari abad ke 18 (setelah mereka merdeka tahun 1700 sekian), artinya kita tertinggal sekitar dua abad (terhitung sejak kemerdekaan) dari Amerika untuk membangun negara kita. Jika Amerika saja masih tetap konstan memperlihatkan kemegahan Library of Congress dan budaya membacanya yang kuat, apakah mungkin kita disini malah mewacanakan hilangnya eksistensi sebuah perpustakaan?

Kondisi sosial ekonomi masyarakat juga ikut menyumbangkan peran disini. Ketika masih banyak masyarakat yang membutuhkan informasi dan tidak mampu untuk membeli buku di toko buku (karena alasan prioritas) apalagi untuk membeli gatget hanya untuk sebuah e-book,  maka, di situlah peran perpustakaan akan terus ada.

Tugas  perpustakaan selanjutnya adalah bagaimana menyebarkan informasi yang ada agar dapat dinikmati semua kalangan. Saat ini, banyak perpustakaan yang berpuas diri setelah melakukan pengadaan dan pengolahan koleksi. Kepuasan terjadi setelah sebuah koleksi telah tertata rapi di rak. Padahal, esensi perpustakaan sendiri adalah bagaimana menyebarluaskan koleksi yang ada agar dapat dimanfaatkan khalayak luas dan mengakarkan budaya membaca. Tentu pola pikir ini harus dirubah. Banyak perpustakaan yang belum dapat melakukan marketing perpustakaannya dengan baik sehingga masyakarat tidak merasakan manfaatnya, jadi bukan berarti eksistensi perpustakaan konvensional sudah tidak dibutuhkan, melainkan ketidakmampuan perpustakaan mempromosikan dirinya. Sebuah pekerjaan rumah yang begitu berat.

Selain itu, faktor lain yang saya rasa memiliki andil cukup besar adalah masalah psikologis dari pembaca itu sendiri. Sensasi memegang buku, merasakan aromanya, suara ketika lembar satu dan yang lain bergesekan, hingga pemandangan yang elok ketika susunan buku tersimpan rapi di rak rumah adalah sesuatu yang tak dapat dirasakan dan digantikan oleh koleksi digital. Kondisi seperti ini saya rasa akan tetap berlangsung hingga waktu yang akan lama, yang artinya perpustakaan konvensional pun akan tetap dibutuhkan.

Penyesuaian diri untuk menghadapi era globalisasi seperti saat ini memang mutlak untuk sebuah perpustakaan. Pengertian perpustakaan yang telah saya jelaskan di atas tidaklah memiliki definisi rigid tentang koleksi yang hanya sebatas pada koleksi tercetak saja, perpustakaan pada umumnya meskipun masih konvensional biasanya tetap menyimpan koleksi berbentuk digital seperti koleksi CD, e-book, maupun koleksi digital lainnya. Ini disebut perpustakaan hibrida. Kembali pada bahasan awal tentang apakah perpustakaan konvensional akan hilang atau tidak di tengah gerusan teknologi -dengan berbagai alasan yang telah saya kemukakan ataupun yang alfa saya uraikan karena keterbatasan pengetahuan saya-, bagi saya hal ini tidak akan terjadi, setidaknya dalam waktu yang lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar