Jumat, 22 Juli 2011

Ospek: mendidikkah?

Setiap tahun ajaran baru, institusi pendidikan baik itu tingkat terendah hingga perguruan tinggi menerima siswa/mahasiswa baru. Beriringan dengan itu biasanya institusi pendidikan melakukan kegiatan semacam pengenalan sekolah/kampus atau ospek  yang dilakukan sebelum masa belajar-mengajar. Namun, kali ini saya akan lebih mengkhususkan pada ospek SMP/SMA.

Jumat, 01 Juli 2011

Wars Within : Pergulatan Tempo Sejak Zaman Orde Baru

Oleh : Janet Steele

Majalah mingguan Tempo adalah majalah yang didirikan pada tahun 1971 oleh angkatan 66 (angkatan yang dikenal sebagai penumbang rezim Sukarno). Pendiri Tempo diantaranya adalah Gunawan Muhammad. Orang yang lahir di Batang pada tahun 1941 ini sejak muda telah dikenal luas dikalangan sastrawan Indonesia karena tulisan atau puisinya yang sering dimuat di Jurnal Sastra yang didirikan oleh HB Jassin. Selanjutnya Gunawan menjadi pemimpin redaksi Tempo hingga Juli 1998.

Suasana Internal
Semenjak didirikan, majalah yang kantor pertamanya berada di kawasan padat ibukota jl. Senen Raya 1983 ini mengutamakan unsur kekeluargaan dalam kepengurusannya. Tidak adanya gap antara atasan-bawahan, atau antara pemegang saham dan bukan, semuanya sama rata dan sama tinggi. Namun, ada saat-saat dimana akhirnya unsur kekeluargaan ini retak. Sabtu, 11 Juli 1987, 40 karyawan yang bekerja di Tempo (yang terdiri dari redaktur, reporter, bahkan yang baru masuk) memutuskan untuk mengundurkan diri dari Tempo. Banyak asumsi yang melatarbelakangi keputusan 40 orang tersebut, diantaranya, gap antara atasan dan bawahan, diakui oleh salah satu dari keempat puluh orang tersebut, hal ini terjadi saat Tempo pindah ‘markas’ ke kawasan elit di Jl Rasuna Said. Perseteruan antara buruh dan majikan ini mungkin telah lama terbenam di bawah retorika orde baru tentang pembangunan dan profesionalisme. Memang, semenjak orde baru tumbuh, di berbagai kalangan muncul pemikiran tentang ‘modernisme’. Namun hal ini malah membuat suatu organisasi cenderung menjadi sangat birokratis dan kaku.  Penyebab lain adalah, sejak memasuki dekade 80an, Tempo mulai menjadi kaya (sesuatu yang tidak dibayangkan sama sekali oleh para pendirinya), hal ini menyebabkan orang yang memiliki saham di Tempo mendapat uang lebih banyak dari yang lainnya.

Tempo dan Berita
Dalam sejarah Tempo, berita yang disampaikan pada masa orde baru tidaklah objektif. Karena menurut Tempo, bersikap objektif (seimbang) dalam sistem yang pada dasarnya memang tidak adil tidaklah cukup. Sebagai contoh: ketika insiden Priok terjadi, berita yang dimuat Tempo bukanlah sumber resmi dari pemerintah (sesuatu yang rentan akan pembredelan). Pemerintah mencatat insiden itu menewaskan 9 orang dari pihak Amir Biki, sedangkan Tempo yang memuat berita tersebut pada 22 September 1984 menyebut korban tewas sebanyak 28 orang, hal ini membuat kalangan islam bersimpati. Ketika itu, unsur utama untuk tidak dibredel adalah menempatkan  sumber resmi dari pemerintah sebagai pokok utama. Meskipun demikian, Tempo yang memang dekat dengan pejabat hanya menempatkan 10-15% dari apa yang dikatakan pemerintah. Intinya, penulis sepakat bahwa memang Tempo itu membela wong cilik, sama seperti visi Tempo, membela kaum yang tidak bisa membela diri. Kompromi dengan pemerintah adalah soal strategi untuk bertahan hidup. Strategi lainnya agar Tempo tetap independen adalah kemandirian secara ekonomi. Setelah peristiwa Malari, para pemegang saham lari. Lalu Gunawan berhasil meyakinkan Jaya Development Grup (pengembang Jakarta) menjadi pemegang saham utama.

Pembredelan
Pada masa orde baru, sensor terhadap pers sangatlah besar dan kuat. Padahal, hal ini sangat bertentangan dengan UU Pokok Pers tahun 1966 yaitu “kebebasan pers dijamin sebagai hak yang paling hakiki dari Warga Negara”.  Yang ada adalah (1) Surat Izin Terbit (SIT) yang dikeluarkan Departemen Penerangan (2) Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan Komkamtib. Ketika salah satu dari izin ini dicabut maka media cetak tidak boleh terbit. Terhitung beberapa kali Tempo terancam dibredel akibat pemberitaannya yang dianggap ‘mengganggu stabilitas nasional’ dan ‘tidak berasaskan Pancasila’. Sehabis peristiwa Malari, 12 izin terbit surat kabar dihapus, bukan karena apa yang mereka tulis namun karena siapa yang menulis. Tempo sendiri lolos dari pembredelan, hal ini dikarenakan (1) perselisihan antara Jend. Sumitro dan Ali Murtopo diberitakan Tempo secara berimbang (2) Tempo dianggap media yang netral dan bersikap kompromistis. Selain itu dimungkinkan karena kedekatan antara Gunawan dan Sumitro. Namun, akhirnya Tempo tidak lepas juga dari pembredelan orde baru. Bersama Detik dan Editor, Tempo akhirnya dibredel pada Juni 1994 karena pemberitaan kontroversial seputar pembelian 39 kapal perang bekas Perang Dunia ke II milik Jerman Timur oleh Menristek, BJ Habibie.

Pulih
Orde baru pun tumbang oleh gerakan mahasiswa dan Tempo pun terbit kembali pada 6 Oktober 1998. Sebelumnya, Gunawan bersikeras untuk tidak menerbitkan Tempo dan tidak ingin menjadi pemimpin redaksi lagi, “biarlah Tempo menjadi sejarah” begitu katanya. Namun, akhirnya Gunawan menjadi pemimpin redaksi Tempo lagi setelah berbagai syarat yang dia ajukan dipenuhi, yiatu, peraturan menteri tentang pers dicabut, jangan ada saham perseorangan dalam tubuh Tempo, dan yang terakhir Gunawan hanya akan menjadi pemimpin redaksi selama satu tahun. Akhirnya dibulan Juli Gunawan benar-benar keluar dan digantikan oleh Bambang Harimurti, dan Tempo masih tetap berdiri mengawal demokrasi hingga saat ini.


Celoteh #3 : Gumilar 0h Gumilar..

Perawakanmu sama dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Tidak tinggi juga tidak pendek, kulit sawo matang, mata besar plus kumis tebal yang menggantung di atas bibir menjadi ciri khasmu. Kuyakin makanan mu pun sama dengan kami, mungkin yang membedakan hanya lauk pauk yang kau makan lebih mahal dari yang sering kami makan, mungkin. Ya, tidak ada pembeda yang terlalu jauh antara kamu dan kami, satu-satunya yang menjadi pembeda adalah kedudukanmu.