Senin, 28 Februari 2011

The Gift, Danielle Steel

Rio Apinino, 1006697166
Library and Information Science



Keluarga John whittaker adalah keluarga yang nyaris sempurna, memiliki 2 anak dari istrinya yang cantik Elisabeth Whittaker (Liz), yaitu Tommy dan Annie. Kehidupan mereka mapan di sebuah kota kecil. John dan Elisabeth saling mencintai sejak bertemu di bangku SMA, begitu pula dengan anak-anak mereka yang saling menyayangi. Tommy sangat mencintai adiknya yang berumur kira-kira 5 tahun, Annie.

Namun, tanpa disangka kehidupan keluarga ini berubah ketika Annie meninggal sehabis malam Natal, sakit meningitis menurut dokter. Setelah kematian Annie, keluarga ini begitu hancur, tidak ada tegur sapa diantara mereka. John dan Liz saling menyalahkan atas kematian Annie, bahkan hal-hal kecil dapat membuat pertengkaran besar. John mulai malas bekerja, nilai Tommy di sekolah turun, dan Liz sering menangis mengingat

Selasa, 22 Februari 2011

Krisis Beras

Krisis beras nampaknya akan menggelayuti bumi Indonesia sebentar lagi. Krisis beras ini disebabkan karena cuaca yang semakin ekstrim dan tidak menentu. Namun, krisis beras ini bisa dihadapi Indonesia jika memiliki sebuah konsep ketahanan pangan.   Konsep ketahanan pangan ini adalah menjaga kuantitas  bahan pangan (dalam hal ini beras) agar tetap dapat dikonsumsi rakyat banyak, tentunya dengan kebijakan-kebijakan dari pemerintah mulai dari kebijakan hulu sampai hilir.
Namun, yang terjadi sekarang adalah kebijakan-kebijakan yang salah kaprah dan semakin tidak pro rakyat. Solusi yang diberikan pemerintah nampaknya hanyalah kebijakan-kebjakan hulu, seperti memberikan pupuk bersubsidi kepada para petani dan memperluas lahan pertanian. Namun pemerintah lupa untuk tetap membuat kebijakan hilir, seperti menjaga distribusi beras dari petani sampai ke pasar. Disinilah kelemahan pemerintah, sehingga yang terjadi adalah mahalnya harga beras di pasaran  karena para tengkulak yang bermain dilevel petani. Harga beras yang semakin mahal tidak dibarengi dengan peningkatan keuntungan petani. Ini juga yang membedakan pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara tetangga seperti Vietnam atau Cina. Mereka menjaga betul ketahanan pangannya dengan membuat kebijakan dari hulu sampau hilir.
Kebijakan yang salah juga terlihat dari percobaan  sentralisasi penanaman pangan. Beberapa tahun yang lalu konsep ini gagal dilakukan di Kalimantan dan sekarang coba diterapkan di wilayah Nusa Tenggara. Konsep ini bukannya tidak baik, tapi banyak efek-efek sampingan yang akan terjadi. Seperti, mau dikemanakan lahan lahan pertanian sebelumnya seperti di wilayah Karawang, dan bagaimana pula nasib petaninya?. Seharusnya dalam hal ini Indonesia bisa meniru Jepang. Di Jepang, pada setiap gedung, baik itu milik swasta atau milik pemerintah, didalamnya pasti terdapat tanaman padi yang ditanam menggantung di dinding-dinding, hidroponik namanya. Selain itu, umumnya disamping gedung-gedung di Jepang, pasti terdapat satu atau dua petak lahan kosong untuk ditanami padi, pemerintah Jepang sangat menjaga lahan-lahan ini dengan dengan memberikan harga yang selangit, sehingga orang enggan untuk membelinya. Yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, disini lahan-lahan pertanian dengan mudah dikonversikan menjadi jalan tol, pemukiman, atau menjadi lahan kelapa sawit.  Lahan-lahan perhutanan yang tadinya akan dijadikan areal persawahan di Kalimantan pun, sekarang menjadi lahan kosong. Terlihat ketidakseriusan pemerintah dalam hal ini, mengatasnamakan pembangunan untuk kepentingan segelintir orang. Jepang yang tidak memiliki lahan sesubur dan seluas di Indonesia menjadikan kelemahan itu suatu inovasi, inilah yang patut dicontoh.
Selain itu, nampaknya pemerintah sekarang menerapkan kebijakan ‘pasrah’ dengan mengimpor beras. Pemerintah Indonesia seakan-akan hanya bertumpu pada kebijakan impor untuk menjaga ketahanan pangannya, bahkan Indonesia adalah pengimpor beras kedua di dunia. Suatu ironi mengingat Indonesia adalah negara agraria yang menurut statistik, 70 % rakyatnya adalah petani. Jika yang dijadikan alasan untuk mengimpor adalah cuaca ekstrim dan tidak menentu, bukankah Vietnam dan Thailand memiliki cuaca yang mirip dengan Indonesia? Lantas mengapa negara tetangga tersebut mampu untuk menghadapi krisis pangan dan masih bisa mengekspor ke Indonesia? Kebijakan ini akan membuat para petani semaki tertindas karena harga beras impor lebih murah, maka tidak heran banyak petani kita yang akhirnya menjadi buruh pabrik atau pekerja kasar di kota.
Selain itu kebijakan lain yang ditawarkan pemerintah adalah rakyat disuruh mengurangi konsumsi berasnya. Memang menurut BPS, terjadi kenaikan konsumsi beras. Tahun lalu, konsumsi beras adalah 135kg/tahun/perkapita sedangkan tahun sekarang adalah 137kg/tahun/perkapita. Sungguh solusi yang sangat memuakkan bagi saya pribadi, sama seperti beberapa  waktu yang lalu ketika harga cabai melambung tinggi. Pemerintah menyuruh masyarakat untuk menanam cabai ramai-ramai di pekarangan rumah masing-masing, terlihat jelas pemerintah ingin angkat tangan dengan menyuruh rakyat untuk mengurusi hal yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah, kalau begitu untuk apa kita membayar mereka dari pajak sedangkan mereka tidak menjalankan kewajibannya.
Terakhir, krisis pangan yang sedang dihadapi Indonesia dewasa ini pasti dapat di atasi dengan suatu ketahanan pangan. Ketahanan pangan dapat dilakukan melalui kebijakan yang pro rakyat dari hulu sampai hilir. Mengimpor beras memang perlu, tapi ini bukanlah solusi jangka panjang. Benahi kebijakan, hapus mafia-mafia pangan, hentikan konversi lahan pertanian, dan sejahterakan petani. Maka ketahanan pangan bukanlah suatu hal yang mustahil.

