Pasca dicabutnya UU BHP oleh Mahkamah
Konstitusi pada tahun 2010 silam, terjadilah kekosongan payung hukum tata
kelola Universitas Indonesia. Akibat dari kekosongan hukum tersebut, maka
Pemerintah yang diwakili oleh Mendiknas mengeluarkan suatu produk hukum
sementara (masa transisi) bagi Universitas Indonesia, yaitu PP 66 Tahun 2010.
Di dalam PP 66 sendiri terlihat bahwa Universitas Indonesia akan diarahkan
menjadi PTP (Perguruan Tinggi Pemerintah) dimana segala tata kelola diawasi
langsung oleh pemerintah di bawah Kemendiknas. Namun, syarat untuk menjalankan
PP 66 tersebut adalah harus adanya Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri.
Ketika dua syarat tersebut belum terpenuhi, maka segala tata kelola kampus
dijalankan sebagaimana PP 152 tahun 2000 yang mensyaratkan bahwa Universitas
Indonesia menjadi BHMN.
Inilah keadaan yang terjadi pada
Universitas Indonesia saat ini. Universitas Indonesia masih dijalankan
berdasarkan konsep BHMN, itu pula berarti, segala perangkat yang ada dalam BHMN
tidak selayaknya di ganggu gugat oleh pihak manapun. Perangkat-perangkat
tersebut adalah MWA (Majlis Wali Amanat), SAU (Senat Akademik Universitas),
juga GDB (Dewan Guru Besar). Namun, pada kenyataannya adalah, masa transisi
saat ini dipahami dengan dua sudut pandang yang berbeda oleh pihak rektor dan
pihak lainnya (di luar lingkaran rektor). Rektor dengan logikanya menganggap
bahwa MWA, DGB dan SAU sudah tidak memiliki dasar hukum, maka dari itu rektor
secara sepihak mendemisionerkan ketiga lembaga tersebut. Padahal, menurut
sembilan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tindakan rektor untuk
mendemisionerkan lembaga itu adalah cacat hukum.
Dengan perkembangan situasi dan kondisi
saat ini, maka tidaklah mengherankan ketika ada berbagai gelombang dukungan
terutama untuk pihak MWA. Anggapan seperti itu adalah wajar ketika rektor
secara semena-mena mendemisionerkan MWA sebagai lembaga yang berhak mengangkat,
mengawasi sampai menurunkan rektor. Juga dukungan terhadap PP 152 sebagai
landasan UI sebagai BHMN karena rektor (lagi-lagi) secara semena-mena melanggar
hukum.
Itulah yang saya yakini, setidaknya
sampai saat ada diskusi publik MWA yang dilaksanakan pada 15 September kemarin.
Namun, kita semua alfa, bahwasanya PP 152 tahun 2000 adalah awal ketika esensi
perguruan tinggi negeri dicabik-cabik sedemikian rupa sehingga pendidikan
hanyalah dijadikan industri semata, saat itu pula lah setan-setan kapitalisme
dan liberalisme merasuki sendi-sendi pendidikan. Dengan alasan otonomi kampus,
biaya pendidikan, mayoritas (jika tidak mau dikatakan sepenuhnya) dibebankan
pada mahasiswa. Juga kita semua alfa, ketika kita mendukung dengan gelombang
besar sebuah lembaga check and balance MWA, maka sejatinya kita mendukung
sebuah lembaga yang dilahirkan dari rahim BHMN sebagai lembaga pengganti
otoritas pemerintah.
Sedih rasanya baru menyadari hal
tersebut. Bermula dari tahun 2000 ketika PP 152 diberlakukan, saat itu pulalah
perlawanan mahasiswa terhadap liberalisme pendidikan sangat massiv, bahkan ada
beberapa senior kita yang di DO karena menentang hal itu. Berpuncak pada
‘kemenangan’ mahasiswa ketika UU BHP dicabut. Namun, saat ini, baru satu tahun
lebih ketika UU BHP dicabut, mahasiswa malahan menginginkan Universitas
Indonesia kembali lagi pada konsep BHMN, sesuatu yang sangat menjadi ‘musuh’
mahasiswa-mahasiswa terdahulu. Malu.
