Senin, 12 Desember 2011

Surat Kepada Mahasiswa Merah Membara

Mahasiswa itu, mahasiswa beralmamater merah membara yang menyandang nama Sang Proklamator telah menghibahkan dirinya menjadi api yang juga membara di depan Istana Sang Raja. Berhari-hari detik tiap detik yang tertempat dipertengahan hidup dan mati itu akhirnya condong menuju alam mati. Kau mati bukan sembarang mati, kau mati meninggalkan api, api yang akan menyulut revolusi.

Penguasa semenjak 7 tahun itu tak juga bergeming. Ketika teriakan-teriakan jalan bercorong keluar dari megafon menjadi partikel-partikel udara tak seberapa. Ketika agamawan mendeklarasikan kebohongan-kebohongannya, kebohongan itu malah dianggap bohong, kebohongan yang bohong.  Ketika jeritan-jeritan rakyat menderu menggebu menjadi satu tak jua sadarkanmu. Ketika petani, buruh, kuli, sopir, dan sejuta proletar lainnya tetap ditindas dan meranggas. Muncul! muncul hay kau mahasiswa merah membara dengan api-api revolusi didepan matamu, dan kau telah mati!

Masihkan kau, kelas-kelas menengah, akan diam? Lihat mahasiswa itu! Lihat kedalam hatinya yang telah hangus dan kau akan temukan arti perjuangan dalam dunia yang resisten, arti perjuangan dalam keegoisan diri dan etika korup yang telah mengakar membudi membudaya. Kau! kau yang menyandang nama agen perubahan yang kini kampus mu penuh sesak oleh mobil-mobil mentereng milik indukmu, yang penuh sesak oleh dandanan ala Monroe dan Dolly. Kau pikir untuk siapa ilmu-ilmu itu? Untuk cukong-cukong kapitalis yang menunggumu menyerahkan ijazah? Atau untuk kepala yang menunduk?

Apa yang kau cari wahai mahasiswa merah membara? Sudahkah kau lelah dengan garis ini? Garis yang menuntunmu pada debu-debu jalanan, istana, rumah kura-kura dan segudang simbol-simbol penindasan lainnya? Lelahkan kau melihat rakyat menjerit menangis meratap sehingga kau pergi ke sana? Atau, inginkah kau melihat tanah air mu yang telah bermandikan dosa ini hancur menggeliat revolusi?

Kata Rendra, maksud baikmu, untuk siapa? untuk siapa mahasiswa merah membara? Untuk rakyatmu yang padahal lebih membutuhkanmu ketika dirimu kelak menjadi pewaris? Atau untuk penguasa kau sembahkan darahmu yang kering itu dalam hidangan makan malamnya? Atau untuk sejawatmu yang telah tak lagi mengingat rakyat dan nyaman di kampus menara gadingnya? untuk siapa? untuk siapa…

Jumat, 02 Desember 2011

Perjalanan Hidup Si Mata Nyalang

Nama kecilnya hanyalah Ibrahim, nama Tan Malaka didapat ketika dia dirasa telah dewasa oleh adat daerah tempat ia dilahirkan. Nama lengkapnya ialah Sutan Datuk Ibrahim Tan Malaka. Tan Malaka dilahirkan di daerah Suliki, Minangkabau, Sumatra Barat. Di daerah ini adat Islam masih sangat kental terasa, dan, Tan Malaka hidup ditengah kondisi seperti ini yang sangat mempengaruhi hidupnya hingga akhir hayat. Tak ada catatan resmi dan meyakinkan ihwal tanggal lahir Tan Malaka. Satu-satunya penulis yang lengkap menyebut waktu kelahirannya, yakni 2 juni 1897, adalah Djamaluddin Tamim dalam bukunya Kematian Tan Malaka.