Jumat, 11 Februari 2011

Blaka

Musuh utama kejujuran bukanlah kebohongan, tapi kepura-puraan. Baik itu pura-pura baik atau pura-pura bohong.

Itulah sepenggal kalimat yang ada di novel Blakanis karya Arswendo Atmowiloto. Dalam sekali makna kalimat itu, bagaimana Arswendo mencoba mendeskripsikan apa yang terjadi sebenarnya di negeri ini. Bagaimana bobroknya negeri ini adalah karena kepura-puraan, bukan saja pemerintah, tetapi semua elemen rakyat, termasuk saya.

Dalam perjalanan negeri ini sudah banyak masa-masa kelam yang dilewati. Dewasa ini masalah Indonesia masih berkutat pada kemiskinan, korupsi, penegakkan hukum yang tebang pilih, dan masalah konflik horizontal antar warga negeri. Jika saja kita bisa jujur pada diri sendiri, sebenarnya semua masalah berpulang pada individu masing-masing. Seorang presiden jika saja mau jujur, blaka pada dirinya, saya yakin dia telah merasa gagal memimpin negeri ini, terlebih lagi dia dipilih langsung oleh rakyat, semakin besarlah amanat yang diembannya. Juga para penegak hukum, para pelaku korupsi, orang-orang yang tidak mengakui perbedaan sebagai suatu hal yang indah, jika saja mereka mau jujur dan berkaca pada diri sendiri meraka pasti akan mengakui bahwa apa yang telah dilakukannya adalah suatu hal yang salah, suatu anomali, nurani mereka saya yakini berontak dengan apa yang mereka lakukan.

Bukankah kita semua terlahir sama? telanjang, suci tanpa dosa. Namun kenapa kita bisa berbuat korupsi? kenapa kita bisa membunuh sesama dan menikmatinya? kenapa kita bisa mencuri? mencontek? menikmati barang haram? memperkosa? memfitnah? Manusia memulai hidup bagai selembar kertas putih, tinggal perjalanan waktu yang menentukan menjadi warna apa kita kelak, apakah menjadi hitam kelam, penuh warna warni, atau yang lain. ketika kita melakukan sebuah kesalahan, nurani kita sejatinya berontak, namun ada sisi lain yang membuat kita membenarkan apa yang kita lakukan dengan berbagai alasan yang nampaknya rasional. Itulah yang disebut kepura-puraan, musuh utama kejujuran.

Seorang yang berbohong akan melakukan pengakuan, blaka, ketika hati nuraninya telah memanggil, tapi bukan berarti dosa dia terhapus, namun ketika dia berbuat blaka maka dia akan menjalani hidup dengan jujur, tanpa kepura-puraan dan akan membuat hidupnya lebih baik. Berbeda dengan seseorang yang melakukan kepura-puraan, baik itu pura-pura jujur atau pura-pura bohong, orang seperti itu akan selalu terjebak dengan sikapnya sendiri. Bersikap jujur, blaka, adalah jawaban dari segala keterpurukan yang ada disini. Coba mengaca, merenungi diri sendiri, ikuti kata hati, karena sesungguhnya kata hatilah yang paling benar. Memang tidak mudah, namun bukanlah suatu hal yang mustahil juga. Blaka.

Rabu, 02 Februari 2011

Negeri Dagelan

Melihat negeri ini bagaikan melihat sebuah dagelan yang lucu tapi menggemaskan. Bagaimana tidak? setelah hampir 13 tahun Indonesia keluar dari cengkraman otoriterisme rezim Soeharto, negeri ini tampaknya jalan di tempat, bahkan bisa dibilang mundur. Padahal cita-cita reformasi sejatinya adalah mengembalikan kedaulatan sebesar-besarnya kepada rakyat -yang selama orde baru dikebiri oleh rezim- untuk kemakmuran bersama. Bagaimana tidak lucu? kenyataan sejarah telah banyak memberikan contoh tauladan seorang pemimpin, tapi nampaknya para pemimpin lupa akan hal itu.

Masa presiden Sukarno adalah masa dimana Indonesia sedang mencari identitasnya sebagai sebuah bangsa merdeka. Berbagai macam bentuk pemerintahan mulai dari sistem presidensil sampai parlementer a'la barat coba diterapkan. Tujuannya hanya satu, memakmurkan seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar. Dalam masa Ini boleh dikatakan adalah masanya para politikus 'suci'. Memang ada segelintir politikus yang sudah melakukan tindakan korupsi dan lain-lain, namun skalanya sangat kecil dan tidak seberapa. Mereka yang duduk sebagai wakil rakyat adalah orang-orang yang benar-benar berniat tulus untuk mengabdi kepada rakyat. Sebut saja nama-nama macam Natsir, Sjahrir, Hatta, Ali, Diah, Melik, Roem, Yamin, dan masih banyak lagi politikus yang hidupnya benar-benar didedikasikan untuk rakyat. Terlepas dari mereka adalah pejuang kemerdekaan, dan nampaknya wajar jika Indonesia telah merdeka, mereka akan memimpin negeri ini dengan sungguh-sungguh. Mereka adalah figur-figur yang seharusnya dijadikan contoh para politisi sekarang yang semakin nyaman duduk di singgasananya tanpa peduli nasib rakyat. Seorang Sayuti Melik tidak segan-segan menaiki bis kota untuk menghadiri rapat konstituante, Natsir dicap sebagai perdana mentri paling miskin yang pernah ada lantaran pakaiannya yang sudah bertambal dimana-mana. Sungguh hal yang sudah tidak mungkin lagi terjadi sekarang.

Ketika Sukarno tumbang dan muncul orde baru, segera sistem perekomomian diganti, liberalisasi dan privatisasi menjalar disemua sektor. Pertumbuhan ekonomi melaju pesat, pembangunan dimana-mana, Indonesia menjadi macan Asia dan melakukan swasembada beras. Rakyatpun senang, semua mengelu-elukan Suharto sebagai bapak pembangunan. Belakangan baru diketahui bobroknya rezim ini. Namun, dalam beberapa aspek, rakyat merindukan zaman-zaman ini, zaman ketika semua barang pokok terjangkau, zaman ketika mencari pekerjaan mudah, penganggurang berkurang. Zaman yang sangat kita rindukan saat ini.

Jika sekarang yang rakyat rasakan tak ubahnya adalah dagelan, memang itulah yang terjadi. Setelah 13 tahun reformasi, kita bisa lihat penegakkan hukum yang mencla-mencle, tebang pilih, dan masih tajam terhadap rakyat kecil namun tumpul dihadapan elit. Padahal, berbagai macam upaya telah dilakukan seperti reformasi birokrasi, pembentukan KPK yang sebentar lagi akan habis masanya pada 2011. Namun apalah arti dari semua itu jika para penegak hukumnya sendirilah yang melanggar hukum? Masih ingat kisah Cyrus Sinaga dan Haposan H. yang mengadili kasus 'super'  Gayus? mereka adalah orang yang seharusnya menegakkan hukum namun nyatanya malah menciderai hukum demi kepuasan materi belaka.  Mereka berdua mungkin hanyalah sebuah gunung es ditengah lautan luas, kecil dipermukaan namun sangat besar dibawahnya. Belum lagi masalah korupsi yang makin menjadi. Jika masa orde baru korupsi hanya dilakukan oleh segelintir 'cendana', maka sekarang budaya korupsi telah menjalar hingga ke pelosok desa. Ketika korupsi  menyeret nama-nama elit, maka yang dapat dipastikan adalah tawar menawar politik yang terjadi, tidak lain adalah untuk mencegah si 'elit' terjerat hukum, seperti kasus pengusiran ketua KPK Bibit dan Chandra oleh komisi III DPR, hal ini sarat dengan penangkapan para politikus senior yang terjerat kasus penyuapan pemilihan deputi senior BI, Miranda Gultom. Akhirnya, tarik-ulur pun terjadi dan kasus-kasus seperti itu semakin terbengkalai. Tak kunjung ada habisnya. Belum lagi masalah kemiskinan yang ada, di tengah gembar gembor pemerintah ingin membuat gedung baru DPR dan penaikan gaji, 31 juta rakyat miskin tinggal menunggu ajalnya, bahkan ada yang rela menjemput ajal tersebut dengan bunuh diri. Sungguh suatu ironi mengingat Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam. Itu tidak ada artinya ketika sgelintirelit tega menjual negerinya sendiri demi kantong pribadi dan menutup mata atas apa yang terjadi pada bangsanya sendiri. Indonesia dan para politisinya bagaikan sebuah wayang yang dikendalikan dalang yang disebut liberalisasi dan materialisme.

Memang, diatas kertas Indonesia adalah negara demokrasi, disini semua orang bebas untuk mengeluarkan pendapatnya. Berbagai macam media massa muncul dengan segenap kritiknya kepada pemerintah, berjuta kali unjuk rasa dilakukan para mahasiswa, kaum buruh, pekerja atau nelayan setiap harinya untuk meminta sebuak keadilan, bahkan tidak jarang berakhir dengan ricuh. Namun, apalah artinya itu jika semua bentuk aspirasi tidak didengar? Demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Namun, jika semua bentuk aspirasi rakyat tidak didengar apa masih sejati-kah demokrasi kita?

Itulah ketika sebuah negara besar dipimpin oleh pemimpin-pemimpin bejat. Indonesia sekarang berada pada masa transisi demokrasi, masa dimana segala sesuatu belum mapan dan dapat goyah kapanpun. Disaat seperti inilah Indonesia perlu memiliki kebijakan-kebijakan yang luar biasa yang hanya akan tercipta jika memiliki pemimpin yang kuat.seorang pengamat politik berhatabahwa seharusnya Indonesia memiliki pemimpin yang kuat yang memiliki visi yang jelas untuk memberantas semua masalah-masalah yang terjadi, bukan pemimpin lemah yang setengah hati menyelesaikan permasalahan bangsa. Seharusnya kita memiliki pemimpin yang mengayomi, pemimpin yang mendahulukan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi dan golongan. Saya yakin ada orang-orang yang seperti itu di negeri ini, tinggal bagaimana cara kita memunculkannya. Salahsatunya adalah dengan sistem kaderisasi yang dilakukan parpol, lain halnya jika parpolnya sendiri yang tidak menjalankan kewajibannya untuk kaderisasi kepemimpinan.

Apakah semua ini nampak seperti dagelan yang lucu? ya. Dan selamat, anda hidup di negara yang seperti itu.