Memang, tidak ada sesuatu yang sempurna.
Ketika kita berbicara tentang PP 152 dan PP 66, maka kita dapat melihat sisi
positif juga negatif dari kedua PP tersebut. Jiwa dari PP 152 adalah
liberalisme, itu tidak bisa kita pungkiri. Sisi lain ketika kita berbicara
tentang PP 66 yang bernafaskan PTP, maka kita juga akan membicarakan sebuah
sistem birokrasi berbelit yang pada akhirnya kampus sebagai corong terdepan
pengetahuan malah tidak memiliki kebebasan dalam mengembangkan penelitiannya
yang tentunya berguna bagi masyarakat.
Maka, di sini kita melihat sebuah
urgensi dari RUU PT (Pendidikan Tinggi) yang batas akhir pengesahannya adalah
31 Desember 2012. Jika 31 Desember 2012 RUU PT ini tidak juga disahkan menjadi
UU, maka Universitas Indonesia benar-benar akan menjadi BHMN kembali, yang
artinya pula liberalisasi di bidang pendidikan akan semakin menjalar. Sedangkan
jika RUU PT ini telah disahkan menjadi UU, maka 7 BHMN yang ada (UI, ITB, UGM,
IBP, Unair, USU dan UPI) akan diberikan kebebasan untuk memilih statusnya
sendiri yaitu: negeri, semi swasta, swasta (tentunya dengan terminologi yang
berbeda). Universitas Indonesia sendiri dapat dipastikan akan memilih komposisi
semi swasta (BHMN), seperti yang terjadi saat ini dimana pemerintah hanya akan
mengawasi pada bagian DIPA (dana yang berasal dari APBN) saja. Toh yang terjadi
saat ini memang seperti itu, dukungan penuh terhadap BHMN dan MWA sebagai
lembaga pengawas.
Cukuplah dukungan berlebihan terhadap PP
152 dan MWA karena sejatinya itu adalah legitimasi diri sendiri akan
liberalisasi pendidikan. Cukuplah kita katakan bahwa rektor Universitas
Indonesia saat ini telah melakukan pelanggaran hukum karena tidak mengakui PP
152 dan mendemisioner MWA. Bukan karena kita setuju akan bentuk PP 152,
melainkan adalah sebuah kesadaran hukum bagi pribadi.
Jika kita berbicara masalah ke-ideal-an
sebuah perguruan tinggi, yang harus diperhatikan adalah hal substansial apa
yang ingin kita inginkan dan perjuangkan. Maka saat itulah kita seharusnya
bertanya pada diri kita sendiri, apa yang kita inginkan? apakah sebatas pada
demokrasi dalam kampus dan tata kelola yang transparan dan akuntabel? ataukah
hal substansial yang kita inginkan adalah biaya kuliah yang murah dan
terjangkau bagi seluruh rakyat, karena memang sejatinya Universitas indonesia
adalah kampus rakyat? Jika saya harus menjawab, maka yang akan lebih saya
prioritaskan adalah biaya kuliah murah yang disubsidi penuh pemerintah
ketimbang transparansi dan akuntabilitas tata kelola kampus.
Kembali pada RUU PT yang nantinya akan
sangat menentukan Universitas Indonesia ke depannya. Yang saya lihat adalah ada
berbagai macam kepentingan yang saling tarik menarik dalam RUU ini: pihak
pekerja, rektorat, dan tentunya juga mahasiswa memiliki kepentingan
masing-masing. Meskipun RUU ini sedang dirancang oleh DPR, tentunya kita,
sebagai stakeholder terbesar tidak bisa diam saja dan menunggu hasil, proaktif
dalam mengawal RUU ini adalah sebuah keharusan. Sebagai seorang pribadi saya
sangat mengharapkan RUU PT akan menjadi sebuah tonggak sejarah baru dalam dunia
pendidikan Indonesia. Sudah terlalu lama kita terjebak dalam sistem pendidikan
yang terlanjur dimasuki oleh setan-setan liberalis yang menyaru dalam BHMN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar